Penjaga Keadilan

1,194 kali dibaca

Seorang pengacara wanita terhebat di kota ini berdiri di depan persidangan. Kali ini ia meneteskan air mata. Sejak itu, setiap kali ia memenangi kasus, air matanya selalu mengalir karena teringat masa lalunya.

“Terima kasih Bu Emi, telah membantu membebaskan Bapak kami,” kata Aldi, putra terdakwa di persidangan itu.

Advertisements

“Itu sudah menjadi kewajiban saya membatu orang yang tidak bersalah. Tidak perlu sungkan,” jawab Emi, seorang pengacara dari sebuah lembaga bantuan hukum (LBH).

Emi memang terbilang seorang pengacara hebat. Ia juga tercatat sebagai pendiri LBH Al-Adli. Karena selalu memenangkan berbagai kasus yang ditangani, namanya masyhur sampai di mana-mana. Masyarakat pun sangat kagum kepada Emi karena ia tidak meminta honor untuk memenangi kasus ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat miskin.

Masa lalunyalah yang membuatnya berprinsip “untuk membela ketidakadilan, ia tidak perlu bayaran.”

***

Di suatu petang dua puluh enam tahun lalu, Arya sangat lapar. Kesibukannya menjaga ruko serta harus mengantar dan menjemput Emi mengaji membuatnya tidak sempat membeli makanan. Ia lalu menyalakan kompor untuk memasak mi instan. Sambil menunggu air mendidih, ia berniat meminjam pompa motor di bengkel yang berada di gang sebelah.

Tak disangka, ketika sampai depan took Arya terlihat panik ketika melihat toko tempatnya bekerja terbakar. Melihat kejadian itu, Arya berteriak memanggil para tetangganya.

“Kebakaran… kebakaran… kebakaran. Tolong ada kebakaran!”

Ia amat panik ketika api semakin membesar dan melahap lantai dua rukonya. Dicarinya timba di sekitar toko. Saat ia menemukan sebuah timba yang sudah terisi, ia langsung menyiramkan ke arah api. Ketika isi timba tumpah ke api, ia terkejut karena api semakin membesar hingga menjilat lengannya. Sementara di lantai dua, terdengar suara orang meminta pertolongan.

“Papa… papa…” Arya pun bertanya siapa yang meletakkan minyak tanah dalam timba.

Para tetangga datang membantu memadamkan api.

“Mengapa Bapak malah menyiramkan minyak ke api?”

“Aku tidak tahu jika yang ada di timba itu adalah minyak.”

Api yang semakin besar membuatnya tak sempat berdebat. Mereka bersama-sama mengambil air kemudian menyiramkan ke sumber api. Tetapi sayang, nyawa Devi tidak bisa diselamatkan. Ia meninggal karena teracuni oleh karbondioksida.

Sari, istri pemilik ruko, langsung mencecar Arya dengan berbagai pertanyaan. Sari menuduh Arya sengaja membakar toko.

“Tugasmu menjaga ruko, Arya. Mengapa kamu lalai dalam menjaga?”

“Saya hanya meninggalkan sebentar untuk memompa motor di rumah Pak Ade. Di sana saya hanya lima menitan Bu. Waktu saya kembali….”

“Terus apa maksudmu menyiramkan minyak tanah ke ruko? Apa sengaja kamu ingin membakar atau membunuh anak kami?”

“Timba berisi minyak tanah itu ada di depan ruko. Waktu sudah terjadi sudah ada di sana.”

“Bagaimana bisa ada di sana? Sudah mengaku saja bahwa kamu sengaja membakar ruko kami karena sakit hati dengan kami.”

***

Beberapa hari sebelum kejadian, Arya sempat menemui istri  Darma, Sari, untuk meminta gaji karena ada kebutuhan mendesak.

“Kamu tahu sendiri, kan, Arya, sekarang masa pandemi. Semua sekolah libur dan membuat toko stasioneri kita sepi. Saya juga kesulitan mencukupi kehidupan sehari-hari. Jadi, mohon maaf untuk sisa gajimu bulan kemarin belum bisa kami bayarkan. Untuk bulan depan, kami hanya bisa membayarmu separo gaji ya?”

“Jika bisa jangan seperti itu, gaji dari sini sudah mepet untuk kehidupan kami. Jika dipotong lagi….”

“Saya sebenarnya berencana akan memberhentikanmu karena biaya operasional lebih besar daripada pemasukan. Sebaiknya kamu mencari pekerjaan di tempat lain mulai sekarang karena kami kesulitan menggajimu.”

Raut wajah Arya berubah mendengar kata yang keluar dari Sari. Dengan membawa kekecewaan, ia memutuskan kembali ke ruko untuk bekerja lagi. Sesampainya di ruko, Arya menyampaikan kepada Emi mengenai tugas daring menggambar.

“Ini saya dapat WA dari Bu Sit. Tugasmu saat ini menggambar hewan yang ada di sekitar kita.”

“Ayam ya, Yah?”

“Kamu bisa tidak menggambarnya?”

“Bisa Yah. Ayam warnanya apa?”

“Bisa coklat, putih, atau hitam.”

“Tapi krayonku tinggal warna ini.”  Emi menunjukkan kotak krayon yang hampir kosong.

Warna yang disebutkan Arya tidak ada. Hatinya terlihat terpukul melihat anaknya kesulitan mengerjakan tugas.

Terbesit dalam pikirannya untuk meminjam krayon di etalase toko. Tetapi ia tidak ingin memberikan rezeki haram kepada Emi.

“Kamu tahu tidak, kalau warna biru dan merah dicampur bisa menjadi coklat?”

“Benarkah?”

“Iya kamu coba saja jika tidak percaya.”

***

“Papa yakin melakukan rencana itu?” tanya Sari kepada suaminya.

“Percuma kita pertahankan. Jika kita mengorbankan toko, kita akan mendapatkan asuransi dua miliar. Itu bisa kita pakai membuka usaha baru.”

“Toko kita kan harganya lebih dari itu, kita akan tetap rugi. Belum lagi stasioneri yang ada di toko. Bisa-bisa kita rugi hampir tiga miliar.”

“Kita jual toko itu seharga satu setengah miliar pasti laku. Kita tetap akan untung. Aku sudah mengkalkulasi semua. Jika cara kita berhasil masih untung satu miliar lebih. Sudahlah, jalankan rencana ini. Kamu telepon Kadi, suruh ia membawakan minyak tanah dari pabriknya.”

Karena tergiur dengan uang asuransi, Sari mengiyakan perintah suaminya, Darma. Ia meminta Kadi mengantarkan minyak tanah di rumah kosong sebelah timur tokonya sebelum maghrib. Darma mengetahui aktivitas keseharian Arya yang selalu meninggalkan ruko untuk menjemput anaknya.

“Dev, coba kamu temui Paman Arya kali ini ia mau pergi menjemput Emi tidak? Jangan bilang kepada Paman jika kami yang menyuruhmu bertanya dan sedang berada di sini!” perintah Darma kepada anaknya.

Devi berlari kecil menuju ke ruko sambil membawa boneka kesayangannya. Di lantai bawah, ia tidak menemukan Arya. Kemudian ia ke lantai dua.

“Paman Arya… Paman….”

“Eh, Mbak Devi. Mau apa ke sini? Kalau mau mencari Emi belum pulang jam segini.”

“Kapan Paman menjemputnya?”

“Sebentar lagi setelah ini.”

“Lagi masak apa Paman?”

“Lagi masak mi instan. Kamu mau?”

“Mau, apa sudah matang?”

“Sudah. Sebentar aku ambilkan.” Setelah dibungkuskan mi ke dalam plastik, Devi pun kemudian berpamitan. Ia berlari kecil menemui Mamanya untuk menyampaikan jawaban dari Arya. Belum usai Devi menyampaikan jawaban dari Arya, terlihat Arya keluar dari ruko kemudian mengunci toko. Usai itu ia menuju ke gang sebelah toko.

“Kamu tunggu di depan sini, jika nanti Paman Arya keluar dari depan gang segera teriak panggil kami.”

“Ya, Ma.”

Darma dan Sari memanfaatkan kelengahan Arya untuk segera melancarkan rencana liciknya. Setelah membuka pintu ruko, mereka langsung memasukkan sebagian timba minyak tanah yang dibawanya. Ketika Devi bertanya kepada Arya tadi, mereka sengaja menuangkan minyak tanah ke timba-timba agar bisa cepat disiramkan ke seluruh bagian yang mudah terbakar. Mereka mulai menyiramkan minyak tanah dari lantai atas dengan secepat mungkin. Tak sampai satu menit, mereka turun ke bawah.

“Bentar Pa, aku mau ngambil uang toko dulu lumayan bisa buat belanja beberapa hari.”

“Cepat jangan lama-lama nanti keburu ketahuan,” jawab Darma sambil menyiramkan minyak tanah ke tumpukan kertas dan kardus.

Devi teringat boneka kesayangannya tertinggal di lantai dua. Pikirnya, ia harus segera mengambilnya senyampang rukonya masih buka. Tanpa sepengetahuan orang tuanya, Devi naik ke lantai dua. Ia mencium bau minyak tanah yang membasahi semua benda di ruko itu. Ketika hendak turun, api sudah menyala di lantai bawah. Ia pun berteriak tetapi suaranya tak terdengar karena Darma dan Sari sudah jauh dari ruko.

***

Hari ini Emi sangat bahagia karena diizinkan mengunjung ayahnya di sel. Tetapi kebahagiannya harus terjeda ketika Sando, pengacara yang ditunjuk oleh keluarga Darma, mendatangi Arya di sel tahanan. Karena tidak ingin berpisah dengan ayahnya, Emi tetap menemani ayahnya selama Sando melakukan pemeriksaan.

“Apa Devi sempat main ke ruko sebelum ruko terbakar?” tanya Sando dengan nada memaksa. Ia memang berniat mendesak Arya untuk mengakui perbuatannya sengaja membunuh Devi dengan membakar toko.

“Iya benar. Tapi Devi sempat pulang sebelum ruko itu terbakar.”

“Apa buktinya atau siapa saksinya bahwa Devi sempat pulang sebelum ruko terbakar?”

“Tidak ada, tapi memang kenyataan seperti itu. Sumpah saya tidak berbohong,” bantah Arya.

“Dalam pandangan hukum, sumpah bukan barang bukti. Barang bukti yang kuat adalah sidik jari dan saksi yang menyatakan bahwa Anda menyiram ruko dengan minyak tanah.”

“Bagaimana aku bisa mengakui hal yang tidak aku lakukan,” sanggah Arya.

“Sekali lagi, semua barang bukti sudah jelas menyatakan bahwa ada sidik jari Anda di timba bekas wadah minyak tanah. Di toko itu juga ada cairan bekas minyak tanah. Apa yang membuktikan bahwa Anda tidak membakar ruko milik Pak Darma?”

“Pemilik bengkel bisa menjadi saksi bahwa saya berada di bengkel saat awal kebakaran di ruko. Setelah saya meminjam pompa di bengkel, saya datang ke ruko sudah dalam keadaan terbakar. Karena panik, saya tidak tahu jika yang ada di timba itu adalah minyak tanah sehingga saya langsung saja menyiramkan ke dalam api,” jawab Arya dengan ketakutan.

“Itu hanya alibimu saja. Pemilik bengkel sudah kami interogasi, dan ia mengatakan bahwa ruko sudah terbakar saat Anda datang. Selain itu, ada warga yang bersaksi melihat Anda menyiramkan minyak tanah ke dalam kobaran api yang membakar ruko,” kata Sando dengan santai.

“Ayahku bukan orang jahat. Tak mungkin melakukan itu,” celetuk Emi. Karena dirasa mengganggu proses interogasi, Emi dikeluarkan dari ruang interogasi.

“Dengan Anda tidak mengakui fakta-fakta yang telah dihimpun, maka Anda mempersulit proses penyidikan kasus ini. Itu akan memperberat hukuman Anda. Sementara ini, Anda terancam hukuman mati atau seumur hidup. Jika Anda tidak mempersulit proses penyelidikan, mungkin pengadilan akan menjatuhi hukuman seumur hidup atau bahkan bisa hanya 20 tahun penjara.”

Arya berpikir mengenai masa depan Emi. Emi tidak mungkin hidup sendiri. Dengan terpaksa, ia mengakui bahwa ia merencanakan membakar ruko tempatnya bekerja.

“Bagaimana? Jika Anda ingin mengaku nanti kami akan merekam pernyataanmu sebagai barang bukti di pengadilan,” rayu Sando.

Karena takut, akhirnya Arya terpaksa mengikuti skenario Sando. Itu adalah keputusan yang fatal bagi Arya. Akibat dari mengikuti skenario, Arya didakwa membakar ruko dan tindak pembunuhan berencana sehingga divonis hukuman mati.

***

Kepala tahanan mendatangi Emi, ia memenuhi permintaan terakhir Arya untuk mencarikan pengasuh bagi Emi hingga bisa hidup mandiri. Arya juga meminta agar merahasiakan kematiannya.

“Emi, sekarang kamu akan tinggal bersamaku.”

“Mengapa begitu, Paman?”

“Ayahmu telah menitipkanmu kepadaku.”

“Apa karena ayah harus dihukum? Ia tidak pernah melakukan pembakaran toko mengapa harus dihukum?”

“Hidup di dunia ini adalah ujian, terkadang kita yang tidak berbuat kesalahan harus rela dihukum karena difitnah oleh orang.”

“Apa aku bisa membantu ayahku suatu saat nanti?”

“Tentu, jadilah kamu seorang pengacara atau hakim yang baik agar bisa membantunya suatu saat kelak.”

Multi-Page

Tinggalkan Balasan