Tak Hanya Gajah yang Meninggalkan Gading

2,990 kali dibaca

Lebih dikenal sebagai Pondok Gading, Pondok Pesantren Miftahul Huda di Kota Malang, Jawa Timur, tergolong sebagai salah satu pesantren tertua di Indonesia. Didirikan pada 1768, salah satu peninggalannya yang masyhur hingga kini adalah metode hisab, penghitungan penanggalan yang didasarkan pada peredaran bulan (komariah).

Pendiri Pondok Gading adalah KH Hasan Munadi. Karena berlokasi di Kelurahan Gading Kasri, Kecamatan Klojen, Kota Malang, sejak mula pesantren ini lebih dikenal dengan sebutan Pondok Gading. Sembilan puluh tahun sejak berdirinya pesantren ini, sang pendiri, KH Hasan Munadi, meninggal pada usia 125 tahun. KH Hasan Munadi wafat meninggalkan empat orang anak, yaitu KH Ismail, KH Muhyini, KH Maksum, dan Nyai Mujannah.

Advertisements

Saat itu, Pondok Gading, seperti halnya pesantren kuno saat itu, menerapkan sistem pendidikan salaf. Setelah KH Hasan Munadi wafat, Pondok Gading diasuh oleh putera pertama, KH Ismail. Untuk pengembangan pondok, saat itu KH Ismail dibantu oleh seorang keponakannya, KH Abdul Majid. Karena tidak mempunyai keturunan, maka Kiai Ismail mengambil salah seorang putri Kiai Abdul Majid yang bernama Nyai Siti Khodijah sebagai anak angkat. Kemudian, Siti Khodijah dinikahkan dengan salah seorang alumnus Pondok Pesantren Miftahul Huda Jampes, Kediri, KH Moh Yahya yang berasal dari Jetis, Malang. Setelah itu, kepengurusan Pondok Gading diserahkan kepada KH Moh Yahya, hingga Kiai Ismail wafat.

KH Moh Yahya, yang memimpin pondok sejak 1908, kemudian memberi nama pondok ini dengan nama “Pondok Pesantren Miftahul Huda”, mengambil nama pondok almamaternya. Selain memberi nama resmi pondok, Kiai Yahya membuat terobosan yang di era itu terbilang tak lazim. Para santri juga diizinkan menuntut ilmu di lembaga formal di luar pesantren. Ternyata, dengan kebijakan tak lazim ini, semakin banyak santri yang mondok, dan Pondok Gading mengalami perkembangan pesat saat itu.

Kiai Yahya meninggal pada 23 November 1971, kepemimpina pondok kemudian dilanjutkan oleh putra-putranya beliau secara kolektif kolegial. Mereka adalah KH Abdurrohim Amrullah Yahya, KH Abdurrahman Yahya, dan KH Ahmad Arief Yahya. Mereka juga masih dibantu oleh para menantu, seperti KH Muhammad Baidlowi Muslich dan Ustadz  HM Shohibul Kahfi.

Kitab Ilmu Hisab

Sedari mula, ada tiga jenjang pendidikan diniyah salafiah yang dikembangkan di Pondok Gading, yang disebut Madrasah Diniyah Salafiyah Matholiul Huda (MMH). Jenjang pertama disebut Tingkat Ula (Pendidikan Dasar). Kurikulum tingkat dasar ini meliputi kitab-kitab pelajaran dasar-dasar keislaman. Contohnya, untuk fikih ada kitab Safinatun Najah dan Sullamutaufiq. Untuk ilmu alat ada kitab Tuhfatul Athfal dan al-Amtsilatu at-Tashrifiyyah. Dan, untuk tauhid ada Aqidatul Awam dan Bad’ul Amali.

Selanjutnya ada Tingkat Wustho (Pendidikan Menengah), yang lebih menitikberatkan pada pendalaman ilmu alat dan kitab-kitab tafsir dan hadits, Tafsir al-Jalalain, Bulughul Maram, dan sebagainya. Berikutnya adalah Tingkat Ulya, merupakan pendidikan tingkat atas. Pada tingkat inilah santri mulai diajari ilmu hisab, yang secara khusus menggunakan kitab Sullam al-Nayyirain.

Sullam al-Nayyirain merupakan salah satu dari beberapa kitab karya KH Muhammad Mansur  el-Batawi. Kitab ini masyhur di kalangan ulama ahli ilmu hisab dan pakar astronomi. Kitab klasik ini hingga sekarang masih banyak digunakan oleh ulama-ulama hisab dalam menentukan awal bulan kamariah. Metode yang dipakai dalam berdasarkan pada teori Geosentris yang  menjadikan Bumi sebagai pusat tata surya. Ada tiga bab di dalam kitab ini, yaitu (1) risalah   yang memuat suatu sistem hisab untuk menghitung saat terjadinya ijtimak (konjungsi) antara Bulan dan Matahari; (2) risalah yang memuat kaedah-kaedah yang berhubungan dengan cara   menghitung saat terjadinya gerhana Bulan; dan risalah yang memuat kaedah-kaedah yang berkenaan dengan cara menghitung saat terjadinya gerhana Matahari.

Sejak masa Kiai Yahya, Pondok Gading sudah mengajarkan dan mengamalkan kitab Sullam al-Nayyirain. Karena itu, di Pondok Gading juga dibentuk Lajnah Falakiyah Pondok Pesantren  Miftahul Huda (PPMH). Lajnah Falakiyah merupakan lembaga tersendiri yang bertugas khusus mengurusi penentuan awal bulan kamariah.

Itulah salah satu warisan para kiai terdahulu yang mengasuh Pondok Gading, yang hingga kini masih diikuti oleh para penerusnya. Bahkan, banyak pondok pesantren lain yang juga mengikuti metode hisab yang hingga kini masih dipertahankan di Pondok Gading.

Yang menarik, meskipun banyak pondok lain mengadopsi teknik hisab dikembangkan Pondok Gading, hasil hitungan Pondok Gading selalu lebih tepat, padahal metodenya sama, bersumber dari kitab yang sama. Hal itu juga pernah diakui oleh KH Muhammad Baidlowi Muslich, salah satu pengaduh Pondok Gading. “Itu karena kami benar-benar teliti dan memperhatikan teknik-teknik yang diajarkan secara turun temurun,” kata KH Muhammad Baidlowi.

Karena itulah, hasil hisab Pondok Gading biasanya selalu menjadi rujukan utama pembuatan kalender Islam atau penentuan hari raya.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan