Dakwah: Ilmu atau Pseudo-Ilmu?

1,208 kali dibaca

Apakah dakwah termasuk ilmu atau bukan adalah perdebatan lama yang hingga kini belum berkesimpulan. Tetapi, seiring dengan berkembangnya kehidupan dan kemajuan ilmu sosial, baik secara teoretik ataupun metodologis, dakwah mendapat interogasi yang lebih tajam dibanding masa-masa sebelumnya.

Ilmu dakwah diyakini sebagai turunan saintifik dari hadis Nabi tentang anjuran menyebarkan Islam secara lisan (bil lisan), perbuatan (bil hal), dan tulisan (bil qalam). Namun keyakinan ini memiliki masalah mendasar bila dijadikan fondasi utama sebuah ilmu karena, pengembangan sebuah hadis Nabi sebagai sebuah ilmu akan menciptakan unsur primordialisme dalam praktik saintifik.

Advertisements

Hadis Nabi tadi pada dasarnya adalah sebuah penerapan sains, atau praktik untuk tujuan tertentu. Dan tujuan tidak pernah tidak memuat nilai. Dengan kata lain, ilmu dakwah adalah praktik yang memuat serangkaian nilai-nilai tertentu (keislaman) yang kemudian dirasionalisasi sedemikian rupa untuk dikukuhkan sebagai sebuah disiplin ilmu oleh komunitas berbasis keagamaan.

Di ilmu-ilmu sosial, seperti sosiologi dan sejenisnya, proses pembangunan disiplin bermula dari abstraksi dan refleksi. Orang kemudian baru bisa berdebat soal nilai, keberpihakan, dan politik pengetahuan setelah ilmu-ilmu itu turun menjadi terapan, atau applied science. Sementara itu, dakwah dibangun dari proses yang terbalik. Praktiknya dulu (tanpa debat nilai, keberpihakan, dan politik pengetahuan), baru kemudian diklaim sebagai disiplin ilmu.

Prosedur tersebut hakikatnya telah melangkahi prinsip dasar ilmu, yakni: universalisme, atau keterbukaan terhadap semua orang. Artinya, benar atau tidaknya, valid atau tidaknya sebuah prejudis atau hasil penelitian ditentukan oleh kedisiplinan metodologis dan keterbukaan untuk didebat. Bukan berdasarkan nilai-nilai normatif yang diyakini atau dijunjung oleh komunitas dengan identitas tertentu (Islam).

Dalam sebuah sidang seminar proposal tesis di jenjang pascasarjana di salah satu fakultas dakwah misalnya, seorang penguji mengatakan: “Anda hendak menggunakan teori dakwah transformatif, tapi ada satu variabel yang tidak disertakan. Lah, itu bagaimana? Oke pesan yang disampaikan si komunikator itu Islami, tapi kalau ternyata misalnya dia bukan Islam? Ya bukan transformatif namanya.” Ungkapan tersebut menyiratkan bagaimana keberpihakan identitas sangat menentukan sebuah bangunan teori.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan