Derita Sang Muazin

1,356 kali dibaca

Hari yang penat mendera pikiran Roni, seorang pemuda yang baru nikah setahun lalu. Ketika telah masuk waktu dhuhur, dia bergegas pulang dari ladang untuk kemudian bersih-bersih diri dan azan di musala tidak jauh dari rumahnya.

Keistiqomahan pemuda tiga puluh dua tahun itu dalam menjalani rutinitas ibadah membuat banyak orang kagum. Salah satunya adalah Mbah Bejan.

Advertisements

“Tirulah Roni itu, walau usia pernikahan baru seumur jagung, masa indah berkeluarga masih menyala, dan masalah belum terasa, tapi tak membuat sandarannya pada Yang Kuasa tergoyahkan. Salat jamaahnya tak pernah telat,” kata Mbah Bejan pada Eriawan.

Penjual roti goreng itu mengiyakan ucapan Mbah Bejan sembari meladeni pembeli dagangannya yang semakin banyak tatkala mendengar suara azan Roni yang memprihatinkan.

Mbah Bejan berlalu begitu saja di depan kios roti goreng Eriawan, berjalan tertatih menuju musala untuk jamaah dhuhur. Eriawan memandang langkah orang tua itu dengan pikiran yang berisik.

Ucapan orang tua itu memang betul, dia salat jamaahnya teratur karena sudah uzur, sudah dekat dengan alam kubur. Kalau Roni? Masih muda, baru menikah, pekerjaannya sebagai buruh cangkul pasti berat dan melelahkan, tapi ibadahnya tetap kencang. Pokoknya, Eriawan salut sama dia. Lantas penjual roti goreng itu bertekat akan memberi roti gorengnya pada Roni usai salat nanti.

Benar saja angan-angan Eriawan. Dia menghentikan langkah Roni yang tampak lesu sepulangnya dari musala.

“Mampir Cak Ron!” teriak Eriawan.

“Ada apa Mas Eri?” sahut Roni.

“Sinilah dulu!”

Akhirnya Roni mendekat ke kios kecil yang mulai lengang itu.

“Ada apa Mas Er?” tanya Roni lagi.

“Begini lho Cak. Usahaku ini kan terhitung masih baru. Nah, maksud saya manggil Cak Roni tadi mau ngasih roti goreng. Biar usaha saya ini dapat barokahnya orang yang rajin ke musala. Biar saya kecipratan pahala,” ucap Eriawan dengan nada cerianya.

“Bisa-bisa aja sampean Mas.” Roni tampak canggung dengan pujian itu namun senyumnya menunjukkan rasa bangga.

“Tak boleh nolak. Makan di sini aja ya Cak rotinya, sambil ngobrol,” ucap Eriawan sembari menyuguhkan roti goreng. Kebetulan perut Roni sedang lapar. Sebentar kemudian ia lahap sekali makan roti itu.

“Aku paling tak bisa menolak seseorang yang berniat mencari pahala sedakah,” gumam Roni lirih.

“Subhanallah! Mulia sekali!” ucap Eriawan.

“Eh, kenapa istrinya tak pernah diajak jamaah di musala Cak?” penjual roti goreng itu memulai interogasi.

“Kanjeng Nabi menyunnahkan para perempuan salat di rumah dan para lelaki salat di masjid,” jawab Roni mantab.

Subhanallah! Syar’i sekali,” pekik Eriawan kemudian.

“Terus Cak. Sampean kan kerjaannya berat, buruh cangkul, kadang jadi penggali sumur, kadang penggali kubur. Tapi salat jamaahnya tak pernah telat. Bahkan menjadi muazin permanen. Boleh berbagi resep agar saya juga bisa niru sampean, Cak?”

Roni terdiam lama. Mulutnya yang mengunyah pun berhenti. Eriawan tak berkedip memandang tingkah aktivis musala itu. Dan penjual roti goreng itu semakin terheran-heran melihat dari bola mata pemuda saleh itu menitikkan air mata.

“Perlu sampean tahu Mas Eri. Hidup saya ini semenjak kecil selalu akrab dengan masalah. Terlahir sebagai anak yatim. Di sekolah sering diolok-olok teman karena nyambi jualan donat. Di kelas sering dimarahi guru karena otak saya seolah macet untuk memahami pelajaran. Kata orang, saya ini bodoh. Habis itu cari kerja susah karena ijazah rendah. Mondok tak betah karena tak ada yang membiayai. Lalu hendak nikah lama tak laku-laku karena wajah kurang menjanjikan. Sekarang dapat istri ya gitu. Nggak berani bawa keluar karena malu-maluin, gigi keluar semua. Nah, kalau saya tidak rajin ibadah, kapan semua penderitaan ini akan berakhir jika nanti saya masuk neraka?”

Eriawan tertegun, terharu mendengar jawaban Cak Roni yang kini tiba-tiba tampak begitu dendam dengan seluruh penderitaan-penderitaannya.

Multi-Page

2 Replies to “Derita Sang Muazin”

Tinggalkan Balasan