Buku tafsir puisi oleh K. M. Faizi

“Nyalasar”: Menafsir Puisi, Menyelami Makna Kata-kata

1,372 kali dibaca

Nyalasar, secara etimologi berasal dari kata salasar, yaitu sebuah alat untuk menghaluskan kayu, meratakan, dan melicinkan permukaan kayu hingga nampak serat-serat kayu yang terlihat akan semakin indah. Salasar juga alat untuk membentuk kayu dari yang tidak baik menjadi lebih baik dan lebih berkualitas serta bermakna. Sedang kata turunan dari salasar adalah nyalasar, yaitu perbuatan seseorang (biasanya tukang kayu) untuk menghaluskan permukaan kayu dengan menggunakan (alat) salasar.

Nyalasar, kali ini adalah sebuah judul buku karangan M Faizi, yang di dalamnya merupakan bahasan atau jabaran dari beberapa puisi. Jelasnya, nyalasar dalam buku ini adalah “Menyelami Makna, Memaknai Kata-kata,” memparafrasekan puisi, menafsirkan makna puisi sehingga kata-kata, frase, atau kalimat di dalam sebuah puisi semakin transparan, termaksud, dan termaktub menjadi jabaran-tafsir yang semakin nampak jelas. Dalam hal ini, pengarang buku, M Faizi memberikan statemen “tafsir puisi manasuka.

Advertisements

Tafsir puisi manasuka,” sebagaimana yang dijelaskan secara langsung oleh M Faizi, meski mungkin tidak bermaksud menjelaskannya ketika saya bersua langsung dengan Beliau saat memburu buku yang “tidak mudah didapat” ini. Alhamdulillah, saya termasuk seseorang yang diberi nikmat oleh Allah SWT untuk memiliki buku berkarakter ini. Saya juga berterima kasih kepada teman seperjuangan saya, Muntasir, yang telah mengusahakan saya untuk berjumpa dengan pengarang, M Faizi.

Memaknai atau menfasirkan makna puisi bukan perkara mudah. Tentu, masing-masing individu mempunyai pengalaman tersendiri tentang ini. Tetapi, menafsirkan puisi degan bahasa yang ringan, santai, dan mudah dimengerti harus mempunyai kecakapan (skill) tersendiri hingga dapat mewujudkan sebuah tafsir yang tidak bosan dibaca dan dan tidak ribet ditelaah. M Faizi mempunyai kecakapan tersendiri untuk menafsirkan puisi dengan kalimat-kalimat biasa tetapi berkesan luar biasa. Memaknai kata-kata yang tersirat menjadi tersurat. Menafsirkan frase-frase yang “jlimet” menjadi nampak arti yang dimaksud. Keterampilan untuk menjadi penafsir yang seperti ini memerlukan aspek dan sisi ilmu, pengetahuan, pengalaman, dan tentu saja penguasaan linguistik yang tidak sederhana.

Iman Budhi Santosa, di dalam pengantar (?) buku ini, menjelaskan bahwa Buku Nyalasar; Tafsir Puisi seperti ini “tidak banyak dilakukan oleh sastrawan, kritikus, dosen, guru, sehingga interpretasi pengarang buku ini layak untuk apresiasi” (hal. 8). Karena tidak banyak, maka perlu perlakuan khusus terhadap buku ini untuk dibaca dan ditelaah guna dapat “mengintip” makna yang sebenarnya (jujur) dari suatu puisi.

Masih menurut Iman Budhi Santosa, setidaknya ada dua manfaat dari buku tafsir puisi ini, yaitu, pertama, sebagai dakwah. “Manakala direnungkan lebih jauh, besar kemungkinan M. Faizi telah berdakwah melalui puisi di Madura”, (hal. 8). Menurut saya bukan hanya di Madura, tetapi sudah merambah ke tempat-tempat lain yang lebih jauh, bahkan sudah sampai ke luar negeri. Dalam hal ini, M Faizi mempunyai banyak referensi yang dapat dijadikan bukti dalam dakwah puisinya.

Kedua, sebagai sedekah. “Pada sisi berikutnya, jika kita memahami puisi tak ubahnya sedekah, M. Faizi nyata-nyata telah mengajarkan masyarakat pembaca sastra melakukan semacam atur panuwun (ucapan terima kasih) kepada para penyair yang puisinya ditafsirkan” (hal. 8). Ini mengajarkan pembaca untuk memahami sebuah puisi dimaknai sebagai sedekah karena telah memberikan ilmu-pemafhuman sehingga nilai-nilai yang terkandung di dalam puisi semakin jelas dan dapat diamalkan dalam keseharian. Menafsirkan sebuah puisi, kemudian dibaca oleh orang lain hingga memperoleh pengetahuan yang konkret, bukanlah suatu “amal” yang pantas dipandang sebelah mata.

Sebagai penulis buku, Nyalasar karya M Faizi seringkali memberikan catatan bahwa apa yang Beliau tafsirkan adalah sebuah keniscayaan. Bukan sebagai kebenaran tunggal apalagi mutlak. “Saya menggunakan pola tafsir sederhana dan manasuka: kata perkata , frasa per frasa, dan seterusnya. Tujuannya adalah demi membantu pembaca menemukan kekayaan pemahaman, bukan dengan maksud menguasai satu-satunya pemaknaan” (hal. 21).

Jadi, buku tafsir puisi ini merupakan salah satu jalan untuk dijadikan lorong pemaknaan meski lorong-lorong yang lain begitu sangat terbuka. Setidaknya, salah satu jalan telah diterabas olah M Faizi, sehingga yang lain bisa saja membuka jalur tafsir yang mungkin berbeda.

Tidak semua kata, frasa, atau kalimat dapat ditafsirkan secara gamblang oleh M Faizi. Ada beberapa larik puisi yang justru mengambang atau tidak ditafsir secara nyata. Tersebab oleh korelasi kalimat yang ambigu, bias, dan alasan lainnya. “(Nah, ini dia, entah mengapa, kok penyair menggunakan mahoni sebagai simbolnya, hal. 19).”

Kalimat ini menunjukkan bahwa ada beberapa kata, frasa, atau kalimat yang hanya diketahui oleh si penyair. Pembaca atau penafsir hanya dapat mengira, mereka (ulang), dan menerka makna atau maksud dari si penyair itu sendiri.

Ada banyak hal puisi yang ditafsirkan dalam buku ini. Seperti yang diungkapkan langsung kepada saya, ketika saya berjumpa dengan M Faizi dan sedikit berbincang tentang buku ini, bahwa tafsir puisi ini berdasar manasuka. Termasuk puisi yang dipilih pun, didapat dari banyak sumber. Bisa sangat mungkin puisi yang berkelebat di lini massa FB Beliau menjadi target untuk ditafsirkan. Ya, begitulah ke-manasuka-an M Faizi, benar-benar apa adanya dan apa maunya.

“Apa yang saya tafsirkan adalah apa yang saya tulis, artinya tidak ada diskusi dan diskursus yang mewajibkan saya untuk mengubah, mengedit, memperlebar tafsiran, atau menguranginya. Semua adalah tafsir puisi manasuka yang sebegini adanya,” kata M Faizi saat saya dan Beliau sedang beraudiensi di kediamannya.

Maka muncullah tafsiran-tafsiran puisi dengan berbagai tema dan problematika. Pada halaman 15, di awal penafsiran terdapat puisi dengan tema (judul) “Pisah Ranjang” karya Malkan Junaidi. Sebuah puisi yang terkesan sangat fikih-sentris, bagaimana menjawab persoalan rumah tangga yang karena adanya persoalan kemudian terjadi perseteruan. Tetapi, tidak sampai pada klimaks perpisahan dan masih dalam koridor  “cekcok” yang wajar. Jadilah “Pisah Ranjang” sebagaimana dijelaskan di kitab-kitab klasik adalah sebuah solusi untuk mendapat jawab dari persoalan rumah tangga yang puncaknya berakhir damai. Aamiin!

Pada Sebuah Upacara Turun Tanah, karya Iman Budi Santosa, halaman 71, sebuah puisi yang menjelaskan tentang adat istiadat di Tanah Jawa, bahwa seorang anak dengan usia tertentu dibuat-adatkan upacara sebagai bentuk awal kedewasaan atau harapan-harapan serta doa agar si cabang bayi menjadi penerus yang sanggup menghadapi kehidupan dunia yang senyatanya. Upacara adat ini juga sebagai simbol untuk menjalani kehidupan dengan caranya sendiri yang normatif dan tidak melanggar kaidah adat dan agama. “Keluarlah anakku, dari kurungan demi kurungan itu.” Simbol untuk mencari jalan hidup di dalam kehidupan itu sendiri.

Tema cinta juga menempati daftar dalam bahasan tafsir puisi di buku ini. Cinta memang tidak akan pernah habis untuk dijadikan objek pembahasan. Selalu ada dan senantiasa menempati trending topik di segala sisi kehidupan. Sebab Cinta, oleh Kim Alghazali AM, salah satu tema cinta yang ditafsir-puisikan oleh M Faizi. “dalam cinta dua entitas berjumpa,” sebuah larik puisi yang begitu jelas adanya koneksi antara dua “jenis kelamin?” yang saling mengikat romansa. Saya tidak akan membahas lebih jauh, karena di dalam tafsir puisi ini ada karakter penjelas (tafsir) yang tidak bisa diwakilkan oleh siapapun juga. Maka, menghadapi langsung (membaca) buku ini akan disuguhi nilai-nilai penafsiran yang membumi, sekaligus melangit. Terasa lebay? Pembaca, Anda akan merasakannya sendiri ketika telah membaca buku ini.

Masih adakah tema lain? Tentu, masih banyak lagi yang lainnya. Resensi ini tidak akan mewakili keseluruhan bahasan yang ada di dalamnya. Hanya saja, resensi ini dimaksudkan sebagai “penggugah” (menurut Dalai Lama) untuk dijadikan salah satu rujukan ilmu dalam menafsirkan sebuah puisi.

Buku ini diterbitkan oleh Lembaga Seni & Sastra, Reboeng, cetakan pertama, Juni 2018 setebal 190 halaman. Saya menemukan kesalahan ketik (typo) pada buku ini di beberapa halaman. Beberapa artinya sangat tidak banyak, bahkan kesalahan ketik ini sama sekali tidak berpengaruh pada kualitas isi buku Nyalasar ini. Seperti pada halaman 43, baris ketiga dari atas terdapat penulisan kata “pembacara” yang dimaksudkan adalah pembaca. Begitu juga pada halaman 64 paragraf kedua baris kelima terdapat penulisan kata “Pengalamanya,” yang maksudnya adalah pengalamannya. Pada halaman 81 terdapat penulisan kata “cahanya” yang mungkin maksudnya adalah cahaya. Itu saja yang sempat saya koreksi ketika menikmati buku tafsir puisi ini. Mungkin saja masih ada yang lainnya, tetapi karena keterbatasan alat pandang saya, maka tidak saya temukan.

‘Ala kulli hal, menurut pengarangnya, M Faizi, tafsir puisi ini manasuka, apa adanya, dan sangat sederhana. Akan tetapi, kalau diperhatikan lebih jauh tidak sesederhana yang kita bayangkan. Setidaknya, di dalam bahasan puisi ini terdapat rujukan-rujukan yang begitu kompleks, komplit, dan komprehensif. Ini menurut saya pribadi. Tentu pembaca mempunyai pendapat lain dari yang saya kesankan.

“(pertama, alasan menggunakan “adjektiva feminim” untuk Tuhan [“cantik”, bukan “tampan”] adalah karena mendekatkan situasi diri pemohon [pesolek]; kemungkinan kedua, penyair mengasosiasikan Tuhan dari referensi metologi: Aphrodithie [dalam mitologi Yunani]; Hathor [dalam mitologi Mesir]; Isytarut [dalam mitologi Babilonia-Phonecia; Syiria-Libanon di masa kini ditulis ‘Isytar’] yang kesemuanya diidentifikasi feminim).”

Bagi saya penjelasan ini memerlukan referensi yang tidak sederhana. Maka, kesederhanaan itu sendiri sangat mungkin menjadi diskusi dengan ragam argumentasi.

Demikianlah resensi sederhana ini tercipta dengan segala kelemahan dan keterbatasan yang menyertainya. Tentu saya berharap banyak adanya kritik dan pembenahan-pembenahan untuk menjadikan naskah resensi ini lebih baik. Mator Cangkolang (mohon maaf) kepada pengarang buku ini, M Faizi, jika terdapat kesalahan bahasan, maksud, dan tujuan yang sebenarnya. Semoga Allah swt berkenan memberikan Taufiq dan Hidayah kepada kita, utamanya diri saya sendiri untuk menjalani hidup dan kehidupan takwa dalam Islam yang kaffah. Aamiin ya Robbal ‘alamin!

DATA BUKU
Nyalasar: Tafsir Puisi Faizi
Hak Cipta Dipindungi Undang-Undang
All right reserved
Penulis
M.Faizi
Kurator
Nana Ernawati
Editor
Iman Budhi Santosa
Sampul, Tata Letak, & Ilustrasi Isi
Shohibur Ridho’i
Ctakan Pertama, Juni 2018
Halaman: 190
Ukuran: 14 x 21 cm
ISBN: 978-602-60093-4-0
Percetakan Nasional RI
Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Penerbit
Lembaga Seni & Sastra
REBOENG
Jl. Gaharu 1/8 Cipete Selatan, Jakarta Selatan
Email: [email protected]
Web: senisastrareboeng.or.id
Multi-Page

Tinggalkan Balasan