LDR yang Bikin Ambyar

3,920 kali dibaca

Keringat berleleran di kening istriku. Tangannya memegang pengepel lantai. Dia bersikeras untuk membantuku membersihkan lantai dari sisa-sisa keramik yang baru selesai dipasang. Perempuan berumur dua puluh empat tahun itu tak menghiraukan laranganku. Bukan maksudku untuk memanjakannya, hanya saja aku tak ingin kesehatan kandungannya terganggu.

Ya, kami adalah pasangan suami-istri yang baru menikah beberapa bulan yang lalu. Dia baru saja lulus kuliah ketika kunikahi, sedangkan aku adalah seorang sopir perusahaan batu bara di Kalimantan yang sedang mengumpulkan modal untuk usaha. Ini adalah bagian dari cita-citaku; mengumpulkan uang selepas SMA untuk kemudian menikah dan menciptakan usaha. Kami membangun dua unit rumah kecil dengan beberapa kamar di dalamnya. Semuanya kuatur dengan model minimalis. Harapanku satu unit rumah kecil sebelah kiri akan bisa kukontrakkan setelah selesai dibangun nanti. Sementara ini uang yang kupunya hanya cukup untuk pembangunan rumah yang akan kami tempati. Beberapa hari lagi mungkin aku akan kembali ke Kalimantan untuk mencari modal.

Advertisements

“Sudah, istirahat saja kamu, Dik. Ini tinggal sedikit. Ingatlah kesehatan bayi kita,” aku merebut kain pel yang ada di tangannya. Dia melongo menatapku lama sambil menyeka muka dengan lengannya. Namun akhirnya dia merelakan pekerjaannya itu kuambil alih. Dia memberikanku sebuah senyuman sebelum akhirnya beranjak ke teras.
Aku sangatlah beruntung. Seorang pemuda desa yang tak pernyah mengenyam bangku kuliah namun mampu memperistri seorang gadis cantik dari kota yang dimanjakan dengan pendidikan sampai perguruan tinggi. Kami menikah lantaran dikenalkan oleh salah seorang teman di perusahaan tempatku bekerja. Tanpa ada pacaran sama sekali. Hubungan perkenalan kami meningkat menjadi pernikahan hanya dalam tempo kurang dari dua bulan.

Sebagai seorang yang tak pernah mengenyam bangku sekolah Islam aku tak punya pengetahuan agama yang cukup untuk menjadi muslim yang baik, apalagi menjadi imam rumah tangga. Untungnya, istriku memiliki pengetahuan agama yang mumpuni sehingga bisa melengkapi kekuranganku itu.

Aku menghampirinya setelah menyelesaikan pekerjaanku membersihkan keramik yang masih baru dipasang. Dia sedang sibuk memainkan HP di teras depan. Di kanan kirinya kardus-kardus keramik masih berserakan.

“Mungkin empat hari lagi aku akan berangkat ke Kalimantan,” ucapku memberitahu. Tadi kami membicarakan hal ini sambil ngepel, namun aku belum punya jawaban yang pasti kapan akan berangkat karena masih memikirkan banyak hal. Sebagai pengantin baru, menjalin hubungan jarak jauh atau long distance relationship (LDR) bukanlah hal yang mudah.
“Secepat itu Mas?” tanyanya dengan raut kaget.

“Bagaimana lagi, Dik. Kebutuhan kita masih banyak,” aku menjawab dengan berat hati. “Lima bulan lagi anak kita juga akan segera lahir. Sedangkan kalau tetap di sini tidak dapat uang. Nggak ada pemasukan,” sahutku mencoba realistis.
“Kalau itu sudah menjadi tekadmu aku cuma bisa mendoakan Mas. Sambil nunggu Mas pulang saya masih akan tetap aktif di yayasan. Boleh, kan? Demi syiar Islam Mas?”

Aku mengiyakan permintaannya. Dia tersenyum bahagia.
“Mas,” panggilnya beberapa saat kemudian.
“Iya. Ada apa lagi?” aku bertanya penuh kelembutan.
“Maaf ya, Mas, mau minta izin lagi. Sekitar satu jam lagi aku harus keluar rumah, ada rapat mendadak di kantor. Mas selesaikan kerjaannya dulu ya, nanti kalau sudah selesai aku akan segera pulang. Pasti boleh, kan?” pintanya memelas. Dia kembali berkutat dengan HP-nya lagi setelah aku memberinya izin untuk keluar rumah.

Aku membiarkan dia pergi. Sebagai mantan aktifis kampus naluri berorganisasinya masih terlihat utuh seperti dulu. Membara penuh gelora. Aku yang tidak tahu apa-apa tidak ingin mengekangnya. Dalam hal agama, dia tidak perlu diragukan lagi. Aku tak perlu khawatir dia akan menyeleweng. Apalagi ini memang sudah menjadi rutinitasnya sehari-hari. Menjelang maghrib dia biasanya sudah pulang. Kami lantas terlibat perbincangan mengenai masa depan. Dan tekadku semakin bulat setelah istriku tidak keberatan aku tinggal pergi ke Kalimantan. Beberapa hal terkait keberangkatanku ke pulau seberang tak luput juga kami bahas. Aku merasa sangat bersyukur memiliki istri pengertian dan cekatan dalam melihat keadaan seperti dia.

Waktu seperti busur panah yang terus meluncur, tak pernah mengenal kata berhenti.

Minggu berikutnya aku sudah berada di Kalimantan, berjibaku dengan truk dan batubara dan jalan berkelok-kelok penuh debu. Rute perjalanan kami membawa batu bara melewati hutan, sebenarnya perjalanan yang ditempuh tidak terlalu jauh namun sehari bisa empat sampai lima kali bahkan lebih, hal ini membuat tubuhku terasa sangat lelah. Mataku pun ngantuk sekali. Selain itu, mengendarai truk melewati jalan yang tidak selalu mulus dan dalam keadaan ngantuk bisa berakibat fatal. Kalau sudah begini aku biasanya berhenti untuk sekadar ngopi. Kali ini aku dan kedua temanku berhenti di sebuah warkop tepi jalan yang terbilang berada di wilayah permukiman ramai.
“Rokokmu masih, Jul?” tanya Jarjid pada Juli. Ketika ngopi kedua temanku itu tak pernah pisah dengan rokok. Kata mereka ngopi tanpa ngrokok bagaikan makan nasi tanpa lauk. Ambyar sekali.

Juli mengeluarkan sebungkus rokok dari sakunya tanpa mengeluarkan kata-kata sebagai jawaban. Sebentar kemudian kemelut asap membubung di antara tawa dan gosip khas warung kopi.

Aku sendiri sedang asyik whatsapp-an dengan istriku. Dia mengirimiku poto selfie sedang mengaji bersama teman-temannya. Kubalas dia dengan fotoku yang sedang menenggak segelas kopi hitam. Dia lantas berpesan padaku. “Kurangi ngopi di warkop, Mas. Di situ tempat para syaitan bersarang. Ngopi itu singkatan dari nggibah sambil minum kopi. Kopi halal, kalau ngopi bisa haram.” Dia terus berpetuah. Begitulah istriku. Kadang aku mematuhinya. Tak jarang pula aku tak menggubrisnya. Petuah-petuahnya itu kuanggap sebagai bentuk perhatian seorang istri pada suami.

Tiba-tiba aku dikejutkan oleh kulit kacang yang terlempar ke dahiku. Dadaku sempat panas karena emosi. Namun setelah kulihat Juli dan Jarjid tertawa ke arahku, marah itu segera kuurungkan.
“Makan kulit kacang tuh! Enak kan makan kulit kacang? Tak kalah dengan isinya,” seru Si Jarjid disertai tawa.
“Apalagi dikacangin! Gurih nggak ketulungan!” timpal Juli.
“Ngobrol sama temen itu pakai mulut, bukan pakai HP!” dengus Jarjid menyindirku. “Mentang-mentang sudah nikah, temennya dikacangin terus!” tambahnya lagi.
Aku segera meletakkan HP. “Sorry bro. Lagi kangen sama yang di rumah,” tukasku, merasa agak terganggu dengan keusilan mereka.

Kami bertiga kemudian membisu. Suara helaan dan desisan napas mereka saat menghirup rokok terdengar begitu jelas. Kuseruput kopiku yang tinggal separo. Ternyata setelah kutunggu beberapa detik tetap tak ada bahan pembicaraan. Aku buka lagi HP-ku. Ada pesan WA baru yang masuk. Setelah kutengok ternyata istriku. Aku segera membukanya. Pesan WA-nya selalu membuatku penasaran, apa gerangan yang disampaikannya?
[Mas, bsok kirimi fulus 10 jt ya. Ada keperluan dkwah yg mndesak di pinggir kota. Lumayan, untuk bekal kelak hidup kita di alam keabadian…]

Dahiku berkerut. Pikiranku bertaut dan berselancar. Apakah dia pikir aku mencari uang di perantauan ini selancar dia membelanjakannya? Bolak-balik aku berpikir bagaimana seharusnya aku membalas pesan istriku itu. Tapi setelah aku pikir baik-baik apa yang dia ucapkan ada benarnya juga. Hidup yang sementara ini selalu dijejali rasa payah mencari nafkah. Apabila tiba-tiba ada panggilan Tuhan datang maka semua akan sia-sia. Harta benda tidak ada gunanya. Akhirnya aku memutuskan untuk mentransfer uangku ke rekeningnya. Tabunganku bulan ini ludes sudah.

“Kau dengar suara burung gagak, Jon?” tiba-tiba Jarjid menodongku dengan pertanyaan yang juga mengganggu rasa penasarannku. Gendang telingaku memang juga mendengar suara itu. Aku mengangguk ringan.
“Ada orang mati,” tukas Juli sambil menyemburkan asap rokok. Mataku menerawang isi kedai. Kulihat penjaga kedai kopi tak berhenti menguap. Waktu memang sudah cukup larut.
“Benar. Gagak berteriak pertanda ada kematian,” sahut Jarjid. Mereka mengangguk-angguk. Jarjid menyalakan lagi rokok di sela-sela jemarinya.
“Itu khurafat, tahayul,” aku ikut nimbrung. “Hati-hati dengan khurafat, bisa menggelincirkan kita pada kemusyrikan seperti halnya roda truk kita yang mudah tergelincir di jalanan becek dan berlumpur,” aku menambahi penjelasan.
“Kok tahu Jon?” tanya Juli.
“Istriku kan ustadzah!” aku menjawab lantang. Hal-hal terkait agama harus tetap disampaikan walaupun saat suasana ngopi seperti ini supaya umat Islam menjadi paham atas ajaran agama yang dianutnya.
“Hmmmm. Oalah Jon-Jon! Salat aja kamu nggak pernah kok mau bahas agama. Mbok yo ingat masa lalumu seperti apa. Nggak usah sok suci!” protes Jarjid dengan nada kesal.
“Masa lalu ya masa lalu, Jid. Hidup kita kan tidak berhenti di masa lalu saja. Kita hidup di waktu sekarang. Dan hidup ini akan terus berjalan mengikuti pusaran waktu. Aku yang sekarang telah menempuh jalur hijrah. Aku telah berhijrah menuju jalan kebenaran Islam. Dulu memang aku tidak salat, tapi sekarang aku sudah tidak pernah meninggalkannya. Lihat jidatku ini! Kalian tak melihat ada bekas sujud?” tanyaku mencoba membungkam ke-pekok’an mereka.
“Hijrah? Memang dulu hidupmu gimana, Jon?” serang Juli.
“Dulu hidupku gelap seperti kulitmu. Sekarang hidupku terang seperti gigiku,” tawaku meledak. Tapi ternyata kedua temanku itu tidak menyambut tawaku sama sekali. Entah kesambet setan apa mereka itu malam-malam begini. Dari tadi mulutnya pedas terus yang diucapkan.
“Kalau aku dari dulu memang sudah berada di jalan yang terang. Tak perlulah berhijrah mencari jalan yang lebih terang seperti yang kamu lakukan itu Jon. Islamku dari dulu tak pernah kemana-mana, jadi tak perlu hijrah. Iya kan Jul?” sahut Jarjid menohokku
“Duh! Kok malah ribut masalah hijrah ya. Pikir tuh gaji yang nggak naik-naik dari tahun alif. Padahal beban muatan terus bertambah!” sela Juli.
“Iya, ya. Beban hidup terus bertambah. Gaji tetap tidak goyah. Segitu terus dari zaman bahola,” Jarjid ikut menggerutu, mengalihkan bahan pembicaraan.
“Kalau semuanya diniati lillahita’ala, maka akan terasa ringan saja hidup ini Jid. Walaupun beban sebenarnya overload,” ucapanku semakin tinggi.
Nggeh Pak Ustadz,” sahut mereka berdua serempak.
“Ramai terus! Lihat ini ada penangkapan teroris lagi di Malang Mas. Kota kalian to?” sela pemilik kedai tiba-tiba.
Mata kami segera beralih ke televisi yang terpajang di dinding kedai. Sebuah video live terpampang di layar kaca.
“Bukankah itu alamat rumah barumu, Jon?” tanya Jarjid pelan sambil menyentuh tanganku. Aku segera menelan ludah. Pahit sekali rasanya. Kuikuti berita dengan cemas. Kerumunan warga itu sepertinya memang berada di pekarangan rumahku.
“Istrimu pakai cadar juga kan, Jon?” Juli menimpali. Aku kembali menelan ludah. Jantungku semakin berdebar.
“Tersangka teroris bernama Sadiya Indaryani…,” siar wartawan di tivi. Kedua mata temanku itu saling beradu. Dan kemudian mereka melongo memandangku dengan pandangan nanar. Lalu tiba-tiba hidupku terasa ambyar dan memudar dan bubar. Ini benar-benar LDR yang sangat ambyar.
“Jon. Itu istrimu, kan, yang ditangkap Densus? Kamu yang sabar ya…,” Juli menenangkanku.
“Kalau semua diniati lillahita’ala, maka beban hidup akan terasa ringan saja, Jon. Tenanglah,” sambung Jarjid.
Kutelepon istriku, namun tiada jawaban. Aku berhenti sebentar lalu kucoba telepon lagi, berulang-ulang. Dan jawabannya tak kunjung datang. Kucoba telepon lagi, lalu gagal lagi. Aku lantas membeku dan membisu.

Namun tiba-tiba kudengar ada nada HP berdering. Cepat-cepat kuangkat teleponku. Bedebah! rupanya HP pemilik kedai yang mendapat telepon dari istrinya! Malam semakin pekat. Tubuhku lemas. Perasaanku cemas. Harapan kebahagiaanku memudar dalam sekejap. Dari ketinggian bukit di belakang kedai kemudian kudengar ada gagak yang berteriak-teriak lagi.
“Awas itu tahayul! Khurafat!” desis Si Jarjid.

Mentaraman, 16 Mei 2020

Multi-Page

Tinggalkan Balasan