Membaca Ulang Nasionalisme Indonesia di Awal Kemerdekaan

1,472 kali dibaca

Nasionalisme dalam kehidupan sehari-hari adalah sesuatu yang cair dan dinamis. Namun, tidak sedikit kalangan yang membatasi nasionalisme pada pengertian-pengertian sempit dan beku. Batasannya biasanya diletakkan pada romantisme masa lalu, patriotisme terhadap musuh, paranoia terhadap ancaman bangsa, cinta posesif terhadap negara, atau gairah persaingan ideologi.

Pada konteks zaman tertentu, pengertian-pengertian itu benar, tetapi tidak selamanya. Namun tidak sedikit juga kalangan yang menginginkan pengertian-pengertian itu diabadikan dan dilestarikan karena ada tujuan terselubung. Tetapi, apakah keyakinan tersebut akurat dan memadai untuk mengarungi masa depan?

Advertisements

Jawabannya relatif tergantung pada faktor apa yang melatarbelakangi lahir dan terawatnya nasionalisme di sebuah zaman. Namun, sebelum membahas soal itu, perlu untuk mendudukkan lebih dulu bagaimana mesin cetak merangsang tumbuhnya nasionalisme, dan bagaimana perbedaan polanya di beberapa negara.

Momen ketika Johannes Gutenberg menemukan mesin cetak (printing press) di tahun 1439 adalah sebuah revolusi. Dunia sebelum Gutenberg merupakan dunia soliter di mana individu sangat terbatas dalam membayangkan dan mengimajinasikan lingkungan sekitar serta kondisi orang sekitar yang mungkin memiliki nasib sama sepertinya.

Mesin cetak Gutenberg memungkinkan ide, cerita, berita, peristiwa, dan kabar dapat dibagi ke banyak orang. Sejak saat itu, imajinasi individu tentang dirinya dan tentang kerabat sekitarnya yang mungkin beridentitas atau bernasib sama mulai mengalami perekatan. Tersedianya fasilitas untuk berimajinasi itulah yang kemudian mendorong lahirnya nasionalisme.

Benedict Anderson dalam bukunya, Imagined Communities (1995), mengatakan, “Sebuah nation adalah komunitas politik terbayang. Ia bersifat terbayang karena, bahkan sebagian besar anggota kelompok tidak akan pernah mengenal, bertemu, atau bahkan mendengar anggota kerabat lainnya. Meskipun begitu, di benak mereka tertanam bayangan komunal.” Imajinasi yang dipicu oleh surat kabar membuka kesadaran komunal soal basis kekerabatan kolektif, yang pada gilirannya dikukuhkan secara sosial-politik. Akan tetapi, proses pengukuhan itu adalah jalan terjal yang presedennya berbeda-beda di tiap masyarakat.

Di Eropa, kekerabatan berbasis bahasa perlu berkontestasi dengan model politik lama berbasis religi. Di Perancis, selain karena basis bahasa, imajinasi kekerabatan tumbuh dipantik oleh pengalaman patriotik Napoleon dan pengalaman kelam terhadap feodalisme. Di Indonesia, dan sebagaimana umumnya kawasan Asia Tenggara lainnya, nasionalisme tumbuh bukan karena bahasa, melainkan pengalaman patriotik melawan penjajah di suatu wilayah teritori tertentu.

Kesamaan nasib tersebut mendorong keinginan kolektif untuk mengukuhkan diri dalam satu model nation, atau ikatan sosial berlapis kedaulatan politik. Berbedanya basis nasionalisme di berbagai daerah menyiratkan bahwa nasionalisme bukanlah sesuatu yang stagnan. Nasionalisme adalah sesuatu yang dinamis, yang dalam prisma pemikirannya Arjun Appandurai (1996), tergantung pada: ethnoscape, technoscape, financescape, mediascape, dan ideoscape.

Ethnoscape bertautan dengan status, komposisi dan posisi demografi ras, identitas, agama, dan etnisitas. Interaksi dengan aneka identitas merangsang konsern, kesadaran dan imajinasi sosial tertentu. Technoscape menyangkut soal teknologi dalam memfasilitasi kecepatan melintas batas teritori. Dari perlintasan itu muncul pertukaran informasi, identitas, dan bahkan pengalaman baru yang signifikan bagi bentuk imajinasi kekerabatan yang terbayang.

Financescape berkaitan soal mekanisme pasar, pergeseran serta sirkulasi komoditas, dan identitas penggerak ekonomi. Mediascape adalah kemampuan piranti elektronik memfasilitasi pertukaran informasi dalam aneka bentuk. Ideoscape atau otoritas negara berkaitan dengan ideologi dan beragam gerakan yang berusaha merebut sebagian atau seluruh kedaulatan negara.

Sebagai contoh, pengalaman Revolusi dan perang Napoleonik di Perancis adalah faktor ideoscape dan financescape bagi nasionalisme di Perancis. Ratusan tahun setelahnya, ketika Syiria dan beberapa negara Timur Tengah mengalami krisis kemanusiaan, banyak negara-negara Eropa, termasuk Perancis, didatangi pengungsi (refugees) dari sana. Ethnoscape Eropa berubah. Sebagian kontestan politik memainkan nasionalisme nativis sebagai kartu elektoral dan kebijakan populis.

Di Amerika, ketika pergaulan generasi muda-nya mengalami kosmopolitanisasi, dan gerakan progresif seperti Black Lives Matter serta aktivisme LGBTQ+ mengalami musim semi, Donald Trump ‘merevitalisasi’ nilai-nilai lama ke-Amerika-an dengan menggunakan sentimen rasial kulit putih, anglo-saxon, Protestan (White Anglo-Saxon Protestan/WASP). Strategi Trump lainnya adalah antagonisasi orang Latino dan Negro dengan tuduhan ‘krimial,’ ‘penyelundup narkoba’, dan ‘pemerkosa’.

Slogan Trump yang terkenal, “Make America Great Again,” muncul sebagai akumulasi dari permainan ethnoscape dan ideoscape untuk mendefinisikan ulang nasionalisme Amerika. Kasus Perancis dan Amerika menunjukkan bahwa makna nasionalisme dapat berubah oleh dinamika sosial, dan dapat diubah oleh aktor atau maksud tertentu melalui salah satu atau beberapa faktor prinsipilnya.

Indonesia pra-kemerdekaan mendapat nasionalismenya dari dua arah. Pertama dari kalangan cendekia. Dan kedua, dari aktivisme pers akar rumput. Beasiswa studi bagi elite pribumi dari pemerintah kolonial mulanya diarahkan untuk keperluan politik etis agar elit pribumi berpihak pada pemerintah kolonial. Akan tetapi, di Belanda, elite-elite seperti Hatta dan Sjahrir mengalami gejolak dan pengendapan dalam batin soal identitas, kebangsaan, dan ketercerabutan sosial dirinya.

Sepulang dari Belanda, renungan dan gejolak tadi berubah menjadi energi nasionalisme yang menegasi kekuasaan pemerintah kolonial di Hindia Belanda. Di lain pihak, surat kabar seperti Bromartini (1855), Surat Chabar Betawie (1858), Bintang Timoer (1862), Djoeroe Martini, dan Bianglala (1867) membantu merangsang imajinasi komunal masyarakat akar rumput, khususnya kalangan dari kelas dua (etnis Cina dan Arab) dan kelas tiga (pribumi) (Abidin, 1980).

Elite cendekia dan masyarakat akar rumput disatukan oleh pengalaman patriotik dalam saga pertempuran melawan koloni Belanda dan Jepang di berbagai wilayah di Hindia Belanda. Epik pertempuran, semangat patriotisme dan gairah revolusi adalah beberapa token utama bagi nasionalisme Indonesia awal. Pada periode ini, wacana utama nasionalisme berasal dari ‘ancaman asing’ dan ‘ketahanan bangsa’, sebagai hasil dari dinamika ethnoscape masa itu.

Pengukuhan pada gairah nasionalisme itu juga diberikan, sekaligus diperdebatkan, oleh tiga kelompok: nasionalis, Islam, dan komunis. Gerakan-gerakan pemuda seperti Boedi Oetomo, dan sejenisnya memotori konsolidasi pemuda akar rumput sambil mendeliberasi elite-elite cendekia. Organisasi Islam seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, memberikan justifikasi etis dan religi atas perlawanan-perlawanan komunal terhadap koloni. Kelompok komunis juga menggarisbawahi soal solidaritas, pemerataan kekayaan, dan evaluasi sistem ekonomi.

Sumbangan-sumbangan itu adalah pengalaman bersama yang selanjutnya menjadi memori kolektif. Di awal kemerdekaan, gairah nasionalisme banyak berasal dari faktor ethnoscape dan ideoscape: dentitas sosial mendapat perekatan komunal dari perasaan keterancaman kedaulatan bersama. Hal ini kemudian berubah di masa Orde Baru.

Multi-Page

2 Replies to “Membaca Ulang Nasionalisme Indonesia di Awal Kemerdekaan”

Tinggalkan Balasan