Kata ulama adalah bentuk jamak dari ism fail aalimun, berasal dari kata alima-ya’lamu, yang mempunyai arti orang yang mengetahui. Dalam Al-Qur’an, ulama dicirikan sebagai hamba yang paling bertakwa kepada Allah.
Namun, kenyataannya, ada ulama yang hanya bertakwa kepada harta benda dengan menjadikan agama sebagai barang dagangan. Sejatinya, ulama itu mencerdaskan umat, membimbing umat agar tidak terjerumus ke jalan kesesatan. Namun, kenyataanya, ada di antara mereka justru memanfaatkan legitimasinya untuk mengejar popularitas dan mengeruk keuntungan dunia.
Karena kecenderungan itu, Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulum ad-Din membagi ulama menjadi dua golonga. Ada ulama al-akhiroh dan juga ulama su’.
Ulama al-akhiroh, menurut Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulum ad-Din, adalah ulama yang tidak memakan kenikmatan dunia dengan agama, tidak mengobral akhirat dengan dunia. Hal ini dikarenakan mereka mengetahui betapa mulianya negeri akhirat dan rendahnya dunia.
Mereka berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan as-Sunnah bukan untuk mengambil keuntungan darinya, tetapi untuk mencerahkan umat. Karena Nabi Muhammad mencerahkan umat dari kegelapan dengan petunjuk Al-Qur’an (al-Huda) dan tidaklah bebicara seorang Nabi kecuali Allah membimbingnya dengan wahyu. Karena, sejatinya, ulama yang menjadi pewaris nabi adalah ulama yang harus menguasai Al-Qur’an serta as-Sunnah.
Ulama al-akhiroh tidak memberikan ilmunya kecuali dengan ikhlas tanpa meminta imbalan. Karena mereka yakin, tidak ada imbalan yang terbaik kecuali imbalan yang diberikam oleh Allah. Ilmu yang mereka punya menjadikan mereka semakin takut kepada Allah. Menurut Al-Qur’an: “Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama. Sungguh, Allah Maha Perkasa, Maha Pengampun.”