Nasi Bungkus untuk Umar

781 kali dibaca

Penatnya senja di perkotaan. Hiruk pikuk para insan pemburu uang. Ada yang baru berangkat kerja. Pun, ada yang pulang dari kerja, termasuk aku. Aku bekerja sebagai cleaning servis di salah satu perusahaan di ibu kota ini. Selepas subuh berangkat kerja, sore pulang. Demi menafkahi anak dan istri.

Kali ini untuk menghilangkan segala letih setelah seharian bekerja di dalam ruangan berpendingin, aku memutuskan bertolak ke taman kota terlebih dahulu. Sekadar mencuci mata, melihat hijau tumbuhan dan beraneka warna bunga di sana. Itu bisa menenangkan sejenak jiwa ini.

Advertisements

Aku kendarai motor butut milikku menuju pusat kota. Setelah memarkirkan motor, aku menuju salah satu bangku yang ada di sana. Pandanganku jauh menerawang ke atas. Di dalam otakku ada berbagai angan dan harap untuk keluarga. Sebab, hidup di kota seperti ini sungguh tak mudah bagi kami orang perantauan dari desa. Baru beberapa bulan aku, istri, dan anakku pindah ke ibu kota ini demi mencari kehidupan yang layak. Kehidupan di kota sungguh berbeda dibanding kehidupan di kampung halaman. Tak ada tetangga yang menyapa. Yang ada hanyalah kerja, kerja, dan kerja. Sampai lupa hangatnya bercengkerama dengan keluarga di rumah.

“Hai! Maling! Maling!” Tiba-tiba suara teriakan anak lelaki yang aku perkirakan usianya sepuluh tahun, membuyarkan lamunanku. Dia berlari mengejar orang yang diteriaki maling tadi.

Aku yang baru saja menyadari bahwa ponsel di sampingku sudah tak ada, pun turut berlari mengejar si pencuri. Aku lari di belakang anak lelaki itu. Baru sekian detik aku berlari, batu besar yang tak tadinya tak terlihat oleh pandanganku membuat aku terjatuh. Nasib mujur masih memihakku. Anak lelaki tadi ternyata sudah berada di hadapan seraya mengulurkan tangannya untuk menolongku.

“Hati-hati, Pak. Ini ponsel Bapak. Untung tadi ada warga yang menolong untuk menangkap pencurinya,” ucap anak berkaus hitam itu sembari mengangsurkan ponsel milikku.

“Terima kasih, Nak.”

Belum sempat aku bertanya namanya, dia langsung berlalu dengan cepat. Aku hanya bisa menatap punggungnya sampai tak terjangkau oleh mata.

“Alhamdulillah. Masih rezeki ponsel ini,” lirihku.
***
Hari ini seusai bekerja aku singgah kembali ke taman kota. Tujuanku saat ini adalah bertemu anak lelaki yang kemarin telah menolongku. Setelah sampai di taman kota, aku menyisirkan ke semua sudut tempat di sana. Nihil. Aku tak menjumpai anak itu. Hanya ingin sekadar kenal lebih dekat dengan anak lelaki itu. Akan tetapi, takdir belum mempertemukan kami lagi. Aku berharap di lain waktu bisa berjumpa anak itu kembali. Seusai menyusuri ke semua tempat, aku memutuskan untuk pulang ke rumah.

Sudah terbayang di rumah istri dan anakku yang masih balita menantikan ayahnya membawa nasi bungkus dari kerja. Aku sangat bersyukur mempunyai istri yang menerima apa adanya. Saat aku bawakan nasi bungkus wajahnya begitu gembira. Dia bersemangat memakannya. Mungkin juga karena dia sudah terlalu lapar menungguku pulang. Tak pernah ada keluh kesah yang terlontar dari mulutnya. Aduh, i love you istriku, anakku. Rasanya ingin segera sampai rumah dan memeluknya.

Sebelum sampai rumah aku singgah dulu di rumah makan. Di sana ada berbagai macam lauk. Aku membeli tiga bungkus nasi dengan lauk yang berbeda. Ada ayam goreng, ikan bakar, dan satu lagi ayam rendang kesukaan istriku.

Aku lekas kembali setelah mendapatkan dan membayar nasi bungkus itu. Tiba-tiba saat aku mulai menstater motor, sekilas pandanganku menangkap sosok anak lelaki yang aku cari berada di lampu merah. Aku segera mengendarai motor untuk mendekatinya. Ternyata benar dugaanku. Anak yang aku cari kini sedang mengamen di lampu merah. Aku memperhatikam anak itu dari seberang jalan. Setelah aktivitasnya berhenti, aku mendekatinya.

“Kamu yang kemarin menolongku dari pencuri, ‘kan?” tanyaku basa-basi.

“Oh, iya, Om. Ada apa, Om?” Anak berkaus lusuh itu balik bertanya.

“Namamu siapa?”

“Aku Umar, Om.”

“Kamu tinggal di mana?”

Umar menunjuk jembatan besar yang tak jauh dari tempat kami berdiri.

“Aku tinggal dengan Ibu dan adikku di sana, Om.”

“Boleh saya main ke sana?” Hatiku terketuk ingin sekali mengetahui lebih dalam kehidupan Umar.

“Boleh, tapi setelah aku selesai ngamen, ya, Om. Lampu sudah merah lagi. Aku ke sana dulu, Om,” pamit anak itu.

Aku mengamati Umar dari motor bututku. Anak itu tampak semangat bernyanyi demi sepeser uang dari orang-orang yang berlalu. Melihat pemandangan itu, rasa syukurku makin bertambah. Nasibku mungkin susah, tetapi masih ada yang lebih susah lagi. Tak ada alasan untuk tidak bersyukur. Allah telah menebarkan rezeki ke segala penjuru buana. Kita sebagai makhluk wajib berikhtiar menjemput rezeki itu dengan cara yang baik dan halal.
***
Aku disuguhi Umar dengan pandangan yang mencengangkan. Di bawah jembatan besar ini mereka tinggal. Tidur beralaskan kardus-kardus bekas. Di sana ada seorang wanita paro baya dengan anak perempuan lebih kecil dari Umar.

“Jadi di sini kalian tinggal, Umar?”

“Seperti yang saya bilang tadi, Om. Di sini kami tinggal. Ayahku sudah meninggal. Ibuku stroke. Jadi, aku harus bekerja dengan mengamen, sedangkan adikku di sini mengurus Ibu,” jelasnya.

Tampak ibunya Umar tersenyum sedikit. Walau badannya susah digerakkan. Namun, senyumnya masih bisa terbit. Sungguh aku iri. Selama ini aku sering mengeluhkan hidup.

“Kalian sudah makan?” tanyaku.

“Belum, Om. Tadi seharian Ibu panas, jadi aku bantuin adikku mengurus Ibu. Baru sore ini aku bisa berangkat mengamen,” balas Umar.

Cengo. Itu ekspresiku saat ini. Sepersekian detik mulut ini terbuka. Setelah sadar, aku ingat akan nasi bungkus yang tadi kubeli. Aku beranjak menuju motor. Tiga bungkus nasi aku ambil dari motor. Segera aku berikan ke Umar.

“Ini untukmu, ibu, dan adikmu, Umar.”

“Tidak usah, Om. Nanti aku beli sendiri,” tolak Umar halus.

“Sudah tak apa-apa. Uangnya kamu simpan saja untuk beli nasi besok saja. Semoga berkenan.”

“Terima kasih, Om.” Adik Umar dan Umar berucap hampir bersamaan. Sedangkan, Ibu Umar hanya menyuguhkan senyumnya kembali.

Berhubung hari hampir berganti malam, aku minta diri. Perasaan bahagia menyelusup ke dadaku, setelah menolong Umar dan keluarganya. Nyaman. Akan tetapi, bayangan istri dan anakku kembali hadir. Berhubung uang di sakunya hanya bisa untuk membeli dua bungkus nasi, jadi terpaksa aku pulang hanya membawa dua bungkus nasi. Sebab, gaji belum turun bulan ini. Satu bungkus untuk istriku dan satu lagi tanpa sambal untuk anak. Aku akan memakan sisa dari anakku yang masih balita. Tidak mungkin satu bungkus nasi habis olehnya. Tetap bersyukur.
“Alhamdulillah,” lirihku.
***
Riau, 29 Oktober 2021.

ilustrasi: liputan6

Multi-Page

Tinggalkan Balasan