Membumikan Multiklturalisme Abad Kedua NU

801 kali dibaca

Dalam perjalanan sejarah Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi muslim terbesar di Indonesia yang berdiri pada tahun 1926. Organisasi ini telah berkembang selama satu abad dan menjadi salah satu pemain penting dalam dunia keagamaan dan politik di Indonesia. Tahun ini NU memasuki abad kedua yang diharapkan menjadi momentum titik balik kebangkitan NU sebagai organisasi keagamaan Indonesia.

NU mengalami berbagai tantangan dan perubahan. Tantangan NU, yaitu harus menjaga eksistensi dirinya sebagai organisasi sosial keagamaan. NU juga mengalami gempuran gelombang politik, kesenjangan sosial hingga radikalisme. Sebagai organisasi keagamaan yang eksis hingga saat ini, harapan besar perjalanan NU di abad keduanya tetap sebagai trendsetter dan top of mind pilihan masyarakat.

Advertisements

Bagaimana eksistensi NU di era mutakhir? Bagaimana peran dan strategi NU dalam menghadapi perubahan global? NU berperan besar dalam pembangunan Indonesia. Sebut saja peran NU dalam dunia keagamaan. NU telah menyebarluaskan pemahaman Islam yang moderat dan toleran melalui pendidikan, dakwah, dan pengajian.

NU juga telah menjadi pemain penting dalam kancah politik dan telah memberikan pengaruh pada pemerintahan di Indonesia. NU juga telah mengeluarkan fatwa-fatwa yang menjadi rujukan bagi umat Islam di Indonesia. Banyak tokoh-tokoh politik lahir dari NU. Salah satunya adalah tokoh penggagas multikultural Indonesia, KH Abdurrahman Wahid yang akrab kita panggil Gus Dur.

Sudah menjadi keniscayaan Indonesia merupakan negara dengan jumlah suku, ras, budaya terbanyak di dunia. Data Badan Pusat Statistik menyebutkan terdapat 1331 suku, 652 bahasa, dan budaya yang beragam tumbuh di masyarakat. Ditambah jumlah agama dan golongan, kelompok, aliran agama yang terus bertambah jumlahnya. Sehingga, Indonesia dikenal dengan negara majemuk.

Kemajemukkan tersebut akan menjadi kekayaan yang berharga apabila dipayungi dengan nilai ketuhanan dan ruang integritas. Namun, sejak kemerdekaan hingga sekarang lebih banyak memunculkan narasi yang berujung konflik. Konsep pluralisme dirasa kurang cukup untuk meminimalisir konflik yang berkepanjangan. Sehingga perlu konsep pemikiran yang lebih besar, yaitu melalui pendidikan multikulturalisme.

Konsep tema abad kedua yang digagas NU dalam peringatan seabad kelahirannya adalah menuju kebangkitan baru. Apakah yang harus dibangkitkan NU? Ya, salah satunya adalah pendidikan. Tren minat pesantren sebagai wadah pendidikan harus dibenahi dan dievaluasi. Setelah beberapa catatan miris fenomena pesantren beberapa waktu lalu, memberikan refleksi bahwa pentingnya pendidikan yang berlandaskan multikulturalisme.

Anggapan masyarakat sering keliru apabila pluralisme adalah multikulturalisme. Jauh daripada itu, Multikulturalisme sejatinya bukan berbicara tentang perbedaan atau identitas yang berbeda, tapi tentang bagaimana merangkul dan menjaga kelestarian budaya. Hal ini menjadi inti secara keyakinan dan praktis di dalam term di mana sekelompok orang dapat memahami diri mereka sendiri dan mengorganisir diri mereka sendiri untuk hidup bersama dalam masyarakat

Multikulturalisme menghendaki agar tidak ada dan terjadi superioritas atau dominasi dari satu kelompok. Tidak adanya pemaksaan untuk menerima nilai-nilai kultural dan kepercayaan pada kelompok lain. Sebaliknya, multikulturalisme menghendaki agar kita dapat menerima bahwa masyarakat itu beragam dari berbagai dimensinya. Adanya tindakan atau program keadilan bagi seluruh anggota masyarakat dan respons positif atas keberagaman.

Konsep multikulturalisme secara garis besar sejalan dengan konsep moderasi yang diprogramkan Kementerian Agama. Melalui moderasi beragama, masyarakat dapat menghindari ketidakselarasan dalam konteks agama. Hal ini mengacu agama yang sering diotak-atik oleh hegemoni kekuasaan. Sehingga diperlukan benteng akidah dan upaya preventif untuk menghindari keekstreman.

Evaluasi Pendidikan

Perlu adanya evaluasi pendidikan dalam menyikapi tantangan abad kedua NU. Diperlukan strategi dan effort lebih dalam menjawab tantangan global. NU yang mampu memadukan pendidikan agama dan formal serta mempunyai ribuan institusi pesantren yang terafiliasi, dapat membumikan kembali pendidikan multikulturalisme. Melalui pendidikan merupakan alat yang paling efektif untuk meneruskan, melanggengkan, dan merawat tradisi generasi selanjutnya.

Kenyataan sehari-hari pendidikan multikulturalisme kurang diimplementasikan dalam tindakan dan sikap masyarakat. Ini menjadi PR besar yang digarap Kementerian Agama dan stakeholder pendidikan. Dalam lingkungan pendidikan masih kerap ditemui adanya sikap tidak mau menerima dan bullying yang didasari atas perbedaan. Kemudian peran guru sebagai role model hanya sebatas pada teori saja.

Pendidikan multikulturalisme sebagai nilai sentral diharapkan dapat menetralisi problema yang ada. Diharapkan melalui pendidikan multikulturalisme persoalan mayoritas dan minoritas terorientasi dalam kerangka kehidupan damai yang dinamis. Tujuannya apa? Supaya masyarakat dapat melahirkan energi positif dalam upaya agenda merawat kerukunan antar budaya dan etnis.

Secara garis besar, terdapat tiga ajaran utama pendidikan multikultural, yaitu demokrasi, kesetaraan, dan keadilan. Ketiganya merupakan prinsip utama yang mendasari pendidikan multikultural dari sudut pandang ide, gagasan, maupun gerakan. Hal ini juga didukung oleh UNESCO dalam programnya EFA (education for all). Program ini menjunjung tinggi pemerataan pendidikan untuk mengembangkan nilai kemanusisaan dan orientasi hidup universal.

Seperti yang pernah diucapkan Gus Dur, “Memuliakan manusia seperti memuliakan penciptanya. Merendahkan manusia seperti merendahkan dan menistakan penciptanya.” Pemahaman seperti inilah yang diperlukan masyarakat saat ini. Pemahaman pendidikan yang mau menerima perbedaan dan menjunjung tinggi rasa kemanusiaan.

Etika profetik yang dicetuskan oleh Kuntowijoyo menambah panorama lain mengenai pentingnya pendidikan multikulturalisme. Terdapat tiga pokok penting dalam kajian profetik, yakni humanisasi, liberasi, dan transendensi. Humanisasi berarti bahwa manusia harus memiliki kesadaran bahwa perbedaan adalah sebuah keniscayaan. Maka, jika berbeda kepercayaan, masih memiliki kesamaan sebagai manusia, sebagai bangsa Indonesia ataupun sebagai makhluk Tuhan.

Saya rasa inilah yang sangat perlu kita jadikan evaluasi generasi muda menyongsong abad kedua nahdliyin. Kalau tidak jauh-jauh hari dipersiapkan, maka generasi muda akan terancam integritas moral dan kebangsaannya. Mengingat, tantangan zaman yang dihadapi generasi muda semakin besar. Sehingga butuh ekosistem yang mampu menumbuhkembangkankan potensi generasi muda yang sesuai nilai agama dan pilar kebangsaan.

Terlepas dari segala bentuk tantangan dari berbagai pihak yang ingin melemahkan NU, marilah kita refleksikan kembali, evaluasi, dan renungkan untuk memperkuat persaudaraan nahdliyin. Semoga NU tetap jaya. Amin.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan