Islam Nusantara sebagai Antitesis Ideologi Transnasional

748 kali dibaca

Lagi-lagi, masyarakat kita yang plural ini menghadapi ancaman besar. Sebut saja ideologi transnasional. Adalah gerakan politik yang seringkali menggunakan agama sebagai basis gerakannya. Tentu, Islam yang saat ini menjadi primadonanya, lalu dimanfaatkan oleh berbagai pihak dalam menggali keuntungan. Cara berpikir kelompok ini, jika segala sesuatu bertentangan dengan Islam yang mereka yakini, entah di ranah fikih, politik, ataupun budaya, maka akan dibabat habis-habisan dengan berbagai cara, termasuk dengan kekerasan dan terorisme.

Efeknya, banyak terjadi islamofobia di berbagai kawasan. Termasuk, yang paling parah di Amerika Serikat dan Eropa. Padahal, seorang Muslim yang bersungguh-sungguh menghayati Islamnya, menjadi tertekan akibat kelakuan buruk oknum itu. Islam lalu dicibir sebagai agamanya teroris, hingga pemeluknya yang benar-benar saleh —tidak melakukan kekerasan—turut mengalami diskriminasi.

Advertisements

Jelas, Islam tidak salah. Melainkan para oknum itu yang menyalahgunakannya. Kiwari, harus bisa membedakan mana ajaran Islam yang hakiki, dan mana ajaran Islam yang dipropagandakan untuk kepentingan kelompok tertentu. Sehingga tidak masuk ke jebakan tikus.

Indonesia rawan akan hal itu. Menjadi negara Muslim terbesar di dunia, secara pasti menjadi target utama dari ‘dakwahnya’ aktivis ideologi Islam transnasional. Bukti yang nampak, dalam dekade terakhir, banyak orang yang menjadi radikal hanya gara-gara melihat kampanye Islam transnasional di media sosial. Oknum tersebut mendesain konten sedemikian rupa, seakan-akan apa yang ia kampanyekan adalah sebenar-benarnya Islam —padahal Islam bukan seperti itu. Banyak masyarakat yang tertipu.

Usut diusut, faktor utama perilaku masyarakat menjadi seperti itu karena kurang paham dan minim literasi. Mereka tidak tahu, sekira mana ajaran Islam yang sesungguh-sungguhnya rahmatal lil ‘alamin. Padahal, kali pertama para Wali Songo dan apa yang kiai ajarkan selama ini, ialah Islam yang mampu bergandengan tangan dengan budaya dan kearifan lokal. Bukan malah mengkafir-bidahkan.

Islam Nusantara sebagai Alternatif   

Perbedaan yang mencolok dari ideologi Islam transnasional adalah penolakan tegasnya terhadap keberagamaan, termasuk dalam daulah (kekuasaan). Mereka sangat menghendaki berdirinya pemerintahan dengan latar Islam —sesuai dengan Islam yang mereka pahami. Sehingga ketika masyarakat masuk ke lingkaran tersebut, hanya diberi dua pilihan: tetap dianggap sebagai Muslim dengan mendirikan kekhilafahan, atau dicap kafir ketika masih keukeuh mempertahankan negara Pancasila ini. Benar, mereka menolak pilihan untuk menjadi Islamis sekaligus Indonesianis.

Sejatinya, sangat fatal pemahaman mereka terhadap Islam. Tafsir-tafsir yang mereka ambil cenderung saklek, bias, dan berpotensi merusak. Oleh karenanya, idiom Islam Nusantara yang dalam dekade terakhir ini digaungkan oleh Nahdlatul Ulama (NU) dapat menjadi alternatif dalam mengkonter narasi mereka.

Seperti penjelasan KH Said Aqil Siradj, Islam Nusantara bukanlah aliran atau agama baru. Melainkan hanyalah tipologi Islam yang berkembang di Nusantara yang memiliki ciri khas mampu bergandengan dan merangkul kearifan lokal.

Lebih lanjut, dalam Munas NU yang diadakan di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar kota Banjar Jawa Barat pada tahun 2019, telah disepakati pengertian Islam Nusantara yang secara substansial adalah Islam ahlisunnah waljamaah yang diamalkan, didakwahkan, dan dikembangkan sesuai karakteristik dan kearifan lokal masyarakat di Nusantara. Sehingga, jatuhnya menjadi akulturasi antara Islam dengan local wisdom, yang satu sama lain saling menguatkan.

Dari pengertian di atas, sudah jelas bahwa Islam Nusantara mencirikhaskan ideologi Islam yang terbuka, menerima perbedaan, serta toleran. Islam Nusantara tidak memaksakan bahwa Indonesia harus menggunakan sistem syariah. Atau mengkafirkan budaya Nusantara karena tidak sesuai dengan budaya Arab. Bukan seperti itu.

Islam Nusantara menggunakan mazhab ahlussunnah wa jamaah bila mana pokok-pokok Islam seperti Rukun Iman dan Rukun Islam dapat terlaksana, maka tidak ada perintah lagi untuk jihad mendirikan negara Islam. Dan di Indonesia sendiri, kebebasan untuk beribadah dan beragama, dijamin dengan undang-undang. Sehingga tidak ada alasan bagi umat Islam Indonesia untuk jihad memberontak melawan negara. Bahkan, hal keji semacam itu diharamkan karena akan memecah belah persatuan bangsa.

Jika cara pandang Islam Nusantara digunakan oleh seluruh Muslim Indonesia, maka ke depannya akan menghasilkan generasi Muslim yang Islamis sekaligus Nasionalis. Generasi yang dapat merawat nilai luhur bangsa dan menjaga kearifan lokal. Mereka akan menjaga Indonesia seperti mempertahankan agamanya. Hal itulah yang kala dulu diajarkan oleh KH Hasyim Asy’ari, bahwa mencintai tanah air adalah sebagian dari iman.

Multi-Page

2 Replies to “Islam Nusantara sebagai Antitesis Ideologi Transnasional”

Tinggalkan Balasan