Harmoni dalam Sinekdoke

3,893 kali dibaca

‘Kampus Elang’ adalah julukan kampus yang kami jadikan jujukan untuk belajar ilmu informatika dan komputer. Demikian juga persahabatan kami. Masing-masing memunyai nama julukan. Julukan disematkan sebagai tanda “penerimaan”, bukan bully atau bahan olokan. Mereka memanggilku “Kaji”, karena aku pernah nyantri di pesantren meski hanya tiga tahun. Yudi yang berambut panjang dipanggil “Gondrong”, Fahmi karena berasal dari Ambon maka dipanggil sama dengan tempatnya berasal, Ambon. Umar yang keturunan Arab, melekat nama “Abud”, sedangkan Erik karena ia China dipanggil “Koko”. Terakhir, Ovan karena perawakannya gendut, kami memanggilnya “Ateng”. Kami ngontrak bareng, setelah perkenalan di awal opspek kampus. Seperti kontrakan “kebhinekaan”; beragam, berbeda suku, ras, dan agama, tetapi tetap satu NKRI. Nasionalis!

“Ji, bantu aku kerjakan tugas aljabar logika ini! Nggak paham tadi,” Gondrong bertanya pada Kaji.

Advertisements

“La sama, aku ya nggak paham. Coba panggil Koko, mungkin bisa bantu,” Kaji menyarankan.

Gondrong segera berteriak, “Ko… Koko! Sini cepat, ke kamar Kaji! One piece terbaru dah keluar episodenya…”

Koko yang fans garis keras anime One Piece cepat menghampiri, “Mana, Ji, mana?”

Kaji cekikikan. “Gondrong ngapusi! Dia nipu kamu, Ko. Ini lo, dia minta bantu kerjakan tugas.”

Gondrong memelas. “Bantu Ko, hanya kamu yang bisa pecahkan poneglyph ini.”

Koko smartest di antara teman sekontrakan. Dia cepat menguasai hal apa pun. Berbeda sekali dengan yang lainnya, keep woles and santuy!

Tiba-tiba ketika kami serius dengan penjelasan Koko, Ateng tergopoh menghampiri kami. “Woi, sebentar sini, aku mau cerita dulu,” dengan napasnya yang tersengal.

“Ada apa, Teng?” tanya Koko.

“Apa-apa ada! Pokoknya ada yang mau tak ceritakan. Mana Abud dan Ambon?”

Lalu Kaji memanggil Abud dan Ambon berkumpun di kamarnya.

“Jadi gini, sekarang kan Ramadan, kemarin aku pergi ke mall untuk beli baju. Ketika asik memilih, eh, ada ibu-ibu menatapku terus. Tiba-tiba…”

“Tiba-tiba gimana, Teng?” tak sabar Abud ingin mendengar kelanjutannya.

“Ibu-ibu tadi lama menatap seperti curiga. Kemudian mendekatiku. Dan bilang, Mas… mana dompetku, kembalikan!”

Koko terkekeh. “Memang tampangmu menarik, Teng.”

“Menarik bagaimana, Ko?”

“Menarik perhatian satpam, ha-ha-ha…,” disambut tawa teman lainnya.

Ateng kecut. “Iya benar juga, karena ibu yang bertanya tadi sambil didampingi satpam. Jadilah aku pusat perhatian, digiring ke pos satpam sambil dilihatin banyak orang.”

Ambon tertawa. “Ha-ha… kapok kamu, Teng! Terus gimana lanjutannya?”

Ateng melanjutkan ceritanya. “Ya aku dibawa ke kantor satpam. Aku digeledah dan jelas nihil. Wong bukan aku pencopetnya. Ibu tadi minta maaf. Tapi aku telanjur marah dan malu.”

“Jika aku di posisimu, tak rekam, sebar, biar viral sekalian”, Gondrong menambahkan.

“Belum selesai sampai di situ. Setelah itu aku ke parkiran, eh, ketemu ibu-ibu tadi dengan suaminya. Ia kembali menemuiku dan meminta maaf. Kali ini tidak hanya maaf, tapi sambil menyodorkan uang seratus ribu, sebagai pangganti rasa malu katanya. Demi harga diri, aku menolak!” Ateng berapi-api.

Fulus segitu kamu tolak. Sok idealis kamu, Teng!” Abud menyela.

Ateng melanjutkan. “Ibu tadi kemudian menawariku lebih. Ia menambahkan menjadi tiga ratus. Aku bergeming. Aku tolak demi harga diri,” Ateng membara.

Koko kaget. “Kamu tolak lagi? Segitu seharusnya sudah bisa bayar listrik, Teng. Benar-benar kamu ya…”

“Ini harga diri Ko! Aku bukan tipe lelaki gampangan. Terus ibu tadi menambahkan lagi dua ratus ribu menjadi lima ratus ribu. Wah… imanku goyah.”

Kaji dan lainnya khusyuk mendengarkan. “Pasti kali ini kamu terima.”

Ateng dengan serius ingin menuntaskan demi melihat kawan-kawannya yang sudah terlarut hanyut dalam alur ceritanya. “Waktu aku mau menerima, tiba-tiba dari arah belakang, ada yang menepuk punggungku, ‘Van… Ovan… Sahur le, sebentar lagi imsak lo,’ ternyata bapakku membangunkanku.”

Berlima kawanan itu terdiam, menyesal telah menghabiskan waktu mendengar cerita ‘mimpi’ itu, kecewa kok mau-maunya terlarut mendengarkan. Ateng tertawa penuh kemenangan melihat temannya berhasil ditipunya.

Begitulah, suasana kontrakan. Ramai, sinekdoke pars pro toto dan totem pro parte. Bagian untuk keseluruhan dan keseluruhan untuk sebagian. Harmoni. One Piece seperti anime favorit Koko.

Tak terasa semester tujuh sudah dilalui. Semester delapan sudah membayangi. Setengah ajuan skripsi di semester tujuh dan yang kedelapan harus sudah maju untuk kompre. Suasana kontrakan sedikit terkurangi keseruannya. Masing-masing sibuk menenggelamkan diri agar cepat selesai.

Tidak hanya kuliah yang diuji, tapi persahabatan berenam ini juga sedang diuji. Kabar dari Koko membuat teman sekontrakan kaget. Koko ingin pindah kontrakan. Karena adiknya juga di Malang dan diminta orang tuanya untuk tinggal satu kontrakan dengan adiknya. Kontrakan kehilangan gairahnya. Koko memang beda. Ia memang China, sering dipandang sebelah mata oleh teman-teman kuliah yang lainnya. Tapi, dengan teman kontrakan ia menemukan harmoni. Tak canggung ia join kopi satu gelas dengan teman lainnya. Jika ada yang mendiskriminasinya, kelima teman kontrakannya siap membelanya. Koko memang China bukan pula seagama, tapi persahabatan karib mematahkan dogma tersebut.

Sudah dua bulan Koko jarang menemui lima karibnya di kontrakan lawasnya. Jika bertemu di kampus pun, Koko sepertinya terburu-buru. Tidak mau lagi berlama, cangkrukan dengan sahabat lamanya.

“Koko melupakan kita. Ia kembali ke habitatnya,” Gondrong memulai obrolannya.

“Maksudmu, Ndrong?” Kaji menyelidik.

“Ia hanya mau berteman dengan golongannya, tidak dengan kita. Lihatlah sikapnya dua bulan ini,” Gondrong menjelaskan.

Abud sedikit menenangkan. “Hush! Jangan berburuk sangka! Mungkin dia sedang sibuk atau melakukan apa yang tidak kita ketahui.”

Ambon menyetujui Abud. “Iya, kita lihat saja dulu. Nanti kalau kita ketemu, kita ajak ngobrol lagi.”

“Aku juga butuh Koko, banyak yang ingin kutanyakan tentang skripsiku. Koko… Koko… lupakah kamu dengan persahabatan kita?” Ateng mendesah. Sesak. Kontrakan memang terasa beda tanpa Koko.

Benar saja. Koko mengirimi undangan lewat WA. Ia mengundang kawan berlima ke kontrakan barunya. Ada jamuan kecil-kecilan katanya. Kaji dan kawan-kawan pergi memenuhi undangan tersebut. Ternyata, sampai ia di sana sudah banyak yang berkumpul. Koko juga mengundang ‘golongannya’. Kami merasa sedikit kikuk. Begitu juga waktu acara makan-makan. Berlima disendirikan, disediakan ruang khusus di dalam. Koko dan ‘golongannya’ makan-makan di halaman. Berlima merasa ditirikan, dipinggirkan. Meski sesekali Koko datang mengobrol, tapi sudah berbeda. Akhirnya, mereka berlima pulang tanpa sepengetahuan Koko. Tanpa pamit. Pulang begitu saja, kembali ke kontrakan.

Mengetahui hal tersebut, Koko kecewa. Ia merasa dilupakan. Segera Koko menyusul ke kontrakan lama untuk menjemput kembali kawan-kawannya.

“Hei, kenapa kalian tanpa pamit langsung pulang?” tanya Koko sesampai di eks-kontrakannya.

“Kamu beda sekarang, Ko! Kami bukan lagi berada dalam levelmu,” Kaji menjawab.

“Maksudmu apa, Ji?” Koko bingung.

“Kamu beda Ko. Pertama kamu tiba-tiba memutuskan mencari kontrakan,” jelas Gondrong.

“Kedua, di jamuan tadi. Kamu seolah tidak mengenal kami. Kami asing di matamu,” Ambon menambahkan.

Giliran Abud berbicara. “Maaf, Ko! Jika ini tentang masalah etnis tidak mengapa. Tapi, kenapa waktu acara makan-makan, kamu menyendirikan dan menempatkan kami di tempat yang berbeda.”

Koko terperanjat. Masalah etnis memang teramat sensitif. Pikirnya, bukankah selama tiga tahun lebih di kontrakan tidak mengubah pandangan teman-temannya. Ia kecewa. “Baik! Aku jelaskan. Adikku terkena traumatis yang dalam. Rumahku di Kupang terkena penjarahan massal. Makanya orang tuaku memintaku untuk menemani adikku agar bisa mengurangi efek traumanya.”

Ateng angkat bicara. “Sudah jangan berdalih, Ko! Di acara tadi kamu jelas seakan tidak peduli. Apalagi ketika acara makan. Kamu bukan Koko yang kami kenal!”

Emosi Koko meledak, “Terserah! Jika kalian tidak percaya. Kalau aku tidak peduli, kenapa aku mengundang kalian. Mereka kerabatku. Aku bolak-balik menemui kalian, menemui kerabatku, menemui kalian lagi. Aku mondar-mandir, kesana-kemari, mencoba akrab dengan semua bisa agar bisa membaur.”

Gondrong yang tersulut berbicara lantang. “Ko! Maksudmu apa menempatkan kami di tempat berbeda. Apa kamu ingin membagi seperti VOC. Kasta satu orang Hindia Eropa. Kasta dua, orang Cina, Arab, dan India. Dan Bumiputera sebagai kasta ketiga. Tega kamu, Ko! Ingat! Kita pernah satu kontrakan. Satu gelas kopi.”

Koko muntap. “O… ternyata kalian dangkal! Aku membedakan tempat, justru karena aku menghormati kalian. Yang disantap di jamuan aku buat beda. Yang di luar itu menu daging yang haram orang Islam makan. Lengkap dengan minumannya juga. Apakah kalian mau? Ha!!”

Kaji dan Ambon mencoba melerai, memahami kekhilafan mereka. Namun, telanjur. Koko pergi dengan kekesalan, kekecewaan, dan kemarahan yang benar-benar.

Kosong. Koko tak pernah menemui lima sahabatnya lagi. Begitu juga sebaliknya. Jika berpapasan, sudah seperti orang asing. Begitu juga antarlima sabahabatnya. Sahabat ‘sinekdoke’ benar-benar diuji. Mereka berlima pun berpisah. Karena kegiatan kampus hanya menyisakan yudisium, mereka kembali ke tempat asal. Menunggu pengumuman wisuda. Koko tetap di Malang menemani adiknya yang belum selesai kuliahnya.

Naas! Kaji dihubungi adiknya Koko setelah mengetahui nomor dari ponsel Koko. “Ini Mas Kaji ya? Ini adiknya Koko.”

Kaji dari seberang gugup menjawab, sepertinya sudah firasat. “Iya, iya, ada apa? Kamu Toni, kan, adiknya Koko?”

“Benar, mas! Jadi gini, Papa tadi pagi kecelakaan di Malang. Sekarang di rawat di Claket. Papa kehilangan banyak darah. Papa perlu transfusi darah. Darah papa tergolong langka. Jadi…,” terdengar Toni terisak.

Kaji semakin gugup. Ia memang pernah bertemu papanya Koko, meski tidak akrab. Kaji jelas membayangkan kepanikan Koko dan adiknya. “Gimana Ton? Aku bisa bantu gimana?”

“Persediaan darah di rumah sakit yang sama dengan golongan papa stoknya terbatas. Ini lagi menghubungi PMI. Tadi, mas Koko ingat, dulu waktu donor bareng mas Kaji, ternyata golongan darahnya mas sama dengan papa. Tapi, Mas Koko sungkan mau menghubungi Mas Kaji. Toni pun nekad menghubungi mas untuk minta bantuan mas…,” bip. Suara handphone mati.

Kaji segera menghubungi lima teman untuk mengabarkan perihal papanya Koko. Kaji segera bersiap. Jarak dari Kediri kurang lebih empat sampai lima jam ke arah Malang. Kaji bergegas. Sesampai di rumah sakit, Kaji menjalankan proses transfusi darah ke papanya Koko.

Tiga hari berselang, papanya Koko sudah siuman. Koko dan keluarganya tenang karena masa kritis terlewati. Kaji, Gondrong, Ambon, Abud, dan Ateng sudah satu hari menginap di lobi. Tetap dalam diam, tapi sesungguhnya peduli. Koko menghampiri mereka berlima yang tengah rebah di teras musola rumah sakit.

“Papa sudah siuman,” Koko mengabarkan

“Alhamdulillah…,” semua memanjatkan syukur.

“Ko, kami minta maaf atas kejadian yang lalu,” berkata Kaji seraya mendekati Koko.

Dengan haru Gondrong juga mendekat, “Aku salah Ko! Aku terlalu emosi waktu itu!”

“Aku juga Ko! Mungkin terlalu cepat menyimpulkan kejadian dulu,” Ambon menegaskan kembali.

“Aku terlalu naif, Ko! Berpikir sempit. Tapi yang jelas, kamu yang dulu, sekarang, dan nanti tetap menjadi sinekdoke bagi kami,” Abud tidak kuasa menahan buliran air yang keluar dari matanya.

Giliran Ateng mendekat. “Ko! Aku juga harus mengakui, bahwa aku juga adalah china.”

Kami sedikit kaget. “China dari mana, Teng? Mbah atau buyutmu?” tanya Koko.

“Bukan, Hp-ku merek china,” jawab Ateng sekenanya. Tawa mereka langsung meledak.

Lalu mereka bersalaman. Persahabatan itu telah kembali. Beda suku, bermacam agama, beraneka ras, tanpa menjadi syaratnya. Menjadi harmoni dalam sinekdoke pars pro toto ataupun totem pro parte. Keseluruhan untuk bagian dan bagian untuk keseluruhan.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan