Musala Wak Ama

721 kali dibaca

Jika kau sempat berkunjung atau pergi ke pasar Bunagung yang tidak jauh dengan rumahmu itu, untuk kali kesekian, kau sempatkan lagi masuk ke sebuah gang kecil di sebelah kiri pasar. Kau akan menemukan sebuah musala kecil dengan warna kuning emas di ujung kubahnya yang kecil pula.

Itu musala, tetapi orang di sana lebih suka menyebut langgar. Dari pengeras suara warna putih di atas wuwungan, setiap waktu salat kau akan mendengarkan puji-pujian. Aku tahu kau tidak akan banyak mengetahui tentang musala yang kecil itu. Bagaimana Wak Ama —yang sering menjadi imam langgar itu— mendirikannya dengan susah payah. Namun, satu-satunya harapan bagi warga di sana adalah musala itu. Tidak ada musala lain yang bisa menjadi tempat anak-anak belajar mengaji saban habis maghrib selain musala Wak Ama. Itulah mengapa Wak Ama disenangi orang sana.

Advertisements

Wak Ama tidak lahir di sana. Ia seorang pendatang yang menikah dengan salah satu warga di sana. Sejak awal menikah, hasrat Wak Ama memang besar untuk mencerdaskan anak-anak. Semangat juang dan keinginannya yang tinggi terbukti dengan ia mendirikan musala itu.

Mula-mula Wak Ama meminta izin kepada warga sekitar untuk mendirikan musala. Beruntung, warga malah senang dan tidak ada yang menolak. Selanjutnya, Wak Ama membimbing anak-anak mereka mengaji dengan baik dan benar. Silakan saja kau datang pada waktu malam sehabis salat maghrib, kau juga akan menemui banyak orang di musala yang kecil itu. Anak-anak seusia jagung saling mengantre untuk mendapat bimbingan Wak Ama. Sementara, orang tua mereka menanti di teras musala sambil menunggu salat isya didirikan.

“Tapi Wak Ama itu bodoh,” katamu setelah kau bercerita bahwa beberapa hari lalu mengunjungi musala itu.

“Bagaimana mungkin kau menuduh Wak Amad bodoh?”

“Lihat saja, Wak Ama membimbing anak-anak gratis tanpa bayaran sepeserpun.”

Bebal! Yang ada di kepalamu hanya pundi-pundi uang dan keuntungan di dunia. Sementara yang adalah dalam pikiran Wak Ama hanya pengabdian yang tulus.

Kukira, kau jauh berbeda derajat dengan Wak Ama. Itulah sebabnya, kenapa kau dengan congkak menuduh Wak Ama bodoh hanya karena tidak dibayar. Sebaliknya, kau tidak pernah tahu bagaimana perlakuan orang tua dari anak-anak yang belajar pada Wak Ama. Aku sering melihat beberapa di antara mereka memberi satu bungkus rokok —meski tidak mahal— yang cukup untuk mengepulkan asap. Kadang pula, aku melihat setiap hari Jumat orang tua mereka memberi Wak Ama satu kilo beras lengkap dengan telur dan mi mentah.

“Kasihan Wak Ama, sudah sepatutnya kita memberi dia meski sedikit,” ucap Matkali yang anaknya juga mengaji di musala Wak Ama.

Itulah yang tidak kau tahu, makanya aku sering menyuruhmu untuk mengunjungi musala Wak Ama, agar kau belajar keikhlasan di sana. Tentu, agar kau tidak selalu marah-marah kepada istrimu setiap saat jika masakannya kurang cocok menurut lidahmu. Kau menjadi manusia yang bebal. Dan aku, tidak tahu bagaimana cara agar kepalamu yang bagai batu itu hancur, bertebaran dan tidak lagi mejadi batu. Melainkan kerikil-kerikil kecil yang mudah disingkirkan.

Semenjak kau menikah, ulahmu semakin menjadi-jadi. Dahulu, kau tidak pernah berani kasar kepada perempuan. Jauh berbeda sesudah menikah, kau seperti serigala yang hendak menerkam para perempuan —termasuk istrimu.

Jika kau mengunjungi musala Wak Ama dan belajar sedikit demi sedikit di sana, pasti keluargamu tidak akan pernah berantakan. Hari ini, istrimu sudah tidak ingin tidur satu ranjang denganmu hanya karena kelakuanmu yang tidak pernah menghargainya. Kau sering memukulinya, membenturkan kepalanya ke dinding yang keras itu. Teruslah, kau berkunjung sesering mungkin ke musala Wak Ama. Lalu, dengarkan nasihat-nasihatnya setiap habis salat berjamaah.

***

Hari ini, aku berangkat menuju kota untuk mencari pekerjaan yang layak. Di kampung sudah tidak kutemukan pekerjaan yang cocok dan banyak menghasilkan uang. Sebelum berangkat, aku tidak lupa selalu menasihatimu. Aku hanya ingin kau, yang rumahnya dekat dengan musala Wak Ama, terus-terusan berada di sana. Minimal, kau salat berjamaah lima waktu. Sebagai saudara seibu, tentu aku tetap merasa kau saudara yang utuh. Ayah kita yang tidak sama, bukan menjadi alasanku untuk tidak menasihatimu. Yang lebih penting, aku ingin kau hidup bahagia dengan istrimu yang sering kau tonjok itu.

“Mending kau berangkat saja biar tidak sering menceramahiku,” ucapmu.

“Hari ini aku berangkat, aku hanya mau pamit.”

Kau melengos mengabaikan perkataanku. Kau sudah benar-benar gila. Kepada saudaramu sendiri kau sudah tidak punya budi pekerti. Di kota, aku tidak akan menasihatimu atau meneleponmu sekadar menanyakan kabar. Bagiku kau sudah keterlaluan dan tidak pantas untuk selalu dinasihati. Biarlah kamu urusi perkaramu dengan istrimu yang masakannya tidak pernah cocok di lidahmu. Saranku, kalau kau hanya keseringan menyakiti dia, lebih baik cerai saja. Itu lebih menggembirakan bagi istrimu daripada harus memakan hantaman tanganmu di wajahnya yang halus.

Sebelum berangkat, kuharap musala Wak Ama tetap seperti itu. Sesudah aku di kota nanti, musala Wak Ama tetap memberikan kesenangan bagi orang-orang di sana. Sungguh, aku sangat senang melihat anak-anak di sana mengantre untuk sekadar mendapat bimbingan Wak Ama. Ditambah, para orang tua yang sungguh menghargai Wak Ama. Di kota, aku sudah menemukan pekerjaan yang tepat. Kuhubungi temanku yang lima tahun lalu kami sempat merantau bersama-sama. Aku juga berjanji kepada diri sendiri, uang yang kudapat akan kusisihkan untuk Wak Ama dan musalanya.

Kuayakin, kau pasti senang dengan keberangakatnku ke kota yang jauh. Tidak ada lagi orang yang akan menasihatimu dan membela istrimu. Meski aku adalah saudaramu, bagimu aku hanya orang yang selalu memberi petuah-petuah yang bikin muak. Kau pasti ingat, saat kau berusaha memukulku hanya karena aku menyuruhmu agar memasak menggantikan istrimu yang sakit. Pada saat itu, aku berkunjung ke rumahmu dan kau tetap memaksa istrimu untuk memasak. Kau tidak pernah punya belas kasihan kepada istrimu. Sungguh, aku menyuruhmu jika kau sempat berkunjung ke pasar mengantar istrimu, kau masuk saja ke sebuah gang itu. Sekali lagi, kau harus banyak belajar dari Wak Ama di sana. Kepada orang-orang di kampung sana.

***

Aku bekerja menjadi kuli bangunan. Upah yang kuterima luamayan, tentu setara dengan lelah yang kudapat. Aku masih ingat janjiku untuk menyisihkan sebagian dan memberikannya pada Wak Ama dan amal untuk musala. Tiga bulan lagi aku pulang. Tentu, yang paling kuharap kau sudah berubah dan tidak lagi menyiksa istrimu. Uang yang kusisihkan memang tidak banyak, tetapi kuyakin cukup untuk makan Wak Ama dan istrinya selama dua minggu. Selama di kota aku memang memutuskan hubungan dengan orang-orang rumah. Aku tidak tahu banyak hal tentang apa-apa yang terjadi di rumah. Termasuk tentangmu.

Setelah aku pulang dan tiga bulan berlalu. Betapa kuterkejut, kau sudah menjadi gila. Kata tetangga, istrimu sudah mati, kau gorok lehernya dengan golok yang pendek. Kau setiap hari berada di pasar Bunagung, tetapi lebih sering berada di gang menuju musala Wak Ama. Tidak ada yang berani meleraimu. Kau sering teriak-teriak sepanjang hari. Bajumu compang-camping dan rambutmu berwarna putih sebab kau poles sendiri dengan cat tembok. Aku tidak menyangka jika kau akan menjadi seperti itu. Padahal sebelum aku berangkat, tidak ada tanda apa-apa di dalam dirimu yang menunjukkan bahwa kau akan menjadi gila.

Saat di aku kota, katanya, kau juga sering mendatangi Wak Ama. Bukan untuk belajar dari nasihat-nasihatnya, namun malah meminta agar musala Wak Ama dirobohkan. Kau menganggap bahwa tanah yang ditempati musala Wak Ama adalah tanah milik ayahmu. Memang benar, itu adalah tanah milik ayahmu, tetapi sudah dibeli orang di sekitar Wak Ama. Tanah itu bukan diwakafkan oleh ayahmu, sebagaimana tuduhanmu. Ayahmu mana mungkin mewakafkan tanah, memberi makan ibu kita saja tidak mampu. Masih lebih mending ayahku yang selalu mencukupi kebutuhan ibu. Meski, ayahku keburu pergi gara-gara terjatuh dari pohon makowa. Sesudah itu ibu menikah dengan ayahmu dan melahirkanmu.

Setelah mendengar cerita itu aku terus mencarimu. Tetapi tidak kutemukan di mana pun. Kau sudah kabur setelah semalam merobohkan musala Wak Ama. Katamu, musala Wak Ama hanya akan menjadi petaka. Sebab, ia berdiri di atas tanah wakaf ayahmu yang ingin diminta kembali olehmu. Aku hanya tercenung sendirian dan menanggap bahwa akalmu sudah tertanam atau barangkali roboh sebagaimana musala Wak Ama yang kulihat sudah hampir rata dengan tanah. Air mataku menetes sampai ke pipi dan kukepalkan tangan keras-keras. Wajah ayahmu yang bukan ayahku lesat di kepalaku, terbayang setiap kali menyakiti ibu. Sama sepertimu.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan