Korban Gus Bar

2,158 kali dibaca

Almarhum Kiai Syukri memiliki tiga putra dan putri. Mereka adalah Gus Dul, Gus Ad, dan Ning Ainun. Gus Dul sebagai anak pertama kini menjadi pengasuh pondok pesantren menggantikan ayahnya. Gus Dul memang layak menjadi penerus Kiai Syukri. Sejak sekolah dia sudah terkenal pintar. Di pesantren pun prestasinya gilang gemilang. Putra pertama Kiai Syukri itu juga dikenal sebagai sosok yang kharismatik. Pribadinya yang agung dan dibingkai dengan perangai sederhana membuatnya banyak dicintai orang.

Putra kedua Kiai Syukri adalah Gus Ad. Dia pernah nyantri ke sebuah pesantren di pedalaman Banyuwangi selama setahun. Selebihnya lelaki itu belajar agama pada ayahnya sendiri. Gus Ad sering keluar rumah, tanpa seorang pun tahu ke mana perginya. Masa belajarnya di ujung timur Pulau Jawa itu pun tidak banyak diketahui orang. Selain itu perangainya yang agak aneh sering menyita perhatian. Dia seringkali salat di masjid tanpa memakai baju. Lelaki itu juga jarang mau berbicara dengan orang lain. Walaupun demikian dia sering dimintai doa oleh orang kampung karena doanya terkenal mujarab. Sebenarnya dia tidak benar-benar berdoa. Ketika ada orang yang minta didoakan dia menyuruhnya pulang tanpa memberi doa apa pun. Kadang-kadang orang yang datang padanya pun dimarahi. Tapi anehnya setiba di rumah orang-orang itu merasakan hajat mereka kemudian terkabulkan.

Advertisements

Adapun anak terakhir Kiai Syukri adalah Ning Ainun, seorang gadis cantik dengan pesona yang nyaris membuat hati setiap lelaki tertarik ingin memilikinya. Dia masih sangat belia, baru lulus SMA dua tahun yang lalu. Beberapa bulan terakhir gadis itu berada di rumah karena pesantren tempat ia mengaji masih libur akibat pandemi yang belum juga kunjung usai. Keberadaannya di rumah akhir-akhir ini membuat para santri atau tamu yang kebetulan melihatnya gelisah.

Salah satu di antara tamu itu adalah Takim, putra seorang anggota DPRD yang pernah diajak ayahnya berkunjung ke pesantren Gus Dul. Saat itu mereka juga bermaksud minta doa pada Gus Ad untuk suatu keperluan, tapi putra Kiai Syukri itu tak mau membukakan pintu. Dalam kesempatan itu pula Takim secara tak sengaja melihat Ning Ainun yang tengah bermain bulu tangkis di samping rumah. Takim yang anak pejabat itu terkesima melihat kecantikan serta gerakan lincahnya. Tapi dia kebingungan bagaimana cara mengambil hati gadis itu.

“Apakah Ainun masih sendiri?” tanya Takim pada seorang santri di warung kopi depan pondok suatu saat.

“Wah, tidak tahu Mas. Sepertinya bersama saudaranya di rumah,” jawab santri itu polos.

“Maksudku status,” sahut Takim jengkel.

“Maksudnya?”

“Apakah dia sudah punya tunangan, atau masih sendiri?”

“Oh, kalau masalah itu tanyakan pada Gus Ad. Itu kebetulan orangnya lewat,” jawab santri tadi.

Takim ciut nyali mendengar nama Gus Ad disebut. Kakak kandung Ning Ainun itu sering menolak tamu. Dia juga dikenal mampu mengetahui apa yang ada di benak orang lain. Tidak ingin Takim mengulang kejadian tempo hari saat tidak dibukakan pintu. Sebagai keluarga pejabat dia merasa terhina sekali mendapat perlakuan tak menyenangkan itu. Perlakuan Gus Ad itu memang di luar dugaan, biasanya kedatangan pejabat kabupaten sekelas anggota DPRD selalu diharapkan oleh masyarakat. Tapi kini tiba-tiba dia ditolak oleh seorang lelaki berperangai aneh itu.

Lewatlah Gus Ad di depan warung kopi, tapi Takim hanya mengikuti langkahnya dengan pandangan mata. Sebenarnya sosok aneh itu mengusik dirinya; tak nyaman putra pejabat itu bersinggungan dengan putra kedua Kiai Syukri yang dikenal jadzab itu, tapi kecantikan adiknya-lah yang memaksa Takim mau tak mau harus berhubungan dengan keluarga ini, termasuk gus aneh itu. Dia juga berpikir jika sikap Gus Ad tetap seperti itu nanti akan menjadi aral bagi hubungannya dengan Ainun. Harus ada cara untuk melunakkan hatinya.

Takim merayu ayahnya untuk menyumbang pesantren. Dengan rayuan dan argumen apik, ayahnya pun menyetujui. Apalagi di musim pandemi begini banyak pejabat yang turun ke bawah menyalurkan belas kasihan serta uluran tangan. Berkantung-kantung plastik berisi masker disiapkan. Disinfektan dengan jumlah banyak pun juga disiapkan. Tidak hanya itu, ada juga sembako yang cukup banyak melengkapi bantuan itu. Takim sendiri yang memimpin rombongan menyalurkan bantuan, mewakili ayahnya. Takim memang melarang ayahnya ikut. Dia sendiri yang akan mengambil seluruh peran.

Sesampainya di depan pesantren rombongan itu tiba-tiba berhenti.

“Kenapa berhenti?” tanya Takim pada sopir dengan wajah keheranan.

“Memangnya ini belum sampai Mas? Masih jauh?” sahut sopir.

“Dekat lagi. Depan situ. Harusnya belum berhenti di sini. Coba kamu lihat di depan, Mbon,” Takim menyuruh Ambon yang duduk di belakangnya untuk turun. Mobil yang dinaiki Takim ada di mobil kedua. Di depan ada mobil yang membawa barang-barang bantuan yang tiba-tiba berhenti.

Tak berapa lama kemudian Ambon telah kembali.

“Ada orang gila, Mas,” ucapnya dengan napas terengah-engah.

“Kenapa harus berhenti jika ada orang gila?”

“Orang gilanya ngamuk, Mas. Kita dilarang datang.”

Kening Takim mengernyit. Dia turun dan melihat apa yang sedang terjadi di pesantren. Rupanya Gus Ad sedang marah-marah di gerbang, di depan mobil barang. Dengan hanya memakai celana pendek mulutnya memaki-maki. Mobil yang membawa bantuan itu diancam dengan sebilah kayu besar di tangan. Namun kemudian muncul Gus Dul meredamnya. Orang jadzab itu dibawa ke belakang. Keadaan pun perlahan tenang kembali. Rombongan Takim bergerak maju.

Usut punya usut, Gus Ad tadi meneriaki rombongan karena dikira mau menghancurkan pondok. Tidak tanggung-tanggung, beberapa santri diajaknya menghadang mobil itu. Keadaan sempat ricuh sebelum ditenangkan oleh Gus Dul. Orang kampung pun banyak yang keluar rumah menonton kericuhan itu.

Keesokan harinya pesantren itu dihebohkan dengan kabar beberapa santri yang keracunan. Setelah ditelisik ternyata yang keracunan adalah mereka yang memakan beras bantuan dari Takim. Untungnya para santri itu masih bisa diselamatkan. Beras itu ternyata memang stok lama yang ngendon di rumah Takim. Tidak hanya beras, mie instan yang diberikan ternyata sudah kadaluwarsa. Beberapa pengurus pesantren pun bertandang ke rumah Takim untuk klarifikasi. Pucat pasi muka putra anggota DPRD itu menanggapi tudingan mereka. Harapannya untuk memiliki Ning Ainun pupus sudah.

Sejak saat itu Takim tak berani lagi mendekati Ainun. Namun bukan berarti daya tarik bungsu Kiai Syukri itu telah pudar. Hanya belum ada yang bisa menaklukkan hatinya. Padahal sudah ada banyak lamaran yang datang untuk mempersunting dirinya.

Seorang putra kiai ternama tetangga kecamatan mendengar juga berita tentang para santri yang keracunan itu. Kabar itulah yang mengantarkannya pada sosok Ning Ainun. Dia makin penasaran pada gadis itu karena banyaknya orang yang menceritakan kecantikannya. Gus Bar telah mencari akun instagram Ainun dan setelah berhari-hari mencari ternyata tak juga kunjung ditemukan.

Untuk menjawab rasa penasaran itu dia salat Jumat di masjid Gus Dul. Kebetulan sekali Ainun baru pulang dari pasar. Dugaan Gus Bar tepat. Dia memang Ainun yang dicarinya itu. Gus Bar mentashih prasangkanya pada seorang santri Gus Dul.

Gus Bar memantabkan diri dengan pilihan itu. Sudah lama dia mendamba seorang perempuan untuk melengkapi kekosongan hatinya. Dan sebelum benar-benar melamar putri Kiai Syukri itu, Gus Bar bermaksud memperkenalkan diri dan berkenalan dengan gadis pujaannya. Dia memanfaatkan momen Idul Adha untuk berkurban di pesantren Gus Dul sebagai wasilah taarufnya.

“Kenapa kok jauh-jauh berkurban di sini Gus?” tanya Gus Dul pada Gus Bar di ruang tamu. Ia amati pemuda itu, menguak penasaran yang bercokol di kepalanya.

“Di pesantren kami sudah terlalu banyak hewan kurban, Gus. Dan saya dengar lingkungan sekitar sini lebih membutuhkan tambahan hewan kurban daripada tempat kami,” Gus Bar menjawab setelah terdiam beberapa sesaat.

Gus Dul mengangguk paham. Setelah menghabiskan segelas teh yang disuguhkan padanya, kemudian pulanglah Gus Bar dengan membawa secercah harapan. Wajah Ainun yang penuh pesona terpampang jelas di benaknya.

Ketika berpapasan dengan barisan santri putri yang tengah berjalan menenteng kitab, cepat-cepat matanya mengawasi. Mungkinkah ada Ning Ainun di antara mereka?

“Ning Ainun …,” tiba-tiba para santri putri itu meneriakkan sebuah nama. Sontak dada Gus Bar berdetak tak karuan. Ia kebingungan, mencari sosok yang sedang dipanggil gadis-gadis itu.

Tampaklah di sudut gang asrama putri seorang gadis berkerudung ungu mengenakan sweater berwarna marun tengah menggendong seorang anak kecil. Dia menimpali para santriwati itu dengan seulas senyum. Memesona sekali. Gus Bar berdiri memaku memandangnya.

Malam tanggal delapan Zulhijjah Gus Bar bermimpi menikahi Ning Ainun, kemudian menjalani ritual malam pertama dengan perempuan cantik itu. Amboy, perasaan Gus Bar melayang-layang bahagia dibuatnya. Ini merupakan hari tarwiyah yang sangat berkesan dalam hidupnya. Mimpi saja seindah itu, apalagi kalau sampai menjadi nyata?

Tanggal sembilan bulan Haji Gus Bar mengantar kambing ke pesantren milik Gus Dul. Dia ikat hewan kurban yang memiliki kotoran berupa butiran-butiran hitam itu di sebelah Masjid. Dan jantung pemuda itu seketika berdegup aneh tatkala dari kamar mandi masjid muncul sesosok makhluk cantik. Adalah Ning Ainun yang memamerinya dengan senyum merekah nan indah.

Benar-benar hari arofah, Gus Bar melihat senyum dalam mimpi itu begitu nyata. Dia menelan ludah berkali-kali seraya menahan amukan perasaannya. Perempuan cantik itu lantas beringsut pergi.

Hari Nahr pun tiba. Gus Bar salat ied di masjid Gus Dul. Dia dipercaya menjadi khotib oleh kiai muda itu. Seusai salat ied, Gus Bar mengikuti prosesi tabhiyah. Ia tuntun kambingnya menuju para jagal tidak jauh dari masjid. Kambing itu terbilang besar jika dibanding kambing lainnya. Maka Gus Bar melangkah dengan gagah, walau ada sedikit bau kambing yang kini melekat di tubuhnya.

Namun tiba-tiba suasana jadi begitu gaduh tatkala muncul Gus Ad di tengah keramaian itu.

“Edan! Jangan kau sembelih adikku!” pekik Gus Ad tiba-tiba.

“Jangan kau korbankan adikku!” Gus Ad semakin menjadi- jadi.

Semua yang hadir kebingungan. Apalagi Gus Bar. Tali yang mengikat kambing di genggaman Gus Bar kemudian direbut oleh Gus Ad.

“Lepaskan adikku!” pekiknya lagi.

Orang-orang mulai bertanya-tanya. Kenapa kiranya orang jadzab itu melakukan hal demikian? Bukankah Gus Ad yang aneh itu memiliki penglihatan mata batin yang ketajamannya bisa menembus hijab-hijab hati? Bukankah perilaku aneh putra mendiang Kiai Syukri itu selalu menjadi pertanda sesuatu? Lalu apakah itu?

“Mungkin Gus Bar berkurban untuk mendapatkan hati Ainun, adik Gus Ad?” celetuk seseorang. Orang-orang pun kemudian membenarkan ucapan itu.

Gus Bar lalu menuntun pulang kambing itu beserta seluruh bau-bau yang melekat dalam tubuhnya. “Nggak jadi kurban kambing, malah korban perasaan,” rutuknya dalam hati.

Mentaraman, 8/8/20.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan