Tak Hanya Gajah yang Meninggalkan Gading

2,959 kali dibaca

Lebih dikenal sebagai Pondok Gading, Pondok Pesantren Miftahul Huda di Kota Malang, Jawa Timur, tergolong sebagai salah satu pesantren tertua di Indonesia. Didirikan pada 1768, salah satu peninggalannya yang masyhur hingga kini adalah metode hisab, penghitungan penanggalan yang didasarkan pada peredaran bulan (komariah).

Pendiri Pondok Gading adalah KH Hasan Munadi. Karena berlokasi di Kelurahan Gading Kasri, Kecamatan Klojen, Kota Malang, sejak mula pesantren ini lebih dikenal dengan sebutan Pondok Gading. Sembilan puluh tahun sejak berdirinya pesantren ini, sang pendiri, KH Hasan Munadi, meninggal pada usia 125 tahun. KH Hasan Munadi wafat meninggalkan empat orang anak, yaitu KH Ismail, KH Muhyini, KH Maksum, dan Nyai Mujannah.

Advertisements

Saat itu, Pondok Gading, seperti halnya pesantren kuno saat itu, menerapkan sistem pendidikan salaf. Setelah KH Hasan Munadi wafat, Pondok Gading diasuh oleh putera pertama, KH Ismail. Untuk pengembangan pondok, saat itu KH Ismail dibantu oleh seorang keponakannya, KH Abdul Majid. Karena tidak mempunyai keturunan, maka Kiai Ismail mengambil salah seorang putri Kiai Abdul Majid yang bernama Nyai Siti Khodijah sebagai anak angkat. Kemudian, Siti Khodijah dinikahkan dengan salah seorang alumnus Pondok Pesantren Miftahul Huda Jampes, Kediri, KH Moh Yahya yang berasal dari Jetis, Malang. Setelah itu, kepengurusan Pondok Gading diserahkan kepada KH Moh Yahya, hingga Kiai Ismail wafat.

KH Moh Yahya, yang memimpin pondok sejak 1908, kemudian memberi nama pondok ini dengan nama “Pondok Pesantren Miftahul Huda”, mengambil nama pondok almamaternya. Selain memberi nama resmi pondok, Kiai Yahya membuat terobosan yang di era itu terbilang tak lazim. Para santri juga diizinkan menuntut ilmu di lembaga formal di luar pesantren. Ternyata, dengan kebijakan tak lazim ini, semakin banyak santri yang mondok, dan Pondok Gading mengalami perkembangan pesat saat itu.

Kiai Yahya meninggal pada 23 November 1971, kepemimpina pondok kemudian dilanjutkan oleh putra-putranya beliau secara kolektif kolegial. Mereka adalah KH Abdurrohim Amrullah Yahya, KH Abdurrahman Yahya, dan KH Ahmad Arief Yahya. Mereka juga masih dibantu oleh para menantu, seperti KH Muhammad Baidlowi Muslich dan Ustadz  HM Shohibul Kahfi.

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan