At-Turast Wa At-Tajdid, Pesantren, dan Peradaban Dunia

869 kali dibaca

Berbicara tentang pendidikan agama di Indonesia, kurang lengkap rasanya jika tidak menyebut kata pesantren. Salah satu lembaga pendidikan Islam tertua asli Indonesia ini tampaknya memang memiliki landasan sosio-historis yang kuat, sehingga mendapatkan posisi yang cukup sentral dalam dunia pendidikan masyarakat Nusantara.

Lembaga pendidikan Islam yang telah lahir sejak era Walisongo ini juga memainkan peranan penting sebagai lembaga sosial yang menjadi kontrol masyarakat dalam memberi sikap terhadap perkembangan zaman.

Advertisements

Oleh karenanya, pesantren yang dinilai khas dengan tradisinya harus selalu siap berdialog dengan realitas kekinian. Tentu usaha rekontekstualisasi, terutama dalam aspek kurikulum pendidikannya, harus selalu digalakkan. Di samping, memang harus berhadapan dengan era disrupsi yang telah mengubah segala sektor kehidupan. Dalam wilayah ini pesantren ada dalam suatu pergumulan antara identitas dan realitas. Pesantren memang berkewajiban untuk “menengok” berbagai macam kebaruan, tapi tentu sangat dilarang meninggalkan tradisi keasliannya.

Maka dalam hal ini, kita coba menawarkan sebuah gagasan untuk “menjembatani” antara identitas tradisi dan realitas kekinian. Tujuannya, tak lain agar pesantren mampu berperan aktif dalam membangun tatanan peradaban dunia saat ini.

Tampaknya proyek besar dari Hasan Hanafi berupa “at-turast wa at-tajdid” cukup tepat untuk menjadi jawabannya. Gagasan ini mewartakan, setidaknya tiga hal pokok yang saling berkaitan (Rasid, dkk: 2021).

Pertama, sikap terhadap tradisi klasik. Yaitu, kesadaran terhadap tradisi. Sebab, tradisi merupakan dasar bagi manusia untuk bersikap terhadap realitas saat ini. Artinya, bahwa nilai, aturan, maupun metode yang sudah ada dalam tradisi klasik, seharusnya mampu direvitalisasi dengan pertimbangan terhadap konteks sosial-antropologi suatu wilayah.

Kedua, sikap terhadap tradisi kebudayaan Barat. Yaitu, tekanan bagi umat Islam modern yang seharusnya mampu menganalisis kajian-kajian terhadap tradisi Barat dengan studi kritis. Ketiga, menyikapi realitas kekinian. Yaitu, sebuah gagasan terhadap realitas saat ini untuk pembuka tabir terhadap zaman dahulu. Kemudian, tekanan selanjutnya adalah optimalisasi wahyu agar sesuai dengan perkembangan zaman. Dengan demikian harapan terbesarnya adalah melakukan kajian ulang dan merekonstruksi tradisi saat ini.

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan