Pelayat dari Langit

1,230 kali dibaca

TBC mengerikiti tubuh ibu, membuat dia menjadi penghuni ranjang dengan kondisi yang tidak baik-baik saja. Sering kali dia batuk darah, membuat tubuhnya bergetar diiringi napas ringkih tersengal-sengal penuh penderitaan. Padahal, dia berharap tahun ini bisa menyambut Ramadan dengan penuh suka cita.

“Pisang yang ada di kebun tolong dibawa pulang untuk dibuat kolak. Sisanya bagikan ke tetangga,” pinta ibu. Tiga hari sebelum masuk hari pertama Ramadan, ibu sudah berpesan kepadaku di dalam pembaringannya.

Advertisements

Ibu memang selalu seperti itu. Meskipun dalam kondisi sakit, dia masih sempat memikirkan tetangga. Betapa pun, dia dalam keadaan susah makan, tetap saja dia selalu memikirkan orang lain. Hal itu membuatku kagum dan jengkel. Padahal para tetangga tidak peduli dengan nasib kami. Bahkan sekadar menjengguk ibu yang sedang sakit pun tidak pernah.

Mereka malah mengolok-olok ibu dengan ucapan-ucapan yang bikin kami sakit hati, seolah-olah dosa kami tidak termaafkan, dengan menyebut kami keluarga PKI. Padahal, mereka tidak berhak menghakimi kami untuk kesalahan masa lalu. Apalagi bapak sudah minta maaf. Namun, ibu selalu bersabar dan memaafkan mereka.

Rumah mereka berdempetan dengan rumah kami, bahkan hanya di batasi oleh tembok dengan selisih satu atau dua meter dari tembok rumah kami. Rumah kami tak terlalu sederhana, bisa dibilang sederhana saja belum. Hanya satu bangunan, itu pun masih bertembok kayu di bagian depan. Gentingnya belum bisa kami ganti. Masih berwarna merah kehitam-hitaman— selama berpuluh-puluh tahun telah melindungi kami dari hujan dan sengatan matahari. Tembok kayu di bagian dapur sudah dikerikiti oleh rayap.

Meskipun begitu, rumah kami ya istana kami. Apa pun bentuk bangunannya, kami masih akan setia menjadi penghuninya. Rumah ini menjadi saksi aku dilahirkan ke dunia ini. Tentu banyak sekali kisah yang terjadi. Rumah ini adalah rumah yang dibangun kakek dan nenek dengan peluh dan cinta. Setelah kakek dan nenek mangkat, rumah ini menjadi hak waris ibu sebagai anak bungsu.

Bapak sudah tutup usia pada umur 63 tahun, sekitar tujuh tahun yang lalu. Jenazahnya dimakamkan di daerah kelahirannya di Banyuwangi. Meski bapak jadi anggota PKI pada masa mudanya, tetapi dia rajin sembahyang. Bahkan pada saat detik-detik kematiannya, dia sempat mengucapkan kalimat syahadat yang kutuntun bersama ibu dan paman.

***

Napas ibu tersengal-sengal. Dadanya seperti terluka. Luka yang sangat pedih. Dia batuk darah. Aku menungguinya di samping ranjang, membantunya untuk mengeluarkan dahak —memijit leher dan pundaknya diterangi lampu LED lima Watt.

Darah bercampur dahak keluar dari mulutnya. Aku bisa merasakan begitu sakitnya dada ibu. Untuk sesaat ibu kembali berbaring. Sesaat dia merasa lega usai mengeluarkan dahak. Tapi tidak lebih baik, sebab ketika sudah mengeluarkan dadak, dadanya terasa sakit. Setiap dia batuk, di situlah aku membayangkan dada ibu seperti disayat-sayat. Aku menggenggam tangan kanannya, lalu memijit kakinya yang tampak tak sekokoh beberapa tahun sebelumnya.

Sebagai anak bungsu, aku yang merawat ibu. Kakak-kakakku sudah berumah tangga dan sudah tidak menjadi penghuni rumah ini. Kedua kakakku sudah diboyong di daerah suaminya berasal. Alhasil, aku dan ibu yang menjadi penghuni tetap di rumah ini. Anak ibu yang sulung, pulang ke rumah suaminya di Tulungagung, sedangkan anak ibu yang kedua ikut suaminya dinas ke Bogor sebagai abdi negara. Dan ibu hanya punya aku sebagai teman di rumah ini.

Sebagai anak terakhir, ternyata sulit untuk mendapat jodoh, entah kenapa. Beberapa laki-laki yang ingin mempersuntingku selalu batal ketika mereka sudah datang ke rumah. Aku selalu menolak untuk pergi ke rumah ini. Aku tidak mau meninggalkan ibu beserta kehangatan rumah ini.

Mudik lebaran tahun lalu, kakak-kakakku tidak ada yang pulang, tentu karena pandemi Corona. Lebaran tampak sunyi. Tidak ada canda tawa anak-anak dan menantu ibu. Tidak ada keriangan cucu-cucu ibu. Lebaran tahun lalu adalah lebaran tersunyi selama ini. Padahal sunyi adalah kematian itu sendiri.

Petang mulai menjelang. Cericit kelelawar di luar rumah terdengar di sudut-sudut rumah. Ibu berbaring di ranjang. Napasnya berbunyi seperti terompet mainan anak kecil. Wajahnya tampak sayu, guratan waktu di wajahnya tampak semakin jelas bahwa dia telah berusia senja. Sementara itu, aku masih menemaninya di sampingnya. Ibu menatap genting. Boleh jadi ibu sedang memikirkan anak-anaknya, apakah mereka bisa pulang saat Lebaran tahun ini? Atau ibu memikirkan makam bapak belum disambangi?

Ibu menelan ludah, menarik napas pelan-pelan sambil menatap genting. Entah apa yang dia pikirkan. “Bulan Ramadan sebentar lagi akan tiba,” ucapnya lirih. Aku terdiam, menunggu ibu berbicara lagi.

“Ibu takut, ibu tidak bisa merayakan bulan Ramadan,” sambungnya.

“Maksud ibu?”

“Ibu takut, umur ibu tidak sampai untuk menyambut Bulan Ramadan tahun ini,” ucapnya lirih sambil terbatuk-batuk. Aku agak kaget dengan ucapan itu, seolah-olah itu pertanda bahwa ibu akan menyusul ayah.

“Jangan berbicara seperti itu, Bu. Ibu pasti bisa menyambut Bulan Ramadan dan merasakan kebahagiaan Lebaran. Anak-anakmu pasti mudik Lebaran tahun ini. Mudah-mudahan mereka segara kirim uang untuk biaya berobat ibu,” ucapku.

Malam semakin larut. Ibu dalam posisi terbaring sambil memutar tasbih. Aku masih duduk di sampingnya, meskipun menahan kantuk diselimuti hawa dingin yang tampak perlahan membuat mata ini terpejam.

Aku terbangun saat ada suara ketukan dari pintu. Pikirku, siapa malam-malam seperti ini yang mau bertamu, padahal di siang hari pun jarang. Aku menghimpun kesadaran. Mata masih sepat untuk terbuka, kemudian aku kucek. Aku bangkit lalu bergegas menuju pintu. Aku membuka pintu, tetapi ternyata tidak ada siapa-siapa. Aku kembali ke sisi ibu. Wajahnya tampak pucat, seperti tak teraliri darah.

“Bu?” panggilku.

“Bu!?”

“Ibu!!”

Setelah aku panggil tiga kali, namun tidak ada respons, dadaku mendadak panas dan berdebar. Aku mengecek pergelangan tangannya, denyut dadinya sudah berhenti. Aku sudah berjanji pada diri sendiri untuk tidak menangis. Meskipun begitu, tetap saja air mataku menetes. Kemudian aku memanggil paman untuk meminta pertolongan dan mengabarkan berita duka ini ke kepada kakak-kakakku.

Esok harinya aku terkejut melihat pelayat yang berjubel. Tidak ada satu pun yang kukenal. Tak lama kemudian kakakku yang sulung datang dengan tangisan yang mendalam. Dia merasa bersalah karena dia menganggap belum bisa berbakti kepada ibu. Tak lama kemudian kakakku yang kedua bersama suaminya juga datang dan bersimpuh di samping jenazah ibu, menangis tersedu-sedu. Dia juga merasakan hal yang sama dengan kakakku yang sulung. Dia menganggap bahwa dirinya terlalu egois pada kehidupannya sendiri— mengesampingkan kesejahteraan ibu dan adiknya.

Setelah dimandikan, jenazah ibu disalatkan di masjid dekat rumah. Banyak pelayat yang ikut menyalati ibu sampai masjid itu penuh. Sampai-sampai disalatkan tiga kloter. Aku juga tidak habis pikir, banyak sekali pelayat yang datang untuk kematian perempuan yang minim pergaulan. Sementara tetangga yang melayat bisa dihitung dengan jari.

Aku lihat wajah jenazah ibu tampak cerah dan berbinar, seolah-olah dia sedang menjemput kebahagiaan yang sejati. Para pelayat itu juga mengiringi perjalanan ke makam ibu. Lantunan tahlil berkumandang secara serempak. Setelah tiba di pemakaman, jenazah ibu dimasukkan ke liang lahat diiringi oleh suara azan yang begitu merdu, kemudian ditalkin.

Dalam perjalanan pulang, aku bertanya kepada paman, apakah dia juga tidak kenal pelayat-pelayat itu. Namun seperti dugaanku, paman juga tidak kenal dengan pelayat-pelayat itu.

“Lalu para pelayat itu berasal dari mana paman?” tanyaku penasaran.

“Entahlah, mungkin para pelayat itu turun dari langit,” jawab paman bernada menduga-duga.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan