Jika kau sempat berkunjung atau pergi ke pasar Bunagung yang tidak jauh dengan rumahmu itu, untuk kali kesekian, kau sempatkan lagi masuk ke sebuah gang kecil di sebelah kiri pasar. Kau akan menemukan sebuah musala kecil dengan warna kuning emas di ujung kubahnya yang kecil pula.
Itu musala, tetapi orang di sana lebih suka menyebut langgar. Dari pengeras suara warna putih di atas wuwungan, setiap waktu salat kau akan mendengarkan puji-pujian. Aku tahu kau tidak akan banyak mengetahui tentang musala yang kecil itu. Bagaimana Wak Ama —yang sering menjadi imam langgar itu— mendirikannya dengan susah payah. Namun, satu-satunya harapan bagi warga di sana adalah musala itu. Tidak ada musala lain yang bisa menjadi tempat anak-anak belajar mengaji saban habis maghrib selain musala Wak Ama. Itulah mengapa Wak Ama disenangi orang sana.
Wak Ama tidak lahir di sana. Ia seorang pendatang yang menikah dengan salah satu warga di sana. Sejak awal menikah, hasrat Wak Ama memang besar untuk mencerdaskan anak-anak. Semangat juang dan keinginannya yang tinggi terbukti dengan ia mendirikan musala itu.
Mula-mula Wak Ama meminta izin kepada warga sekitar untuk mendirikan musala. Beruntung, warga malah senang dan tidak ada yang menolak. Selanjutnya, Wak Ama membimbing anak-anak mereka mengaji dengan baik dan benar. Silakan saja kau datang pada waktu malam sehabis salat maghrib, kau juga akan menemui banyak orang di musala yang kecil itu. Anak-anak seusia jagung saling mengantre untuk mendapat bimbingan Wak Ama. Sementara, orang tua mereka menanti di teras musala sambil menunggu salat isya didirikan.
“Tapi Wak Ama itu bodoh,” katamu setelah kau bercerita bahwa beberapa hari lalu mengunjungi musala itu.
“Bagaimana mungkin kau menuduh Wak Amad bodoh?”
“Lihat saja, Wak Ama membimbing anak-anak gratis tanpa bayaran sepeserpun.”
Bebal! Yang ada di kepalamu hanya pundi-pundi uang dan keuntungan di dunia. Sementara yang adalah dalam pikiran Wak Ama hanya pengabdian yang tulus.