Hilangnya Guru Ngaji

1,379 kali dibaca

“Bagaimana ini, kotak amal kita hilang? Ke mana Agus? Atau jangan-jangan dia yang mengambilnya tadi malam?” Sukidi menceracau setelah mengetahui kotak amal musala Ar-Rahman terbongkar, isinya raib.

“Sabar dulu, kita tak boleh menuduh orang begitu saja,” ucap Pak Kasdi sebagai ketua RT setempat, menenangkan Sukidi.

Advertisements

Tak ada yang tahu kejadian semalam. Subuh ini setelah salat berjemaah, Sukidi melihat kotak amal terbuka begitu saja. Sebab itu, dia mendekati kotak persegi yang berwarna hijau itu. Dia tampak terkejut saat mendapati isi dari kotak itu sudah amblas tak tersisa sedikit pun.

Kebetulan yang masih berada di sana hanya Pak Kasdi. Lelaki bertubuh gempal itu pun mendatangi Sukidi, lantas memindai barang itu dengan teliti dari berbagai arah. Lelaki yang dikenal bijaksana itu berpikir siapa yang bisa dan berani membobol kotak itu.

“Agus kemarin sudah izin kepada saya. Dia ada tugas kuliah sehingga mengharuskan bermalam di tempat temannya. Jadi, dijaga itu mulutmu.” Pak Kasdi memberitahukan tentang keberadaan Agus.
Sukidi yang dari awal sudah tidak suka dengan Agus memonyongkan bibirnya beberapa sentimeter. Sebab, Agus selalu dibela oleh Pak RT dan menjadi kesayangannya. Berbeda dengan Sukidi yang selalu dianggap salah setiap pekerjaannya oleh Pak Kasdi.

“Ya, sudah nanti perbaiki gemboknya ini. Ini uang untuk beli gembok baru lagi,” titah lelaki yang baju kemeja pendek warna biru itu, seraya memberikan selembar uang berwarna merah dan berlalu menyisakan Sukidi.

***
Saat Agus mulai bertugas sebagai takmir di musala, banyak anak-anak yang dengan senang hati mengaji di sana. Bagaimana tidak? Setiap anak belajar membaca Al-Quran pasti selalu diberinya makanan ringan kesukaan mereka. Sesekali diberi uang ketika dia sedang ada berlebih. Mereka pun mengajak teman-temannya yang lain untuk mengaji bersama, sehingga semakin hari murid di musala Ar-Rahman pun semakin banyak.

Sebagai seorang mahasiswa, Agus terkadang absen mengajar Al-Quran di sana, karena tugas-tugas yang harus diselesaikan. Sebagai gantinya Sukidi yang mengajari anak-anak itu. Hal itu menyebabkan murid-murid malas, karena guru yang dicintainya tidak ada. Mereka hanya mau dan semangat saat Agus yang mengajar. Sebab itu juga, Sukidi semakin tak menyukai Agus.

Selain mengajar ngaji Al-Quran, lelaki berkumis tipis itu juga secara langsung menanamkan nilai-nilai kebaikan kepada muridnya. Hal itu sangat berdampak kepada anak-anak sekitar. Anak-anak semakin semangat menimba ilmu-ilmu Al-Quran yang diajarkannya. Tidak hanya itu mereka pun menjadi sangat baik dengan kedua orang tua mereka, karena didikan Agus.

Terbukti Bu Rini yang sebelumnya sering mengeluh soal anaknya yang bandel dan main ponsel terus, sekarang sudah terlepas dari titel “ibu galak”. Wanita itu kini semakin senang dan sabar.

“Pak, Alhamdulillah. Sekarang Ucup jadi pinter bantuin ibu, rajin mengaji ke musala.” Bu Rini mengadukan perubahan anaknya kepada lelaki yang sedang menyesap kopi di sampingnya, Pak Kasdi.

Mereka berdua menikmati senja di depan rumah. Hujan yang baru saja mengguyur desa menjadikan hawa sejuk menusuk tulang. Dengan suguhan ubi rebus di piring yang masih mengepul asapnya dipadu dengan secangkir kopi untuk Pak Kasdi dan teh hangat untuk Bu Rini, menambah kenikmatan sore itu. Maka nikmat Tuhanmu manakah yang kamu dustakan?

“Syukurlah, Bu. Teman-temannya juga sepertinya sekarang banyak yang rajin mengaji ke musala bapak lihat. Semoga mereka menjadi anak-anak saleh dan pembela agama Allah.”

“Aamiin.”

“Aku mau siap-siap ke musala dulu, ya, Bu. Ini sudah mau maghrib,” pamit Pak Kasdi.

“Iya, Pak. Ucup sudah dari tadi pergi duluan ke sana.”

***
Dinginnya sore menjelang maghrib itu tak sesuai dengan keadaan di musala kali ini. Di dalam sana terasa sauna panas oleh Sukidi. Tampak Sukidi sedang menunjuk-nunjuk wajah Agus dengan berbagai hujatan. Pak Kasdi yang baru saja datang pun berusaha masuk ke dalam masalah mereka.

“Ada apa ini Sukidi?”

“Anu … Pak. Ini Agus enggak mau mengaku tentang kotak amal itu.” Dengan menunduk Sukidi menjelaskan. Dia kikuk, karena lelaki yang berstatus sebagai RT itu tiba-tiba muncul.

“Kan, sudah saya bilang. Jangan asal nuduh. Kita tanya dulu baik-baik,” tegas Pak Kasdi.

“Begini, Pak. Saya dari kemarin di rumah teman. Jadi, demi Allah saya tidak tahu menahu soal hilangnya uang di kotak amal itu. Saya mohon maaf atas ketidaknyamanan ini, Pak.” Agus angkat bicara seraya menunduk hormat kepada Pak RT.

“Sudah, sudah. Lagian sudah saya laporkan ke pihak yang berwajib. Sudah masuk waktu maghrib ini. Segera azan, Gus,” titah lelaki berkumis tebal itu.

“Nggih, Pak.”

Agus dengan cepat menyiapkan mikrofon. Dia mengecek terlebih dahulu alat itu dengan memukul pelan menggunakan jarinya. Setelah dirasa berfungsi dia mulai menyuarakan azan maghrib. Setiap insan yang mendengar suara azan Agus tak menampik bahwa suaranya begitu merdu. Layaknya azan di televisi yang biasa didengar. Ini juga salah satu yang membuat anak-anak rajin pergi ke musala. Ingin langsung bertemu si pemilik suara merdu itu.

***
Pagi-pagi sekali Agus mendatangi rumah Pak RT. Dia hendak pamit dan melepas jabatan sebagai takmir musala Ar-Rahman. Lelaki bertubuh tinggi tegap itu tak enak hati kepada Sukidi yang sering kali bersikap tak baik kepadanya. Lagipula, Agus juga akan berusaha fokus pada skripsinya.

Di halaman rumah Pak Kasdi dia disambut oleh ayam yang bersahutan berkokok. Suasana pagi yang sempura sekali.

“Assalamualaikum ….”

“Waalaikumsalam.” Tak perlu menunggu lama jawaban dari dalam rumah berwarna biru itu terdengar dari luar.

“Silakan duduk, Gus. Ada apa ini pagi-pagi sekali sudah ke sini?” Pak Kasdi menawarkan duduk di kursi yang ada di teras rumah itu.

“Begini, Pak. Saya mau izin. Jadi saya tidak bisa menjadi takmir lagi. Kebetulan saya mau fokus ke skripsi saya,” ucap Agus dengan penuh hati-hati.

Pak Kasdi lantas menatap dalam-dalam Agus. Keningnya berkerut.

“Apa karena tuduhan Sukidi kepadamu?” tanya lelaki bersarung putih polos itu.

“Bu—kan, Pak,” elak Agus, meski jauh dalam lubuk hatinya hal itu juga salah satu alasan meninggalkan jabatan takmir.

“Yang benar? Saya atas nama Sukidi dan warga sini mohon maaf jika ada kesalahan kami baik disengaja atau tidak, ya, Gus. Semoga kamu sukses.”

“ Iya, Pak. Aamiin. Terima kasih banyak. Saya juga mohon maaf atas perlakuan saya selama ini yang tidak berkenan di hati,” ujar Agus sambil menundukkan kepala pelan.

***
Selepas kepergian Agus suasana musala kembali sepi. Anak-anak mulai malas mengaji ke sana kembali. Semua pekerjaan yang biasanya dikerjakan Agus, sekarang beralih kepada Sukidi. Menurut anak-anak sekitar, Sukidi terlalu keras dan galak saat mengajar anak murid. Jadi, tak ada satu pun anak yang menyukainya. Sangat berbeda dengan Agus.

“Mana temanmu?!” tanya Sukidi yang menyadari hanya satu anak yang hendak belajar mengaji kepadanya.

“Pada malas mengaji, Taz. Mereka lagi main ponsel di rumah. Katanya tak ada Ustaz Agus, jadi mereka malas-malasan.”

Mimik Sukidi memerah. Rasa jengkelnya semakin bertambah. Dia tak terima kenyataan Agus yang selalu dipuja-puja oleh anak-anak. Akan tetapi, dia menekan semua rasa itu demi menjaga nama baik di depan anak muridnya.

Anak-anak kini kehilangan idola dan teladan mereka. Orang tuanyalah yang harus bekerja keras lagi untuk mendidik anak-anak sendiri. Kebanyakan orang tua mengeluhkan hal itu kepada Pak RT mereka. Termasuk istri Pak Kasdi sendiri.

Setelah beberapa hari pengusutan kasus pencurian uang di kotak amal musala, polisi berhasil meringkus pelakunya. Beberapa CCTV di persimpangan jalan sebagai bukti. Tak ada seorang pun malam itu yang mengunjungi musala, kecuali seorang berbadan kurus memakai kaus bercorak kotak yang biasanya dipakai oleh Sukidi. Ternyata selama ini Sukidi yang mencuri uang itu. Dia berusaha keras menyingkirkan Agus dari sana dengan cara kotornya.
***
Pekanbaru, 4 Oktober 2021.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan