Pandemi Covid-19: Antara Introspeksi dan Sadar Relasi

2,888 kali dibaca

Akhir Desember 2019 atau awal Januari 2020, salah satu kota di China, yakni Kota Wuhan, digemparkan dengan sebuah kabar bahwa tujuh pasien dari pasar makanan laut lokal di sana telah didiagnosis menderita penyakit mirip SARS dan dikarantina di sebuah rumah sakit setempat. Setelah diteliti, penyakit itu adalah virus Corona, yang ternyata satu keluarga dengan virus sindrom pernapasan akut (SARS). Corona virus atau yang dikenal Covid-19 adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus jenis baru yang belum pernah teridentifikasi pada manusia.

Virus ini menyebabkan penyakit saluran pernapasan (seperti flu) dengan gejala seperti batuk, demam, dan pada kasus yang lebih serius, pneumonia dengan akibat yang paling besar adalah kematian. Satu hal yang perlu digarisbawahi dari penyakit ini adalah penyebarannya yang sangat cepat. Karena itu, pada 11 Maret 2020, WHO menetapkan virus ini sebagai pandemi global.

Advertisements

Ini sesuai yang diungkapkan oleh Angela Rasmussen dari Columbia University. ”Struktur virus Corona memberikan petunjuk bagaimana virus itu menyebar begitu cepat.” Benar, dalam kurun waktu enam bulan, sampai 10 Mei 2020 WHO telah merilis data terbaru, bahwa Corona telah menyebar ke 215 negara di dunia, dengan korban yang telah terkonfirmasi sebanyak 3.925.815 jiwa dan korban yang meninggal sebanyak 274.488 jiwa, termasuk Indonesia dengan jumlah korban yang terkonfirmasi sebanyak 14.032 jiwa dan korban yang meninggal sebanyak 973 jiwa.

Berbagai dampak yang disebabkan oleh Corona serta belum ditemukannya obat penawar sampai detik ini sangat dirasakan oleh masyarakat Indonesia maupun dunia. Mulai dari aspek sosial, pendidikan, ekonomi, hingga pariwisata tak luput dari dampak virus ini. Kemiskinan, kriminalitas, dan pengangguran meningkat drastis di seluruh dunia. Dalam aspek pendidikan, sebanyak 3.000 juta siswa akan kehilangan hak pendidikan di masa depan.

Di Indonesia sendiri, pemerintah sejak 16 Maret 2020 telah menginstruksikan agar siswa-siswi untuk stay at home atau berdiam diri dan belajar sendiri di rumah. Tak luput, semua pesantren meliburkan santrinya. Pembelajaran diganti secara online sehingga dampak yang kita rasakan sejauh ini adalah UN dihapus dan UTBK sebagai jembatan untuk para siswa menuju jenjang perkuliahan tidak memiliki waktu yang pasti untuk diselenggarakan.

Dalam aspek ekonomi, banyak masyarakat tidak bisa lagi bekerja seperti biasa, sehingga kasus penyerbuan toko atau supermarket oleh masyarakat sipil sering kita dengar. Ini tiada lain disebabkan oleh kekurangan logistik yang mereka punya. Di Indonesia, Corona telah menyebabkan lebih dari 1,5 juta karyawan putus kerja atau pemutusan hubungan kerja (PHK) dan dirumahkan. Di mana 1,2 juta pekerja itu berasal dari sektor formal, 265.000 dari sektor informal, sekitar Rp 207 miliar negara kita kehilangan pendapatan di sektor pelayanan udara,  impor Indonesia sepanjang Januari-Maret 2020 turun 3,7%, serta inflasi pada bulan Maret 2020 di Indonesia  tercatat sebesar 2,96% yang disumbang oleh kenaikan harga emas perhiasan serta beberapa harga pangan yang melonjak. Belum lagi kondisi sosial masyarakat dan para remaja Indonesia yang pasti mengalami perubahan psikis dan sosiologis akibat kondisi pada masa pandemi ini.

Di samping kabar kemunculan Corona berikut dampaknya bagi kehidupan, bermunculan juga ke permukaan jagat sosial media berbagai polemik dan kontroversi serta konspirasi dari mana asal muasal virus ini. Ada beberapa sumber yang mengatakan ini adalah sebuah percobaan senjata biologi atau biologist weapon dari China, buatan Amerika, atau buatan Bill Gates. Ada juga yang mengatakan ini adalah konspirasi dari kaum Yahudi untuk mengurangi populasi manusia di dunia atau yang disebut dengan new world order. Terlepas dari semua itu, maka dipertanyakanlah sikap serta hal yang perlu kita lakukan sebagai muslim di tengah pandemi Covid-19 ini.

Hal yang paling fundamental yang harus kita ingat, bahwa segala hal yang ada alam semesta ini secara mutlak adalah ciptaan Allah SWT dan sesuai yang telah ditetapkan oleh Allah:

قل لا يصبنا الا ما كتب الله لنا

“Tidak ada sesuatu pun yang menimpa kita kecuali itu adalah ketetapan dari Allah bagi kita.”

Kita harus haqqulyaqin setiap orang yang terkena Corona pasti adalah ketetapan dari Allah SWT. Setiap orang yang meninggal setelah terkena Corona pun adalah Allah SWT. Tanpa terkena virus pun kematian pasti ada setiap waktu dan setiap saat di dunia ini. Oleh karena itu, kita sebagai mukmin tidak serta merta memvonis semua kejadian yang mengenaskan akhir-akhir ini mutlak karena Corona, tapi tetap harus disandarkan semata-mata kepada Allah SWT. Sekian banyak dampak yang dirasakan dari virus ini, pernahkah kita bertanya-tanya kepada diri kita sendiri, “kenapa”, “kok bisa”, atau “bagaimana bisa” Allah menurunkan bencana seperti ini kepada umat manusia.

Nah, inilah yang saya sebut Corona sebagai ajang bagi kita untuk introspeksi diri atau yang dikenal dengan muhasabah. Introspeksi dalam KBBI berarti peninjauan atau mengoreksi diri terhadap segala kesalahan, kekurangan, atau pun kelemahan yang pernah kita lakukan. Memang secara lahir, Corona sejauh ini diklaim sebagai virus yang berasal dari binatang kelelawar. Namun, pernahkah kita berpikir ada sebuah sebab batin yang tak mampu kita tangkap dengan akal pikiran rasional yang melatarbelakangi semua ini. Oleh karena itu, coba kita renungi lagi konsep muhahasabah yang diintruksikan Allah SWT. Dalam surah Al-Hasyr ayat 18:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”

Introspeksi diri, menyadari kesalahan yang telah dilakukan, dan hasilnya harus diorientasikan untuk hari esok. Artinya, jika memang Allah menakdirkan Corona lenyap, maka muhasabah diri harus tetap dilakukan. Ini sebagai bukti bahwa eksistensi kita sebagai orang mukmin yang bertakwa tidak hanya akan meminta ketika susah, namun setiap saat dan setiap waktu kita jadikan Allah sebagai tempat meminta dan berserah diri. Walaupun kadang banyak orang awam, ketika Allah memerintahkan kita untuk berdoa dan kita sebagai hamba melaksanakan perintah-Nya, memang terlihat ada unsur transaksional (artinya akan diberikan ketika meminta, tidak akan diberikan ketika tidak meminta). Namun, ketahuilah pada hakikatnya Allah sudah memberikan begitu banyak nikmat yang memang belum bisa kita sadari karena kurangnya kita bermuhasabah diri terhadap hal tersebut.

Sebenarnya, dengan melaksanakan konsep ini maka setiap hari yang dilalui orang mukmin tidak akan dikekang oleh perasaan bingung sebagaimana situasi yang melanda dunia ini. Coba kita perhatikan, di samping dampak negatif dari wabah ini, begitu banyak hikmah yang tentu Allah berikan kepada kita. Sebagai contoh, sebelum ada Corona lingkungan sekitar kita telah dikotori oleh polusi udara, sampah, limbah, dan sebagainya.

Namun, perlu diketahui bahwa semenjak virus ini mewabah, semua hutan, jalan, perumahan, dan semua lingkungan setiap provinsi menjadi lebih bersih. Terutama kota-kota besar di indonesia sangat tertolong oleh penyebaran virus ini, karena polusi udara berkurang drastis. Ambil contoh Kota Jakarta yang selama 28 tahun memiliki udara yang sangat buruk, namun data yang tercatat hari ini adalah kualitas udara Kota Jakarta berkategori baik dengan nilai PM2,5 rata-rata sebesar 18,46 µg/m3.

Kadang kita bertanya yang menjadi virus sebanarnya bagi alam itu siapa? Kita, sebagai makhluk yang sering mengotori lingkungan atau Corona, makhluk yang kehadirannya bisa membuat lingkungan menjadi lebih baik. Silakan Anda bermuhasabah diri.

Problem yang juga ada pada masa ini adalah sebagian besar aktivitas masyarakat dilakukan di dalam rumah sehingga mengakibatkan sempitnya ruang sosialisasi antarmasyarakat. Di Indonesia, keadaan ini memaksa semua kegiatan dibatasi, masjid dibatasi kegiatannya, acara pernikahan atau walimah tidak diizinkan lagi, tahlilan, dan kegiatan kebudayaan lainnya yang menjadi sarana perekat persatuan umat tidak diperbolehkan lagi. Bahkan acara pemakaman tidak lagi bisa untuk diziarahi dan diantarkan ke TPU seperti dulu, selain keluarga korban dan petugas kesehatan.

Di sinilah mereka sadar bahwa kebersamaan yang terjadi sebelum Corona adalah begitu indah. Inilah yang saya sebut sebagai ajang untuk sadar akan relasi. Relasi masyarakat satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan, karena manusia sebagai makhluk yang diposisikan sebagai zoon politicon, yakni sangat membutuhkan orang lain dalam menjalani kehidupan itu dan tidak dapat dicabut kebenarannya.

Relasi dalam bahasa Arab kita bisa sandingkan dengan silaturahmi atau semua padanan kata yang berkaitan dengan hubungan antarmasyarakat. Di dalam hadits Nabi Muhammad disebutkan, “Barang siapa yang ingin diperpanjang umurnya atau diperluas rezekinya maka sambunglah tali silaturahim”.

Bagi umat Islam Indonesia, ini adalah ajang untuk sadar akan persatuan dan persaudaraan. Tali silaturahim sebagai jembatan untuk memperkuat pesaudaraan tidak boleh hilang karena peraturan pemerintah yang membatasi kegiatan kemasyarakatan. Justru karena situasi seperti ini, orang muslim khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya harus seperti bangunan yang tidak akan mampu berdiri kokoh jika tidak ada komponen-komponen pelengkapnya. Eratnya relasi antarmasyarakat juga terlihat ketika masyarakat kampung maupun perkotaan melakukan gotong-royong membersihkan lingkungan dan tanggap peduli terhadap para korban Corona. Bantuan berupa donasi, alat kesehatan, dan sebagainya tiap hari silih berganti dari semua kalangan, dari lembaga pendidikan, lembaga sosial, masyarakat sipil, pejabat, hingga pengusaha tergugah nuraninnya untuk ikut membantu para korban Corona ini.

Oleh karena itu, pandemi tidak serta merta merugikan, namun di balik itu ada hikmah yang kita dapatkan, rasa rindu akan bertemu, kangen akan silaturahmi, kuatnya relasi untuk tolong-menolong, tergugahnya hati untuk memberi bantuan berupa donasi, dan semangat untuk gotong-royong untuk membasmi Corona sebagai bukti konkret eratnya rasa persaudaraan di tengah pandemi Covid-19.

Wallahu a’lam bi asshowab.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan