Nahu

2,445 kali dibaca

Di kalangan santri, ilmu nahu sangat familiar. Banyak manuskrip-manuskrip kuno, bahkan modern pun, yang membahas tentang ilmu ini. Karena itu, setiap pondok pesantren di Indonesia menjadikanya sebagai pelajaran pokok.

Ilmu nahu adalah ilmu yang mempelajari gramatikal; sintaktisial bahasa Arab secara morfologi. Di dalamnya, dibahas beberapa macam i’rob, marfu’atul asma’, manshubatul asma’, dan lain sebagainya. Hal ini sebagaimana yang dikatakan Ibnu Khaldun: “Tanpa nahu, syariat Islam akan gelap.”

Advertisements

Ada beberapa pendapat terkait kemunculannya. Salah satunya, ketika anak dari Abu Aswad ad-Du’aly melihat bintang, kemudian ia mensifati bintang tersebut. Dirasa salah, Abu Aswad yang mendengar kata-kata sang anak pun menegurnya: “Bahwa yang kata yang muannast, itu harus menggunakan sighot muannast.” Semenjak itu, ilmu nahu dikembangkan oleh beliau.

Sebagian orang menganggap, bahwa kemunculan ilmu nahu dapat dideteksi melalui logat bicara orang Arab (al-Lahn). Karena banyak dari mereka yang salah dalam bentuk pengucapan syiir, Imam Ali membuat sebuah teori dasar dalam penggunaan kosa kata bahasa Arab.

Sayyidina Abu Bakar pernah berkata, bahwa dia lebih senang orang yang selalu membaca daripada orang yang berkata dengan gramatika yang salah. Tak hanya Abu Bakar, Sayyidina Umar juga pernah mengatakan: “Kesalahan kalian dalam pengucapan bahasa lebih berbahaya menurutku, daripada kesalahan kalian dalam hal memanah.”

Ibnu Qutaybah pernah mendengar azan di salah satu masjid yang berada di pedalaman desa; pada lafaz Ashadu anna Muhammadarrasulullah, menjadi Rasulallah. Hal ini membuktikan, bahwa tidak setiap orang Arab dapat menguasai gramitikal bahasa mereka sendiri.

Secara heuristik, pencetus ilmu nahu adalah Imam Ali Karramallahu Wajhahu, baru kemudian dilanjutkan oleh Abu Aswad ad-Du’aly. Sebelumnya, Imam Ali telah memberikan kata kunci mengenai dasar-dasar terkait ilmu nahu, seperti isim, fi’il, dan huruf, baru kemudian disempurnakan oleh Abu Aswad ad-Du’aly. Selain pendapat tersebut, ada yang mengatakan, bahwa pencetus ilmu nahu adalah Abdurrahman, Hurmuz al-A’raj, Nasr, dan Asim.

Namun, mayoritas ulama berpendapat bahwa peletak dasar ilmu nahu adalah Imam Ali, kemudian diteruskan oleh Abu Aswa ad-Du’aly. Imam al-Anbari dan az-Zujaji meneguhkan pendapat tersebut dengan mengatakan, bahwa orang yang pertama kali mengkharakati Al-Quran adalah Abu Aswad ad-Dualy, sebagaimana yang tertulis dalam kitab Attufhah as-Saniyyah bisyarhil al-Muqoddimah al-Jurumiyyah. Hal ini tidak bisa dimungkiri, karena ad-Du’aly adalah orang yang mentransformasikan pemikiran Imam Ali. Para ulama salaf dan khalaf tidak ada ikhtilaf mengenai hal tersebut.

Pada masa Abu Aswad ad-Du’aly, ilmu nahu dikenal dengan nama al-Arabiyya. Baru kemudian, sepeninggalnya, nama tersebut diganti menjadi Nahu. Nama itu telah disebutkan olehnya di depan Imam Ali Karramallahu Wajha. Ibnu Hajar dalam kitabnya al-Isabah memaparkan: “Orang yang pertama kali mengkharakati Al-Quran adalah Abu Aswab ad-Du’aly.

Sepeninggalnya Abu Aswad, Maimun al-Aqron, murid beliau, mengembangkan ilmu tersebut, berlanjut pada masa Abul Amr bin A’la. Pada era Imam al-Kholil Al-Farohidi, ilmu a’rudh dan ilmu mu’jam disusun.

Dalam kitab al-Jumal, Imam al-Kholil al-Farohidi telah memaparkan beberapa macam huruf beserta fungsinya, yang sekarang dispesifikasikan oleh pesantren menjadai bab Qowaidul I’rob, dan kalimat mu’rob dan mabni dalam penerapan sitematika gramatikal yang berpacu pada kharakat akhir kalimat.

Generasi selanjutnya, Imam Syibawaih menerumuskan dan mempetakan ilmu nahu secara terperinci dan detail dalam kitabnya yang berjudul al-Kitab. Di sana, dipaparkan oleh Imam Syibawaih mengenai mubtada-khobar, fi’il-fail, mu’rob-mbani, dan lain sebagainya.

Imam Syibawaih adalah murid dari Imam al-Kholil al-Farohidi. Namun, dalam hal teori, ia tidak sependapat oleh gurunya itu. Imam Syibawaih lebih spesifik dan komperehensif dalam memaparkan ilmu nahu. Gaya penyampaiannya ditulis dengan menggunakan metode qiyas (analogi). Banyak teori baru yang ditemukan olehnya di samping teori yang telah dibangun oleh gurunya.

Selain belajar pada Imam al-Kholil al-Farohidi, ia juga berguru pada beberapa ulama pakar bahasa pada zamanya. Karena itulah, dalam beberapa literatur ilmu nahu, banyak yang yang menjadikan Imam Syibawaih sebagai rujukan daripada ulama-ulama lain.

Setelahnya, ilmu nahu pecah menjadi dua mazhab, Basrah dan Kuffah, sebagaimana yang tersebar hingga kini. Wallahu a’lam bisshowab…

Multi-Page

Tinggalkan Balasan