Mudik (untuk) Lebaran

1,332 kali dibaca

Setelah beberapa tahun dilarang mudik karena pandemi Covid1-19, pemerintah tahun ini memperbolehkan masyarakat untuk mudik. Satuan Tugas Penanganan Covid-19 menerbitkan Surat Edaran (SE) Nomor 16 Tahun 2022 tentang Ketentuan Perjalanan Orang dalam Negeri pada Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).

Mudik bukan hanya dimaknai tentang perjalanan pulang ke kampung halaman. Lebih dari itu, mudik adalah kegiatan yang seharusnya menjadi pelajaran dan renungan bagi manusia tentang bagaimana suatu saat manusia pasti akan “kembali pulang ke kampung halaman”.

Advertisements

إِنَّا لِلَّٰهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ

(Sesungguhnya kami adalah milik Allah, dan kepada-Nya kami kembali)

Bukankah kehidupan di dunia ini adalah bagian dari perantauan? Suatu saat manusia akan kembali mudik menuju “kampung sejati”. Bertemu dan bersatu dengan illahi.

Sudah menjadi budaya bahwa perantau selalu diharapkan untuk membawa bekal yang layak untuk keluarga di kampung halaman. Orang tua mendambakan anaknya menjadi orang yang berhasil di perantauan. Sebaliknya, para perantau selalu berusaha memantaskan diri untuk siap dibanggakan keluarganya berkat kesuksesannya di kota seberang.

Lebaran identik dengan hari kemenangan. Namun bagi kalangan sufi (pengkaji tasawuf), seharusnya lebaran adalah momen kesedihan yang mendalam. Kesedihan ditinggal bulan mulia, kesedihan belum begitu sempurna beribadah, dan kesedihan karena tidak tahu suatu saat apakah bisa dipertemukan lagi dengan bulan Ramadan.

Istilah hari kemenangan bukan diartikan bahwa kita sudah lepas dari “siksa” untuk tidak makan/ minum, bermaksiat, dan lainnya. Kemenangan adalah sebuah capaian di mana kita berhasil menaklukkan nafsu dan mendapat keberkahan di bulan Ramadan. Jadi kemenangan setiap orang akan berbeda satu dengan lain.

Makna mudik lebaran bukan sebatas kebahagian berkumpul bersama sanak saudara. Mudik merupakan rangkaian perjalanan hidup manusia, singgah (pulang) sementara untuk kembali merantau ke luar kota mencari bekal. Momentum bertemu dan berbagi kisah dengan keluarga besar untuk memulai kembali aktivitas pada bulan Syawal layaknya ibadah di bulan Ramadan. Semua keluarga berkumpul menjadi satu. Beberapa daerah melakukan ritual sungkeman ke orang tua, tetangga, dan sanak saudara.

Kesuksesan pemudik adalah seberapa besar ia bisa bermanfaat untuk orang lain, bukan sekadar seberapa banyak uang yang dibagikan ke sanak keluarga. Pemudik akan lebih dihargai ketika ia yang tidak lupa (berusaha melupakan) masyarakat dan lingkungan di kampung halamannya, sehingga masih bisa membaur dan bercengkrama seperti dulu sebelum menjadi perantau.

Kampung halaman adalah tujuan, seperti burung yang ke mana pun terbang akan kembali kepada sangkarnya. Momentum spesial itu hanya bisa dirasakan oleh beberapa orang saat mudik Lebaran. Mengunjungi orang tua, mertua, dan sahabat untuk bersilaturahmi dan saling memaafkan satu sama lain.

Jadi mudik adalah aktivitas melepaskan segala bentuk busana yang melekat pada diri saat di perantauan. Semua melebur untuk menanggalkan harta, pangkat, jabatan, dan segala aksesoris duniawi lainnya. Dituntut menjadi manusia yang fitrah, bersimpuh kepada orang tua dan mengakui segala kesalahan untuk mengharap rida dari keduanya.

Mudik adalah aktivitas menyambut lebaran yang identik dengan opor dan ketupat. Dalam khazanah Jawa, ketupat alias kupat merupakan kependekan dari laku papat. Laku papat seorang muslim adalah syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat. Sementara dalam tradisi Jawa ada lebaran, leburan, luberan, dan laburan.

Lebar bermakna selesai atau usai yang menandai berakhirnya puasa selama satu bulan penuh. Berasal dari lebar, artinya lapang dadanya, zakat fitrahnya terbayar, dan pintu ampunan terbuka lebar.

Lebur bermakna melebur sebagai pengingat bahwa dosa-dosa manusia selama bulan Ramadan luluh di hadapan Allah. Biasanya diiringi dengan tradisi saling memaafkan ke saudara, tetangga, dan kerabat.

Luber bermakna melimpah sebagai simbol melimpahkan maaf kepada orang yang meminta maaf dan sebaliknya. Luberan juga merupakan simbol sedekah dalam bentuk zakat.

Labur bermakna pemutihan diri sebagai momentum untuk menyucikan diri dari segala dosa dan kesalahan. Maknanya agar manusia menjaga kesucian lahir dan batin dalam dirinya di hari yang fitri.

Setelah “berpuasa” lebaran selama dua tahun, kali ini masyarakat akan kembali merasakan sensasi dan esensi kembali pulang ke kampung halaman alias mudik. Menjadi pribadi yang fitri, bukan malah menjadi sombong memerkan kesuksesan di tanah perantauan. Mudik adalah momen kontemplasi menemukan diri yang sejati.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan