At-Turast Wa At-Tajdid, Pesantren, dan Peradaban Dunia

907 kali dibaca

Berbicara tentang pendidikan agama di Indonesia, kurang lengkap rasanya jika tidak menyebut kata pesantren. Salah satu lembaga pendidikan Islam tertua asli Indonesia ini tampaknya memang memiliki landasan sosio-historis yang kuat, sehingga mendapatkan posisi yang cukup sentral dalam dunia pendidikan masyarakat Nusantara.

Lembaga pendidikan Islam yang telah lahir sejak era Walisongo ini juga memainkan peranan penting sebagai lembaga sosial yang menjadi kontrol masyarakat dalam memberi sikap terhadap perkembangan zaman.

Advertisements

Oleh karenanya, pesantren yang dinilai khas dengan tradisinya harus selalu siap berdialog dengan realitas kekinian. Tentu usaha rekontekstualisasi, terutama dalam aspek kurikulum pendidikannya, harus selalu digalakkan. Di samping, memang harus berhadapan dengan era disrupsi yang telah mengubah segala sektor kehidupan. Dalam wilayah ini pesantren ada dalam suatu pergumulan antara identitas dan realitas. Pesantren memang berkewajiban untuk “menengok” berbagai macam kebaruan, tapi tentu sangat dilarang meninggalkan tradisi keasliannya.

Maka dalam hal ini, kita coba menawarkan sebuah gagasan untuk “menjembatani” antara identitas tradisi dan realitas kekinian. Tujuannya, tak lain agar pesantren mampu berperan aktif dalam membangun tatanan peradaban dunia saat ini.

Tampaknya proyek besar dari Hasan Hanafi berupa “at-turast wa at-tajdid” cukup tepat untuk menjadi jawabannya. Gagasan ini mewartakan, setidaknya tiga hal pokok yang saling berkaitan (Rasid, dkk: 2021).

Pertama, sikap terhadap tradisi klasik. Yaitu, kesadaran terhadap tradisi. Sebab, tradisi merupakan dasar bagi manusia untuk bersikap terhadap realitas saat ini. Artinya, bahwa nilai, aturan, maupun metode yang sudah ada dalam tradisi klasik, seharusnya mampu direvitalisasi dengan pertimbangan terhadap konteks sosial-antropologi suatu wilayah.

Kedua, sikap terhadap tradisi kebudayaan Barat. Yaitu, tekanan bagi umat Islam modern yang seharusnya mampu menganalisis kajian-kajian terhadap tradisi Barat dengan studi kritis. Ketiga, menyikapi realitas kekinian. Yaitu, sebuah gagasan terhadap realitas saat ini untuk pembuka tabir terhadap zaman dahulu. Kemudian, tekanan selanjutnya adalah optimalisasi wahyu agar sesuai dengan perkembangan zaman. Dengan demikian harapan terbesarnya adalah melakukan kajian ulang dan merekonstruksi tradisi saat ini.

Di lingkungan khazanah pesantren, tradisi (at-turast) sejatinya merupakan landasan utama pesantren yang tentu harus selalu dilakukan upaya kontekstualisasi terhadap realitas kekinian. Reinterpretasi terhadap at-turast yang tertuang dalam prinsip al-qadim al-salih (tradisi lama yang baik) sebetulnya merupakan implikasi langsung terhadap pentingnya pengembangan pada al-jadid al-aslah (realitas baru yang lebih baik). Dengan demikian tradisi memiliki peranan urgen dalam usaha revitalisasi dengan reinterpretasi agar tradisi pendidikan pesantren mampu berdialog dengan realitas kekinian.

Tahap selanjutnya adalah bagaimana pesantren mampu membuka diri pada keilmuan Barat. Model strategis dalam upaya ini adalah dengan melakukan integrasi-interkoneksi antara pelajaran tradisional pesantren dengan sains modern. Yaitu, dengan mengembangkan model diskusi kritis dalam upaya kontekstualisasi, melalui kitab kuning misalnya. Kitab kuning dapat dikatakan sebagai sumber referensi strategis dalam rangka transformasi keilmuan di pesantren. Misalnya, pesantren bisa mengembangkan pemahaman baru antara masalah fikih perempuan dengan isu gender. Dengan metode tersebut diharapkan mampu memberikan interpretasi baru berkaitan relasi antara agama dan ilmu pengetahuan modern.

Maka, langkah terakhir dalam upaya diskursus at-turast wa at-tajdid yaitu mengoptimalkan berbagai kajian tradisional pesantren agar mampu dikontekstualisasikan dengan masalah-masalah aktual yang sedang berkembang di masyarakat. Tentu dengan harapan mampu memberikan “tafsir pembebas”  guna menjawab berbagai problematika tersebut.

Misalnya dengan mengembangkan model bahtsul masail yang tidak melulu terpaku pada masalah ubudiyah, namun juga terhadap realitas modern. Sehingga, dalam hal ini tradisi tersebut tetap dilestarikan namun dengan langkah yang lebih kreatif dan inovatif.

At-turast wa at-tajdid sebenarnya memiliki hubungan “intim” dengan dunia pesantren yang juga memiliki kaidah “al-muhafadzah ‘ala al-qadim al-shalih wa alakhzu bi al-jadid al-ashlah.” Maka, idealnya pesantren harus mampu mempertahankan pendidikan tradisional ala pesantren, seperti kitab kuning dan jenjang pendidikannya. Namun, selain itu juga harus mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman, misalnya dengan memasukkan kajian tambahan sains dan teknologi serta keahlian lainnya. Sebagai salah satu elemen pokok pesantren, selain kiai, asrama, dan masjid, metode kitab kuning bisa dijadikan langkah awal dalam rangka menjadikan tradisi sebagai pijakan dalam membangun peradaban.

Konsep at-turast wa at-tajdid sebenarnya telah teruji keberhasilannya ketika Islam mencapai masa kejayaannya. Misalnya saat pemerintahan Bani Umayah dan era Dinasti Abbasiyah yang mampu mengembangkan kreativitas baru yang mengagumkan dalam seni dan ilmu pengetahuan. Dalam bidang keilmuan dipelajari tidak hanya kajian dasar keislaman, tapi juga dipelajari berbagai ilmu sains, seperti filsafat, ilmu pasti, ilmu eksakta, dan lain sebagainya.

Jika melihat kejayaan Islam pada dua zaman tersebut dengan entitas pesantren, dengan segala tradisi agungnya yang terintegrasi-terinterkoneksi dengan berbagai keilmuan modern, maka bukan tidak mungkin bahwa pesantren bisa menjadi main actor dalam upaya membangun peradaban dunia. Wallahu a’lam bishawab…

Multi-Page

Tinggalkan Balasan