Kertas Lusuh dari Mamak

1,549 kali dibaca

Malam kali ini terasa sangat berbeda dari malam-malam sebelumnya. Sayup-sayup terdengar suara jangkrik memecah keheningan. Sesekali suara burung malam terbang penuh harapan. Udara terasa dingin, menusuk tubuhku hidup-hidup. Di atas sana langit cerah dihiasi bintang-bintang yang bertebaran setia menemani keanggunan sang dewi malam. Namun sayang, pandangan mataku sedikit terhalang oleh rimbunnya dedaunan hutan rimba.

Pasukan nyamuk juga tidak mau kalah, terbang ke sana-kemari berhamburan mencari hamparan kulit untuk mengobati kehausan. Aku mengaduh pelan. Suara dengungannya sungguh mengganggu konsentrasiku.

Advertisements

Di tengah ramainya suara dengungan nyamuk yang berseliweran di sekitar tubuhku, mataku tak lepas menatap satu objek hidup yang sedang bertengger anggun di atas sebuah pohon. Ya, itu adalah burung rangkong julang emas yang memesona. Bulu bagian punggung dan sayap sampai perut bewarna hitam dengan kemilau hijau metalik, membuatnya berkemilau indah saat sang ratu malam menyiraminya dengan cahaya temaram. Sedangkan ekornya berwana putih kontras. Pesona rangkong julang emas terlihat jelas pada bagian paruhnya, paruh berwarna kuning gading yang menawan. Paruhnya inilah yang membuatnya diburu banyak orang hingga hampir punah sekarang, nilai jualnya bukan main mahal.

“Kita sangat beruntung Sar. Sasaran kita malam ini bukan main! Rangkong julang emas! Kita bisa langsung kaya hanya dengan menyelundupkan satu hewan itu!” Bisik Asraf, pemuda seumuranku yang memiliki hidung mancung serta berewok tipis seperti orang Turki.

“Ya, Tuan Muda Abizard pasti akan terkekeh saat kita membawa pulang rangkong itu,” sahutku.

“Bukan main! Ratusan juta akan jatuh ke tangan kita esok hari!” Asraf menyugingkan senyum. “Pasar gelap, aku datang!” tambah Asraf sambil terkekeh.

Aku membenarkan ucapan Asraf dalam hati. Pasar gelap memang tujuan sekaligus sumber uang kami. Di sana tempat kami melakukan jual-beli satwa langka. Gepokan uang dalam amplop berwarna coklat kusam itu bukan lagi pemandangan yang fantastis untuk kami. Puluhan juta, ratusan juta, atau bahkan sampai miliaran bisa dalam genggaman dalam waktu sekejap jika sedang beruntung. Uang sebesar itu jelas sangat menggiyurkan bukan? Apalagi untuk pemuda sepertiku.

Dulu aku hanyalah anak petani miskin di desa ujung pulau. Tubuhku kecil ringkih karena kurang asupan. Rambutku seperti sarang burung, berantakan. Hari-hariku hanya diisi dengan menggembala kambing serta mengaji di musala kecil pinggir sawah yang dibimbing Kiai Ahmed. Setiap sore aku mengaji di musala itu. Membacakan ayat-ayat Ilahi adalah rutinitas. Tidak hanya itu, kami juga mengikuti pelajaran keislaman dari Kiai Ahmed hingga malam tiba. Itulah kehidupanku di masa kecil dulu.

Masa-masa itu mulai berubah saat umurku menginjak 18 tahun. Aku memutuskan untuk merantau ke pulau seberang. Di sana banyak lapangan kerja. Tapi untung tak bisa diraih, malang tak bisa ditolak; tak ada lembaga yang mau menerimaku. Aku memang tak punya skill apapun untuk diterima di sebuah perusahaan. Aku sangat pasrah waktu itu. Hingga akhirnya aku bertemu seseorang yang diam-diam mengajakku untuk mengikuti bisnis ilegal.

Awalnya aku tidak mau. Itu perbuatan yang sangat jauh dari apa yang diajarkan Kiai Ahmed. Tidak halal. Apalagi jika mamak tahu, jelas-jelas tak akan merestuiku dengan pekerjaan itu. Namun seketika imanku tergoyah saat tuan muda Abizard, seorang pemimpin bisnis penyelundupan hewan langka itu membisikkan honornya. Selain itu pekerjaannya juga tidak terlalu sulit, hanya berburu satwa. Pekerjaan itu kuanggap hal mudah karena aku sudah terlatih saat masih ada di desa dahulu. Dan pada akhirnya inilah bisnisku, penyelundupan satwa langka.

“Heh!? Keysar!” Asraf menyodok perutku dengan sikunya. Aku tersentak, buyar sudah lamunanku tadi. Aku melotot ke arahnya, “Apa, hah?”

“Cepat ambil senapanmu! Tunggu apalagi? Rangkong itu nanti keburu pergi! Jangan malah melamun saja memikirkan jodoh,” cetus Asraf dengan tetap berbisik. Dengan gerak cepat aku menginjak kakinya. Membuat dia meringis.

“Umur sudah dua sembilan kok belum punya calon. Sepertinya jodohmu nyasar di pasar, Sar,” celetuk Asraf menyebalkan.

“Apa sih Raf!” dengusku.

“Ya sudah kalau tidak mau kugoda seperti ini, cepat ambil senapanmu, hei!” tak lama Asraf kembali fokus menatap target, dia kembali melotot ke arahku. Sebelum Asraf kembali mengomel tanganku dengan gesit menyambar sebuah senapan yang dari tadi tergeletak di dekat pohon besar.

Otakku kini memulai konsentrasi. Mataku menyipit, memastikan aku telah membidik sasaran dengan tepat. Jantungku kembali dag-dig-dug. Keringat segera membasahi pelipisku. Aku menahan napas.
Jariku sudah bersiap menarik pelatuk. “Tenang Keysar Ardito. Kamu harus tenang,” aku membatin untuk menenangkan diriku. Tak butuh waktu lama jemariku kemudian menarik pelatuk.

Dor! Dor!!!

Dua peluru bius sekaligus kutembakkan.

“Argh, meleset!” seru Asraf kecewa.

“Hah? Meleset??” tanyaku tak percaya, lantas memastikan. Ya, burung itu sempat terbang ke arah utara. Mata tajamku masih sanggup melihat gerakannya.

“Duh, padahal itu rangkong paling menawan yang pernah aku lihat! Gara-gara kamu, sih, Sar! Tidak menembak dengan benar. Mikirin saja itu jodoh, sampai-sampai rangkong itu kau sia-siakan!” dengus Asraf. Aku mengusap wajah. Tak kuhiraukan dengusan Asraf di sampingku. Dia terus saja menggerutu.

“Sar! Dengar aku ngomong atau tidak sih?”

“Sar!” dia menyikutku.

“Apaan, sih? Sar, Sar, Sar mulu dari tadi,” sahutku kesal. Dia tidak tahu kalau kepalaku sedang pusing memikirkan ke mana rangkong menawan itu pergi. Dia malah menggerutu dan menyalahkan aku, lalu mengaitkan dengan jodohku. Duh.

“Kamu kira pusar apa, hah? Kalo manggil yang jelas, nama lengkap. Keysar gitu. Jangan Sar-Sar. Dih, kesel aku,” aku berdecak sebal.

“Kau marah?” dia menaikkan bibirnya. “Tapi ngomong-ngomong soal pusar, kamu tahu tidak? Kata guru IPA- ku dulu pas SMP, pusar itu menyimpan jutaan bakteri di dalamnya. Bayangin Sar, di dalam tubuh…,”

“Heh! Tidak usah bahas yang tidak penting,” potongku risih. Aku heran pada temanku satu ini. Suka sekali membahas hal yang tidak penting. Cerewet sekali pemuda satu ini. Jika didengar lamat-lamat mirip sekali seperti mamak. Bahkan pernah suatu waktu kami semua sedang berkumpul makan siang di aula, Asraf dengan ringannya membicarakan tentang kotoran wombat yang berbentuk kotak. Seketika, wajah masam segera kami pasang untuk menatapnya. Rasa mual segera membungkus aula.

Splash!

Tiba-tiba siluet cahaya menyambar mataku. Tak salah lagi! Itu pasti burung rangkong julang emas. Bulu hitam dengan hijau metalik baru saja berkilau tertempa cahaya bulan.

“Ayo bergegas kawan!” Kini kakiku melangkah menyibak semak. Di saat yang bersamaan aku sambar ransel coklat yang teronggok bisu di dekat kaki.

Mata kami segera menyoroti tiap jengkal hutan ini. Kaki kami tak hentinya berlari. Melesat dengan cepat ke sana-kemari layaknya singa dengan derap langkah kaki gagahnya.

“Asraf! Nyalakan sentermu!”

Klik! Terdengar suara tombol senter dipencet. Sorot senter langsung menyinari sekitar. Pohon rimbun segera bermandikan cahaya menampakkan diri. Mata tajam kami kerahkan untuk menyisir hutan.

“Keysar, target ditemukan!” Aku menoleh saat Asraf tiba-tiba berseru. Tanganku tangkas menarik pelatuk.

Dor!

“Argh! Gagal!” Aku kembali berdecak sebal. Nyaris saja burung itu terkulai lemah. Hanya berselang beberapa detik, dia dengan gesitnya berpindah mengepakkan sayap.

“Ratusan juta Sar!” cetus Asraf yang sejak tadi hanya berteriak-teriak memanas-manasiku.

Seharusnya dia membantu! Bukan hanya berpangku tangan saja! Arghh!!

Dor! Dor! Dor!

Tiga, empat, enam, delapan. Entahlah berapa peluru bius yang sudah kutembakkan. Setiap gerakan burung itu senapanku selalu memuntahkan pelurunya. Suara menyahut-nyahut memekakkan telinga.

“Keysar tahan tembakanmu! Suara itu bisa mendatangkan para polisi patroli jika kau membabi buta seperti ini!” cegah Asraf. Tapi apa gunanya? Amarah dan emosiku telah bercampur aduk menjadi satu. Temanku itu tak lagi kudengarkan. Kakiku telah melesat meninggalkannya, mengikuti ke mana burung itu terbang. Selagi tetap memuntahkan peluru bius ke angkasa.

Dorrrr!

Satu lagi peluru dimuntahkan senapan anginku. Saat kepalaku sibuk mendongak, tiba-tiba tubuhku tersungkur di antara rumput. Kakiku tergelincir kerikil. Kepalaku tak sengaja terbentur batu besar yang sejak tadi singgah di depanku.

Argh!! Rangkong menyebalkan! Awas saja kau! Lain kali tidak akan kulepaskan!” aku berkata geram. Di selingi oleh amarah, aku mulai merasakan rasa sakit di kepalaku.

“Kamu kenapa, Keysar?” tanya Asraf cemas, dia baru saja menyusulku. Cahaya senternya segera menyilaukanku.

“Astaga! Pelipismu berdarah Sar,” katanya.

Ya, di saat yang bersamaan aku merasakan ada sesuatu mengalir dari pelipisku. Rasa perih tak terhindarkan. Kulepaskan gendongan ranselku, membuka resletingnya. Kuaduk-aduk isinya, berusaha mencari plaster yang dulu pernah kubeli di warung depan kos. Di saat sibuk mengaduk isi ransel, tanganku itu tiba-tiba menemukan kertas terlipat. Kertas apa ini? Aku tak pernah membawa kertas selama ini. Terakhir kali menyentuh kertas saat aku masih mencari pekerjaan sebelas tahun lalu, tepatnya saat umur delapan belas tahun. Lalu ini dari siapa? Aku menggernyitkan dahi.

“Sudah Sar, kamu tak perlu khawatir soal rangkong itu. Sudahlah, ikhlaskan saja. Tidak perlu melipat dahimu. Wajahmu tambah jelek, jodohmu makin jauh nanti,” Asraf berusaha bercanda. Tapi aku semakin penasaran pada kertas ini.

“Asraf, aku butuh cahaya sentermu. Tolong sorot bagian tanganku,” pintaku. Kertas lusuh berwarna kecoklatan itu kini terlihat jelas. Kubuka lipatan demi lipatannya. Tulisannya terlihat sedikit luntur oleh waktu. Telah berapa lama kertas ini berada di ranselku?

Rangkaian kalimat mulai terlihat, huruf demi huruf berubah menjadi kata, kemudian kata itu membentuk sebuah kalimat yang disusun sedemikian rupa. Bibirku mulai membaca surat lusuh itu.

[Untuk Keysar Ardito, putra semata wayangku. Mamak kini sudah tahu Nak apa pekerjaanmu di pulau sebrang sana. Bisnis ilegal? Pasar gelap? Penyelundupan? Istighfar Nak, itu haram Keysar. Kamu selama ini berbohong ke mamak dan bapak, bilang jika diterima menjadi sekretaris di salah satu perusahaan. Dan ternyata, saat bapakmu lima tahun lalu menjemputmu di pelabuhan bapak malah menemukan fakta hitam ini, tentang pekerjaan gelapmu, Sar. Oh anakku, sungguh gelap sekali jalanmu. Sangat jauh dari ajaran guru ngajimu, kau menggerogoti marwah negara ini.
Ke mana perginya ajaran mamak dan bapak dulu, Nak? Di mana ajaran Kiai Ahmed? Di mana Keysar yang rajin berbuat baik itu? Nak, sadarlah sayangku. Kamu terlalu jauh tenggelam di dunia gelap ini. Ayo Nak, kembali ke jalan yang benar. Kembalilah ke jalan yang dulu. Tidak ada kata terlambat untuk bertaubat Keysar. Perbaiki semuanya. Temukan jalan terang itu. Jangan sampai pihak berwajib yang menghentikan langkah kelirumu ini! Aku sangat khawatir para polisi akan menangkap dan menjadikanmu sebagai pesakitan!
Mamak yang sangat menyayangimu.]

Badanku lemas seketika. Hatiku bergetar begitu kencangnya. Mamak, apa benar aku pergi sejauh ini? Sampai mamak menuliskan ini dan menyelipkannya untukku? Aku mengusap wajah. Kulihat ujung kertas lusuh berisi tulisan mamak itu, tertera tahun ditulisnya surat itu, yang di mana tahun itu pula mamak meninggal dunia karena sakit. Mamak meletakkan secarik kertas itu di dalam sebuah kotak makan yang diberikannya saat sakit itu. Malam ini adalah untuk pertama kalinya aku membawa kotak itu untuk membawa bekal. Sepertinya aku jatuhkan kertas itu di dalam ransel saat mau berangkat tadi. Ternyata mamak pernah menulis surat seperti itu untukku.

Kutatap kembali tulisan mamak yang tersinari senter. Mataku mulai sembab, aku menelan ludah. Di sekelilingku hutan ini semakin sepi, hanya sesekali terdengar suara lolongan serigala dari kejauhan. Bulan tak lagi menerangi, awan melindungi cahayanya. Gelap, aku baru sadar, sekelilingku gelap, seperti hatiku saat ini. Astaghfirullah, aku sungguh menyelami dunia hitam ini terlalu dalam. Sampai-sampai selaput gelap ini hampir saja membungkus seluruh hatiku. Maafkan anakmu ini, Mamak.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan