Edy Mulyadi dan Lain-lainnya

972 kali dibaca

Bahasa itu juga soal rasa. Dan rasa dibangun oleh suasana. Suasana bisa berupa konteks, bisa berupa relasi hal ihwal.

Bagi seorang Edy Mulyadi dan lain-lainnya, ungkapan “tempat jin buang anak” mungkin hal biasa. Sebagai bahan guyonan sambil cengengesan. Tapi bagi orang-orang lain, dalam konteks dan relasi hal ihwal yang berbeda, ungkapan itu bisa berarti penistaan, bisa berarti penghinaan, bisa berarti olok-olok.

Advertisements

Ketika saya memanggil seorang kawan dekat dari Jawa Timur dengan teriakan “Hei, asu…,” itu bisa menjadi ungkapan tanda keakraban. Tapi ketika panggilan yang sama saya tujukan kepada orang asing, itu tandanya saya sedang menabuh genderang perang.

Jangan berlindung di balik peribahasa “lubuk hati siapa tahu”. Dengan konteks dan relasi hal ihwal, isi hati orang masih bisa dibaca, diraba, diterka: bahasamu akan menunjukkan siapa dirimu.

Ungkapan-ungkapan Edy Mulyadi, orang yang selalu disebut-sebut sebagai wartawan senior (saya masih ambigu dengan arti istilah ini: wartawan yang sudah tua atau wartawan profesional dengan jam terbang cukup lama), harus ditempatkan pada konteks dan relasi hal ihwalnya untuk memahami kenapa bisa menimbulkan kegaduhan, juga kemarahan.

Konteks dan relasi hal ihwalnya adalah isu pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Penajam Paser Utara di Kalimantan Timur. Pro-kontra, setuju-tak setuju atas keputusan pemerintah untuk memindahkan ibu kota negara adalah perkara lumrah dalam alam demokrasi. Dan Edy Mulyadi menjadi bagian dari yang kontra. Hal itu sah dan dilindungi konstitusi.

Tapi yang jadi persoalan adalah cara pengungkapan penolakannya. Dari rekaman video yang diunggah di kanal Youtube miliknya pada 18 Januari 2022, masih menyisakan pertanyaan, sebenarnya apa yang ditolak? Pemindahan ibu kota negara atau tempat yang akan dijadikan ibu kota negara? Jika yang pertama yang ditolak, berarti ibu kota negara harus tetap di DKI Jakarta. Jika yang kedua, berarti setuju  ibu kota negara dipindah, tapi jangan di Kalimantan. Mungkin keduanya. Tapi dari situlah masalah bermula.

Demokrasi yang sehat mensyaratkan adanya pertukaran gagasan yang sehat, yang didukung oleh argumentasi-argumentasi yang kuat, yang dibangun berdasarkan pemikiran-pemikiran yang rasional dan faktual. Tapi justru hal itu yang alpa dari pengungkapan penolakan Edy Mulyadi terhadap pemindahan ibu kota negara ke wilayah Kalimantan.

Dari tangkapan layar video yang diunggah di kanal Youtube miliknya pada 18 Januari 2022 itu, kita melihat bagaimana sosok Edy Mulyadi berbicara kepada publik, bak seorang pejabat atau tokoh partai politik sedang menggelar jumpa pers. Ia diapit oleh beberapa orang yang duduk di samping kanan-kirinya, dan barisan orang yang berdiri di belakangnya. Dari sana saya berharap bisa mendengarkan alasan-alasannya menolak pemindahan ibu kota negara berdasarkan kajian ilmiah yang berbasis riset. Dengan begitu, darinya kita bisa memperluas wawasan, memperkaya pengetahuan.

Tapi apa lacur jika kita akhirnya kecele. Sebab, penolakannya terhadap Penajam Paser sebagai ibu kota negara yang baru justru berbasis “sindrom Jakarta sentris”, memandang Indonesia dari dominasi Jakarta, menganggap Indonesia adalah Jakarta. Dengan kacamata “sindrom Jakarta sentris” itu, wilayah-wilayah yang secara geografis semakin jauh dari Tugu Monas dianggap semakin jauh dari kemajuan. Wilayah-wilayah itu dianggap sebagai pinggiran, pedalaman, terbelakang. Semuanya harus ditentukan oleh Jakarta, dipandang dari Jakarta. Padahal, Jakarta hanyalah bagian kecil dari Indonesia. Itulah bias kita selama ini.

Ungkapan-ungkapan seperti “tempat jin buang anak”, “kuntilanak”, “genderuwo”, dan “yang mau tinggal di sana hanya monyet” yang dialamatkan ke Kalimantan, yang menjadi narasi Edy Mulyadi dan lain-lainnya dalam menolak pemindahan ibu kota negara, lahir dari konteks dan relasi hal ihwal sindrom Jakarta sentris itu. Reaksinya, kemarahan publik terutama yang ditunjukkan oleh masyarakat Kalimantan, sesungguhnya adalah antitesa terhadap sindrom Jakarta sentris itu: bukan masanya lagi nasib Indonesia hanya dirumuskan dan diatur dari sudut-sudut Jakarta yang crowded itu. Crowded ruangnya, crowded pikirannya, crowded hatinya.

Kasus ini sesungguhnya bukan melulu tentang Edy Mulyadi dan lain-lainnya yang dianggap menghina masyarakat Kalimantan atau tentang masyarakat Kalimantan yang marah karena merasa terhina. Ini tentang sindrom Jakarta sentris yang masih terus menggejala dalam mengelola bangsa ini dan antitesanya.

Tarik-menariknya masih akan terus berlangsung di ruang-ruang publik kita. Dan dari penggunaan bahasa-bahasa yang dipamerkan di ruang-ruang publik itu, kita akan tahu, dan bisa membaca, siapa yang sedang mengidap sindrom apa.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan