Mengenal Lebih Dekat Pesantren Perempuan Pertama

4,041 kali dibaca

Hingga awal abad ke-20, belum lazim kaum perempuan Nusantara menyandang status santri. Belum juga ada pondok pesantren yang khusus bagi santri putri, sampai kemudian, atas inisiatif Nyai Hj Nur Khodijah, Pondok Pesantren Mambaul Maarif Denanyar, Jombang, Jawa Timur, secara resmi menerima santri putrid pada 1919. Kini, seabad kemudian, Mambaul Maarif Denanyar menjadi salah satu pesantren tertua dan terbesar di Tanah Air.

Memang, sejarah berdirinya pondok pesantren putrid pertama di Indonesia ini tak bisa lepas dari sejarah perkembangan Pondok Pesantren Mambaul Maarif (putra) yang dirintis oleh KH Bisri Syansuri, salah satu pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Sebab, Nyai Hj Nur Khodijah adalah istri dari KH Bisri Syansuri.

Advertisements

Adapun, KH Bisri Syansuri merintis Pondok Pesantren Mambaul Maarif Denanyar berlokasi di Jalan KH Bisri Syansuri Nomor 21, Denanyar, Jombang, ini pada 1917. Pendirian pesantren ini dimotivasi oleh mertuanya, KH Hasbullah. Maka, bersama dengan sang istri, Kiai Bisri Syansuri mulai merintis pendirian pesantren di atas tanah milik pribadi yang terletak di Desa Denanyar tersebut.

Sebelum adanya Pesantren Mambaul Maarif, Desa Denanyar merupakan “daerah hitam”. Warganya menjalani hidup tanpa mengindahkan kaidah moral dan ajaram Islam. Perjudian, perampokan, tindak kekerasan, perzinaan, dan perilaku maksiat lainnya menjadi pemandangan sehari-hari. Kondisi inilah yang justru menyemangati pasangan Kiai Bisri Syansuri-Nyai Hj Nur Khodijah dalam berdakwah.

Kiai Bisri Syansuri memulai berdakwah dengan cara mendekati tokoh-tokoh pemerintahan desa. Beliau mengajak tokoh-tokoh pemerintahan desa menjadi contoh dengan melaksanakan ajaran Islam dengan sempurna. Kiai Bisri menjelaskan bahwa tokoh pemerintahan desa yang berperilaku islami dapat membawa kesejahteraan hidup warganya.

Selain berdakwah kepada tokoh pemerintahan desa, Kiai Bisri mulai berupaya mengajarkan ilmu keagamaan kepada anak-anak yang berada di sekitar desa. Untuk mengakomodasi kegiatan berdakwah tersebut, Kiai Bisri membangun sebuah surau. Setelah surau berdiri, ada empat santri putra datang untuk menjadi santri Kiai Bisri. Sistem pembelajaran menggunakan metode sorogan laiknya pesantren salafiyah dalam mengaji teks-teks kitab klasik (kitab kuning).

Pendekatan berdakwah yang digunakan Kiai Bisri besifat lentur dan bertahap. Secara spesifik, pendekatan yang digunakan dalam berdakwah, yaitu; (1) Mengubah pola hidup masyarakat secara bertahap (2) Penyajian dakwah yang bisa menarik minat masyarakat. Model dakwah Kiai Bisri disambut baik masyarakat dan berhasil.

Sebagai pendamping Kiai Bisri, Nyai Hj Nur Khodijah ikut prihatin akan kondisi kaum wanita yang banyak terjerumus dalam perzinaan. Ia pun ikut berdakwah. Dengan ghirrah yang sangat besar terhadap agama Islam, Nyai Hj Nur Khodijah binti Wahab Hasbulloh mencoba ikut berdakwah kepada kaum wanita yang bermukim di Desa Denanyar.

Nyai Hj Nur Khodijah memulai aktivitas berdakwah pada 1919. Kegiatan beliau dilakukan di serambi surau. Pada masa itu, perempuan dinilai tak lazim ikut menuntut ilmu di pesantren. Walaupun demikian, Kiai Bisri dan Nyai Hj Nur Khodijah tetap beristikomah dalam berdakwah kepada kaum perempuan. Pada saat itulah, awal perjuangan emansipasi sosok ibu nyai dan santri perempuan di bidang ilmu keagamaan.

Seiring bertambahnya waktu, pendekatan dakwah Kiai Bisri Syansuri dan Nyai Hj Nur Khodijah semakin diminati masyarakat, khususnya kaum wanita. Mereka mulai terbuka pandangannya. Masyarakat mulai memahami bahwa dalam ajaran Islam kedudukan wanita dimuliakan. Sejak saat itu, Pesantren Mambaul Maarif bukan hanya tempat kaum pria mendalami agama Islam, tetapi juga bagi kaum wanita. Dari situlah cikal bakal lahirnya Pondok Pesantren Putri Mambaul Maarif.

Dalam perjalanannya, pondok pesantren putri yang dirintis Nyai Hj Nur Khodijah terus mengalami perkembangan. Perkembangan-perkembangan terjadi karena untuk menjawab tantangan zaman. Pada awal berdirinya, nama pesantrennya adalah Mabadiul Huda, dan sudah menggunakan sistem pembelajaran madrasah.

Dengan seizin KH Hasyim Asy’ari, beliau pun mendirikan pondok pesantren untuk putri pada 1921. Pada 1923, dibangun Madrasah Ibtidaiyah Mambaul Huda. Pada tahun yang sama, Pondok Pesatren Mambaul Huda berganti nama menjadi Pondok Pesantren Mambaul Maarif. Setelah berganti nama, dibangun Madrasah Tsanawiyah Putra Mambaul Marif untuk melengkapi keilmuan santri. Lalu, Madrasah Tsanawiyah Putri dibangun pada 1928.

Seiring perkembangan tingkat pedidikan di Indonesia semakin kompleks, untuk mengikuti perkembangan pendidikan formal tersebut, pada 1962 dibangun Madrasah Aliyah Putra Putri. Sesuai Surat Keputuasan Menteri Agama RI Nomor 24 tahun 1969, MTS Mambaul Maarif dan MA Mambaul Maarif yang sebelumnya berstatus swasta menjadi MTsN Denanyar dan MAN Denanyar.

Tetapi, sebagai upaya untuk terus meningkatkan pengembangan pendidikan masa kini dan masa depan, maka didirikanlah Madrasah Tsanawiyah Mambaul Maarif pada 1993. Kemudian Madrasah Aliyah Mambaul Maarif pada 2000. Semua madrasah di Pesantren Mambaul Maarif menggunakan sistem terpadu yang mengacu pada kurikulum Kementerian Agama dan kurikulum pesantren.

Pada 1999 mulai dibuka juga sekolah kejuruan dengan nama SMK Bisri Syansuri. Lalu pada 2004, semua lembaga pendidikan formal Pesantren Mambaul Maarif menggunakan sistem kurikulum terpadu yang mengacu pada kurikulum Kementerian Agama dan kurikulum pesantren. Kurikulum terpadu tersebut memadukan bidang ilmu keagamaan, bahasa Arab, bahasa Inggris, dan mata pelajaran lain yang dipelajari pada sekolah umum.

Selain itu, Yayasan Mambaul Maarif juga mendirikan institusi penunjang sebagai peletak tata nilai Islam dalam mengembangkan dan mengaplikasikan ilmu pengetahuan, di antaranya Taman Pendidikan al-Quran (TPQ), Madrasah Diniyah, serta Lembaga Bahasa Arab dan Inggris (LBAI).

Kini, pesantren ini memiliki posisi strategis karena berada di tengah-tengah perkampungan sekaligus dekat dengan jalan raya provinsi. Pondok Pesantren Mambaul Maarif juga dekat dengan perguruan tinggi yang ada di Kota Jombang. Letaknya yang strategis ini menjadikan pesantren ini mudah dijangkau dari arah mana pun. Pesantren ini juga dijadikan sebagai tempat menimba ilmu tambahan bagi sebagian santri yang melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi. Saat ini, jumlah santri mencapai dua ribu santri. Ini membuat Pondok Pesantren Mambaul Maarif berada di peringkat keempat pesantren terbesar di Kabupaten Jombang setelah Pondok Pesantren Tebuireng, Pesantren Darul Ulum Rejoso, Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas.

Multi-Page

One Reply to “Mengenal Lebih Dekat Pesantren Perempuan Pertama”

Tinggalkan Balasan