Derita Sang Muazin

1,347 kali dibaca

Hari yang penat mendera pikiran Roni, seorang pemuda yang baru nikah setahun lalu. Ketika telah masuk waktu dhuhur, dia bergegas pulang dari ladang untuk kemudian bersih-bersih diri dan azan di musala tidak jauh dari rumahnya.

Keistiqomahan pemuda tiga puluh dua tahun itu dalam menjalani rutinitas ibadah membuat banyak orang kagum. Salah satunya adalah Mbah Bejan.

Advertisements

“Tirulah Roni itu, walau usia pernikahan baru seumur jagung, masa indah berkeluarga masih menyala, dan masalah belum terasa, tapi tak membuat sandarannya pada Yang Kuasa tergoyahkan. Salat jamaahnya tak pernah telat,” kata Mbah Bejan pada Eriawan.

Penjual roti goreng itu mengiyakan ucapan Mbah Bejan sembari meladeni pembeli dagangannya yang semakin banyak tatkala mendengar suara azan Roni yang memprihatinkan.

Mbah Bejan berlalu begitu saja di depan kios roti goreng Eriawan, berjalan tertatih menuju musala untuk jamaah dhuhur. Eriawan memandang langkah orang tua itu dengan pikiran yang berisik.

Ucapan orang tua itu memang betul, dia salat jamaahnya teratur karena sudah uzur, sudah dekat dengan alam kubur. Kalau Roni? Masih muda, baru menikah, pekerjaannya sebagai buruh cangkul pasti berat dan melelahkan, tapi ibadahnya tetap kencang. Pokoknya, Eriawan salut sama dia. Lantas penjual roti goreng itu bertekat akan memberi roti gorengnya pada Roni usai salat nanti.

Benar saja angan-angan Eriawan. Dia menghentikan langkah Roni yang tampak lesu sepulangnya dari musala.

“Mampir Cak Ron!” teriak Eriawan.

“Ada apa Mas Eri?” sahut Roni.

“Sinilah dulu!”

Akhirnya Roni mendekat ke kios kecil yang mulai lengang itu.

“Ada apa Mas Er?” tanya Roni lagi.

“Begini lho Cak. Usahaku ini kan terhitung masih baru. Nah, maksud saya manggil Cak Roni tadi mau ngasih roti goreng. Biar usaha saya ini dapat barokahnya orang yang rajin ke musala. Biar saya kecipratan pahala,” ucap Eriawan dengan nada cerianya.

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

2 Replies to “Derita Sang Muazin”

Tinggalkan Balasan