Nasionalisme Indonesia di Era Orde Baru

8,483 kali dibaca

Di era Soekarno, pembentukan nasionalisme banyak didorong oleh unsur etnisitas, patriotisme, revolusi, dan ideologi. Peran surat kabar juga signifikan bagi proses perekatan imajinasi komunal. Di era Soekarno, wacana pengkuh utama nasionalisme adalah wacana ‘ancaman asing’ dan ‘ketahanan bangsa’. Token-token tersebut dirawat oleh Soekarno, sampai kemudian berubah makna setelah berpindah tangan ke rezim Soeharto di tahun 1966.

Kup 1965 menandai babak baru bagi percaturan ideologi Indonesia. Di masa Soekarno, percaturan ideologi terdiri dari tiga pilar: nasionalisme, Islam, dan komunisme. Pasca kup 1965, percaturan berubah menjadi: nasionalisme dan Islam. Makna ‘ancaman asing’ masih merujuk pada bahaya luar negeri. Sementara itu, karena kondisi psikologi-sosial pasca tragedi 1965, makna ‘ketahanan bangsa’ berubah, yang awalnya merujuk terbatas pada stabilitas institusi politik Indonesia, menjadi resistensi terhadap ancaman PKI. Pengalaman tersebut menambah memori kolektif Indonesia tentang nasionalisme miliknya.

Advertisements

Hal itu diabadikan dalam satu kawasan museum besar bernama Museum Kesaktian Pancasila di Jakarta Timur. Tujuannya adalah untuk mengikat generasi selanjutnya pada memori kolektif yang sama. Sampai pada titik ini, apa yang disebut Benedict Anderson sebagai, the imagined adalah sesuatu yang menular: mulanya dari sekelompok individu tak saling-kenal yang saling membayang lewat media, kemudian mengental bersama lewat peristiwa dan pengalaman, lalu diabadikan dalam artefak, simbol, ruang atau apapun agar imajinasi yang sama dapat terwaris kepada anggota kelompok di masa depan.

Setelah perang dunia kedua, dunia memasuki fase pembangunan ulang atas destruksi yang dihasilkan. Agenda pembangunan mengalirkan dana dari negara maju ke negara berkembang dalam bentuk beragam, dari mulai hibah bantuan asing hingga tawaran investasi.

Di tengah gegap gempita persaingan Kapitalisme Amerika dan Komunisme Uni Soviet, dan di tengah tren kecenderungan negara-negara berkembang seperti Amerika Latin dan beberapa negara di Asia Tenggara pada komunisme, tulisannya Richard Robinson, The Rise of Capital (1985), mengungkap bahwa, revolusi terbaik sepanjang abad ke-19 hingga abad ke-20 bukanlah komunisme ataupun sosialisme, melainkan kapitalisme dengan revolusi yang terjadi secara senyap namun mengakar, khususnya di negara-negara berkembang di Asia Tenggara.

Di masa Suharto, Indonesia membuka diri pada modal asing untuk mengikis inflasi 600% yang muncul di akhir era Soekarno. Semangat bangsa pada masa Orde Baru adalah pembangunan ekonomi. Modal dibuka, industri manufaktur bersemi, industri ekstraktif berdiri, demografi direkayasa melalui transmigrasi, dan mentalitas subsisten dibina menjadi mentalitas modern-urban. Agar semuanya berjalan lancar, Orde Baru mengadopsi dua lapis proteksi: teknokratisme ekonomi dan stabilitas politik.

Teknokratisme ekonomi bertugas untuk mengamankan dan merekayasa lapisan sosial horizontal. Cakupannya meliputi instrumentalisasi ilmu sosial empiris-fungsionalis, penanganan dampak-dampak tak terduga dari sebuah kebijakan tertentu, pembentukan mentalitas masyarakat ke arah urban-modern, pendefinisian ulang gambaran kondisi Indonesia, dan reduksi dimensi kemanusiaan (humanities) menjadi sebatas dimensi fungsi dan guna dalam frase ‘Sumber Daya Manusia’.

Stabilitas politik bertugas untuk mengamankan risiko ekses-ekses politik dan ketidak-sepakatan dari beberapa pihak mengenai agenda pembangunan dan institusi politik Orde Baru. Cakupannya meliputi kontrol dan represi pers, permainan politik bahasa, rekayasa sejarah di bahan ajar pedagogik dan di diorama museum, distorsi makna ‘budaya Indonesia’ dan ‘manusia Indonesia’ dan distorsi pengertian kepentingan negara.

Tahun 1980-an adalah periode transisi di mana percaturan ideologi dan kemajuan teknologi industri banyak memengaruhi makna nasionalisme, dibanding kolektivitas etnis ataupun semangat perlawanan anti-asing. Oleh karena itu, mudah untuk menemukan makna nasionalisme era Orde Baru dalam ekspresi kecintaan terhadap produk lokal, merelakan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, berpretasi untuk membanggakan negara, romantisme simbolik, romantisme patriotik zaman penjajahan, penegakan kedisiplinan, dan lain-lain.

Secara kultural, energinya berasal dari lima nilai utama Orde Baru, yakni militerisme, hierarki, kekeluargaan, kedisiplinan, dan kepemimpinan. Implikasinya, pertama, militer ditempatkan sebagai penafsir terabsah dalam memaknai nasionalisme. Kedua, apa yang disebut sebagai banal nationalism, atau nasionalisme simbolik, banyak dipromosikan oleh beragam kalangan berpengaruh seperti birokrat, elite politik, pengajar, dan bahkan pemuka agama.

Ketiga, harapan dan keinginan pada stabilitas negara, ketertiban umum, dan kecintaan total pada bangsa merwariskan nasionalisme statis yang seakan bebas dari pengaruh percaturan ideologi, kemajuan teknologi, kolektivitas etnis, peran media, dan dinamika ekonomi. Keempat, muncul fleksibilitas arbitrer antara makna ‘mengkritik’ dan ‘melawan’, antara ‘membela kemanusiaan’ dan ‘menyampingkan kepentingan negara’, antara ‘diskusi akademik’ dan ‘promosi ideologi anti-Pancasila.’

Runtuhnya Orde Baru tahun 1998, sekalipun banyak mengubah hal-hal kasat mata di bidang sosial politik, tetapi banyak hal-hal tidak kasat mata―seperti budaya, gaya politik, dan jejaring politik―tetap tidak berubah. Di antara hal-hal itu, masalah budaya dan jejaring politik adalah dua hal yang paling mencolok.

Jejaring elite Orde Baru beserta oligarki-oligarkinya, berhasil mereorganisasi diri di iklim Indonesia pasca-reformasi sehingga tetap bisa mempertahankan atau bahkan memperluas pengaruhnya di sistem dan praktik politik Indonesia masa kini. Empat implikasi yang disebutkan di atas berasal dari ‘dampak budaya’ atas struktur politik yang terisi oleh jejaring elite lama.

Hal ini juga secara bersamaan menjelaskan soal mengapa pengertian, penanaman, dan interpretasi nasionalisme hari ini terasa tidak banyak berubah daripada dua atau tiga dekade lalu. Hal lain yang sebenarnya lebih penting adalah, soal praktik diskursif nasionalisme di Indonesia.

Walaupun muncul aneka gairah baru seperti ‘revolusi 4.0,’ ‘bonus demografi’, ‘era digital’, ‘metavers’, ‘society 5.0’ dan lain sejenisnya, produksi makna nasionalisme masih didominasi oleh kalangan militer dan lembaga keamaan. Penanamannya terjadi secara luas, dari sekolah, seminar, hingga pesantren. Makna yang ditawarkan biasanya digabung dengan justifikasi etis teologis dari pemuka agama.

Akan tetapi, praktik diskursif yang demikian perlu dievaluasi secara mendalam mengingat aneka tantangan dan dinamika zaman yang lebih plural dan terbuka. Otoritas makna nasionalisme perlu didistribusi pada kalangan-kalangan yang beragam, dan tidak menutup kesempatan bagi misalnya, orang miskin, kelompok minoritas, seniman, aktivis, petani, cross-gender, pegiat HAM dan lain-lain.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan