Merekatkan Kembali Perca-Perca Bahasa

1,490 kali dibaca

Kenapa bahasa itu penting? Barangkali karena bahasa menjadi alat komunikasi. Sebagai dasar jiwa nasionalisme, bahasa Indonesia wajib dipelajari dan dipahami secara detail. Meskipun, pada realitasnya banyak kekacauan berbahasa di berbagai tempat. Jangan sekali-kali beranggapan bahwa bahasa Indonesia hanya formalitas sebagai identitas suatu bangsa.

Kehadiran buku Pendekar Bahasa 2019, dan buku terbaru Perca-Perca Bahasa 2021 merupakan bentuk keprihatinan Holy Adib mengenai kaidah bahasa Indonesia. Dalam buku Percak-Percak Bahasa, Holy Adib menyuguhkan 31 esai dan dipetakan menjadi tujuh bagian; bahasa dan berita, bahasa dan film, bahasa dan hukum, arti kata, diksi, pembentukan kata, sampai pada hal-hal lain seputar kebahasaan. Lanskap kerancuan berbahasa di ruang publik mengilhami lahirnya diskusi linguistik dalam lingkaran kebahasan.

Advertisements

Persoalan bahasa dan berbahasa yang tampak sederhana, tetapi justru menjadi persoalan kompleks dalam khazanah kebahasaan, seperti persoalan semantik leksikal dan semantik maksud (pragmatis) dengan berbagai aspek yang mempengaruhinya (hal. 12). Holy Adib kemudian berdiri kokoh, membentangkan persoalan bahasa dan berbahasa dari penuturnya dalam buku kumpulan esai Perca-Perca Bahasa.

Sebagai salah satu wartawan di media massa, Holy Adib merasa terpanggil untuk menambal kerancuan penggunaan bahasa Indonesia di media. Seperti pemilihan diksi obituarium di koran dan media online. Misalnya, dalam judul berita tentang kematian masih erat dengan status sosial. Judul memberi simbol mengenai siapa yang meninggal, apa posisinya, dan bagaimana orang interaksi dengan masyarakat. Seperti penggambaran lelayu (kematian). Adakalanya ungkapan yang bermakna ‘tidak bernyawa lagi’ mempunyai konotasi positif dan negatif.

Dari masalah penulisan obituarium, kemudian pindah pada persoalan kebahasaan di dunia berita. Lebih-lebih mengenai bahasa jurnalistik, kesalahan penggunaan konjungsi, sampai pada penggunaan akromin tendensius yang erat dengan konflik politik nasional. Seperti belakangan ini, akronim cilaka menjadi pembicaraan hangat. Cilaka merupakan akronim dari Cipta Lapangan Kerja, nama undang-undang yang ramai dibahas.

RUU ini dianggap cilaka karena, antara lain; ramah investor, mengurangi waktu libur buruh, menghapus izin tidak masuk saat haid hari pertama, menghapus izin bagi buruh untuk keperluan menikah, menghapus pasal yang menjerat pelaku kebakaran hutan dan lahan, menghapus persyaratan izin mendirikan bangunan dan analisis mengenai dampak lingkungan (hal. 49). Sebagai fenomena bahasa, akronim bisa dipakai untuk protes dan ejekan, bahkan sampai bahan propaganda. Tetapi hal semacam ini tidak diperbolehkan dalam dalam dunia jurnalistik karena membuat keruh persoalan.

Sebaliknya, media menyampaikan kritik menggunakan jalur isi berita, bukan melewati akronim tendensius penuh muslihat, propaganda yang bikin riuh publik, apalagi sampai menjadi bahan untuk mengolok-olok masyarakat luas. Jadi jelas, media massa atau dunia jurnalistik tidak diperkenankan memakai akronim yang menimbulkan perpecahan, meskipun akronim itu datang dari tokoh publik, media massa harus memfilter hal tersebut.

Holy Adib juga memotret wajah bahasa di media Indonesia, terutama di media siber yang numpuk kesalahan berbahasa. Dia berangkat dari pertanyaan sederhana. Apakah keharusan menulis berita cepat menjadi gudang kesalahan? Benarkah demikian faktanya? Dan apa yang sesungguhnya terjadi? Atau jangan-jangan anggapan semacam ini hanya berada di ruang kosong.

Bagi Holy Adib kesalahan berbahasa di media massa timbul karena kesalahan sintaksis dan kesalahan diksi. Seperti contoh kesalahan sintaksis berikut: Dituduh mencuri mobil, polisi mengejar Andi. Jika kalimatnya begitu, justru yang menjadi sasaran adalah polisi bukan Andi. Padahal si wartawan bermaksud mengatakan Andi sebagai orang yang dituduh mencuri mobil. Maka, kalimat yang tepat seharunya Dituduh mencuri mobil, Andi dikejar polisi. Kalimat tersebut terdapat dua klausa: Andi dituduh mencuri mobil dan Andi dikejar polisi.  Satu subjek (Andi) dilepaskan setelah kedua klausa itu dijadikan satu kalimat (hal. 41).

Adapun kesalahan diksi, misalnya, kesalahan menempatkan kata atau frasa seperti contoh menyamakan mati dan meregang nyawa. Dalam berita kecelakaan, terkadang dua kata itu sering tertukar. Misalnya dalam judul berita ditulis tewas, padahal isi beritanya menggambarkan meregang nyawa. Sehingga menghasilkan persepsi yang kabur dan bingung bagi pembaca, karena makna dari meregang nyawa bukan berarti ‘mati’, melainkan ‘sekarat’ (hal. 42-43).

Jadi, kesalahan semacam ini mengundang penafsiran yang fatal, mengubah fakta di lapangan. Padahal dalam dunia jusnalistik sangat berpegang teguh pada keabsahan fakta, karena kesalahan dalam menampilkan fakta dalam berita justru menjauhkan pembaca dari realitas dan informasi yang akan disampaikan. Hal ini, pada akhirnya akan membuat pembaca bosan dan meninggalkan media tersebut. Dengan demikian, kesalahan menempatkan kata, frasa dan diksi harus benar-benar diperhatikan dalam media massa, meskipun dengan alasan wartawan dikejar waktu tayang.

Membaca buku Perca-Perca Bahasa seperti diajak untuk bermain-main dengan bahasa dan berbahasa di media. Tentu bukan sembarang main-main, melainkan dibekali dengan kaidah linguistik dan diajak melihat sejauh mana media massa selama ini menampilkan konten. Setidaknya buku ini  perlu dibaca pegiat literasi dan pemerhati bahasa Indonesia. Dengan alasan bahasa yang digunakan tidak bertele-tele, enak dibaca kapan saja, dan dekat dengan kehidupan sehari-hari.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan