Jeruk Surga

1,724 kali dibaca

Seusai dipetik, awalnya jeruk itu senang tak keruan, karena ia dan beberapa jeruk lainnya tak dimasukkan oleh pemiliknya ke dalam keranjang; tak ikut dijual kepada juragan jeruk yang tampak menyiapkan alat timbang itu. Besar kemungkinan ia akan dimakan oleh pemilik kebun— seperti harapannya selama ini.

Namun, saat menimbang keranjang terakhir— kendati mereka telah sepakat pada angka yang tertera—, demi melebihkan timbangan, si pemilik kebun menambahkan dengan beberapa jeruk yang ia pisahkan tadi. Masuk ke dalam keranjang, cemas mengikuti jeruk itu: menyoal hidupnya bakal berakhir di dalam perut siapa.

Advertisements

Dibandingkan dengan semua jeruk yang ada di kebun itu, jeruk itu memang berbeda. Bukan dalam bentuk, tapi cita-cita. Dulu, saat mereka hanya mentok pada keinginan menjadi buah matang kemudian mati usai dimakan alias tamat begitu saja, jeruk itu —setelah mati— ingin masuk surga. Meski beberapa jeruk mengolok-oloknya sembari sepakat menyatakan bahwa hal itu mustahil— karena surga dicipta oleh Tuhan hanya untuk bangsa jin dan manusia—, dengan yakin ia menjawab, “Tak ada yang tak mungkin bila Tuhan menghendakinya.”

Kendati mereka percaya bahwa Tuhan kuasa atas segala sesuatu, salah satu jeruk bertanya, “Lantas apa yang akan kau lakukan agar bisa masuk surga?”

Sebagai jeruk jujur ia menjawab, “Saya tidak tahu. Meski begitu saya tahu Tuhan Maha Tahu dan semoga Dia berkenan memberitahu saya caranya.”

Hari-hari berlalu, ia tumbuh kian besar, beranjak matang. Sementara itu, ia belum tahu cara mewujudkan cita-citanya. Ia bukan jin juga bukan manusia yang diberi ketetapan oleh Tuhan untuk berbuat sesuatu yang dapat jadi perantara mereka masuk surga.

Sampai suatu malam, beberapa saat setelah pemilik kebun menyirami pepohonan itu, dapat ia rasakan pertumbuhan dalam dirinya. Dari sini ia dapat pemahaman: ada berbagai unsur yang bekerja sama di dalam pohon untuk menghasilkannya —menumbuhkannya. Akar tak bisa bekerja sendiri. Demikian pula batang, ranting, dan dedaunan. Di luar itu mereka butuh tanah —termasuk sari makanan di dalamnya— juga air. Masing-masing punya peran penting demi mewujudkan jeruk itu.

Kemudian ia menyimpulkan, bila ia masuk ke tubuh seseorang lalu larut menjadi energinya, ini berarti ia turut berperan dalam perbuatannya. Dari yang ia dengar, karena kebaikan dapat menjadi perantara seseorang masuk surga, sejak saat itu ia berharap semoga kelak ia dimakan oleh orang baik —seperti pemilik kebun itu. Dan karena ia telah berperan dalam satu kebaikan, semoga Tuhan Yang Maha Penyayang mengabulkan keinginannya masuk surga, atau setidaknya menumbuhkannya kembali di dalam surga.

Perihal kenapa jeruk itu menyimpulkan si pemilik kebun orang baik, selain dari caranya merawat mereka, darinya ia tahu apa itu kebaikan lewat cerita-cerita yang kadang disampaikannya pada anaknya di sela istirahat mereka menyirami pepohonan itu.

Suatu waktu, ia bercerita tentang seorang Nabi yang diuji sakit selama delapan belas tahun. Kendati ia tabah dan sabar menghadapinya, tetapi istrinya tidak. Menurut istrinya, karena ia seorang Nabi yang doanya bakal dikabulkan oleh Tuhan, ia memintanya berdoa agar Tuhan menyembuhkan sakitnya. Menanggapi permintaan itu, Sang Nabi berujar, “Berapa lama saya sehat?”

“Delapan puluh tahun,” jawab sang istri.

“Saya malu berdoa pada Tuhan karena cobaan-Nya belum sebanding dengan nikmat-Nya yang saya terima selama ini.”

Di saat yang lain, jeruk itu mendengar kisah seorang Nabi yang diutus di akhir zaman yang begitu eman —welas asih— terhadap umatnya. Sampai-sampai kelak di akhirat —kendati ia diberi keutamaan oleh Tuhan sebagai orang pertama yang masuk surga—, ia menundanya demi memberi syafaat pada umatnya.

Terharu mendengar cerita ini, sekonyong-konyong jeruk itu kepikiran ingin masuk surga agar dapat berjumpa dengan Sang Nabi. Lebih dari itu ia berharap di dalam surga Sang Nabi berkenan memakannya agar ia dapat larut dalam pribadi yang amat pengasih tersebut.

Demikianlah, kenapa ia punya cita-cita seperti itu. Maka jangan heran bila saat ini, kau lihat, sementara teman-temannya tampak ceria karena beranggapan keberadaan mereka di dunia ini tak lama lagi bakal paripurna seusai ditaruh di lapak buah dekat pintu rel kereta api itu, jeruk itu tampak muram: mempersoalkan kembali orang seperti apa yang bakal membelinya —memakannya.

Ia hanya bisa pasrah saat seorang lelaki memasukkannya dan beberapa jeruk lainnya ke dalam sebuah tas kresek untuk kemudian ditimbang. Dan setelah membayar, lelaki itu membawanya pulang. Memang, jeruk adalah buah kesukaan lelaki itu. Selain vitamin yang dikandung, jeruk acap kali mengingatkannya pada kenangan bersama ayahnya yang telah tiada.

Pernah di suatu waktu, ayahnya menanam beberapa pohon jeruk pada gundukan tanah di antara tanaman padi di sawahnya. Maka setiap Sabtu sore, setelah ia dapat bayaran dari tempatnya bekerja, ia membeli jeruk di kios itu.

Akan tetapi kali ini, beberapa saat setelah tiba di rumah, saat ia hendak mengupas jeruk itu, sekonyong-konyong ia terkenang kejadian bersama adiknya yang kini tinggal di kampung sebelah. Semasa kecil ia pernah membuat adiknya menangis hanya karena mereka berebut sebuah jeruk.

Ia pun menggayuh sepedanya, mengantar jeruk-jeruk itu untuk adiknya. Padahal tadi saat hampir dikupas, jeruk itu merasa kembali senang: kendati ia belum tahu baik-tidaknya lelaki itu, ia punya prasangka cukup kuat lelaki itu orang baik. Ini terbersit usai ia mendapati ada kesamaan di wajah lelaki itu dengan wajah si pemilik kebun: wajah yang saat dipandang menenteramkan.

Berbeda dengan wajah adik lelaki itu yang kini tampak mengambilnya dari nampan di meja teras rumah itu. Jeruk itu sendiri tak habis pikir, dari sekian jeruk yang ada di situ, kenapa ia yang pertama diambil olehnya. Padahal, seandainya si adik memilih jeruk yang lain, masih ada kesempatan ia diambil lalu dimakan oleh kakaknya yang sedang menyeruput teh itu.

Usai membelah jeruk itu jadi dua bagian, lelaki itu meletakan satu bagian di nampan, kemudian mengupas apa yang di tangannya lalu memakannya. Yang terjadi selanjutnya adalah dua harapan sama dengan alasan berbeda berlangsung dalam satu ketika.

Sementara jeruk yang tinggal separo lingkaran itu berharap si kakak bakal mengambil dan memakannya agar ia dapat masuk surga, si adik pun berharap demikian sebagai tanda kerukunan mereka demi mengenang hari-hari di masa lalu saat orang tua mereka hanya punya sedikit uang untuk mencukupi kebutuhan hidup —mereka sering makan sepiring berdua. Namun kemudian si adik berubah pikiran: begitu jeruk di tangannya habis, karena dirasa jeruk itu manis tak terkira —kelak si adik mengakui itu adalah satu-satunya jeruk termanis di dunia—, ia pun segera mengambil bagian jeruk itu lagi dan memakannya.

Sampai habis dimakan olehnya, jeruk itu belum tahu bahwa memberi sesuatu —terlebih sesuatu yang amat disukai— pada orang lain adalah kebaikan. Dan ini adalah salah satu ajaran dari Nabi yang amat dicintainya, pribadi yang menjadikan sebuah jeruk ingin masuk surga.

Kesugihan, 2:05, 18/6/2020.

Catatan: Cerita ini menjadi Juara 2 Lomba Cerita Inspiratif Festival Sastra Aksara ke-VII Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Tasikmalaya, Oktober 2020.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan