Cinta Istiqomah

3,131 kali dibaca

Semburat senyum Zana mengembang indah di bibirnya yang berlesung pipit. Menyapa mentari pagi yang masih belum tinggi menampakkan dirinya. Zana bersiap dan bergegas untuk berangkat ke sekolah. Dia duduk di bangku kelas 3 MAN. Zana termasuk siswi yang populer di sekolahnya karena kepandaian dan prestasinya.

Zana merupakan anak dari seorang pemuka agama dan pemilik pondok pesantren terbesar di Kota Batu. Perilakunya yang sopan dan ramah serta parasnya yang cantik membuat banyak laki-laki dan teman sekelasnya menaruh hati padanya. Namun Zana hanya bersikap biasa saja kepada mereka layaknya teman biasa.

Advertisements

Namun, salah satu dari mereka ada yang menarik hati Zana. Lelaki itu adalah Akbar. Dan kini mereka sudah menjalin hubungan selama hampir dua tahun —meskipun, Zana belum ingin berpacaran dan memang belum waktunya. Banyak yang bicara kalau Zana dan Akbar adalah pasangan yang serasi. Mereka juga sering mengikuti lomba bersama. Dari sanalah benih-benih cinta mulai tumbuh dalam hati mereka.

“Zana!” seru Akbar dari belakang Zana.

“Hay, Bar, ada apa?” jawab Zana sembari membalikkan badan.

“This is for you!” ucap Akbar sambil memberikan sebiji permen warna merah kepada Zana.

“Apaan nih?”  tanya Zana ketika menerima permen tersebut.

“Kamu baca tulisannya dong!” jawab Akbar memberi intruksi kepada Zana.

Dan Zana tersenyum manis ketika membaca tulisan “Smile for Me!” yang berada di belakang kemasan permen tersebut.

“Nah, gitu kan tambah cantik,” ucap Akbar menanggapi senyuman Zana.

“Sok so sweet kamu,” jawab zana singkat.

“Emang aku so sweet!” jawab Akbar tak mau kalah.

Akbar adalah anak dari seorang pengusaha sukses. Ayahnya menjabat sebagai direktur di sana. Dan sampai sejauh ini, kedua orang tua Zana dan Akbar belum mengetahui sedikit pun tentang hubungan mereka, dan ini memang dirahasiakan. Mereka akan mengungkapkannya jika waktunya telah tiba.

***

Ujian Nasional telah terlewati. Dan kini saatnya menentukan tujuan selanjutnya untuk meraih cita-cita. Zana mengambil fakultas Sastra Arab di Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir. Sedangkan, Akbar harus ke Eropa untuk meraih cita-citanya menjadi seorang arsitek. Dengan begitu, kebersamaan mereka harus diakhiri sampai di sini.

“Kapan kamu berangkat ke Eropa?” tanya Zana kepada Akbar ketika mereka sedang duduk bersama di sebuah bangku taman.

“Dua hari lagi, Za. Sebenarnya aku nggak mau berangkat dulu karena aku belum ingin pisah sama kamu. Tapi aku harus berangkat karena pembelajaran akan segera dimulai,” jawab Akbar panjang lebar menjelaskan. Zana hanya terdiam mendengar jawaban Akbar.

“Kamu kenapa, Za?” tanya Akbar yang bingung melihat Zana hanya diam membisu.

“Oh ya, aku minta sama kamu, Za,” ucap Akbar dengan sedikit terbata-bata. “Za. Kamu janji ya. Aku pengen kamu tetap menjaga hati untuk aku!” ucap Akbar melanjutkan ucapannya.

“Insyaallah, Bar. Aku akan tetap istiqomah sama kamu. Kamu juga akan istiqomah buat aku kan?” jawab Zana kembali bertanya.

“Pasti, Za. Itu pasti.  Aku akan jaga hati cuma buat kamu. Ini janji aku ke kamu. Satu lagi, kamu harus janji kalau nanti kita sudah wisuda dan kembali ke Indonesia, kita langsung ke taman ini, ya! Setelah itu aku akan bawa kedua orangtuaku ke rumah kamu,” jawab Akbar.

“Ngapain kamu ke rumah aku?” tanya Zana terkejut. “Mau ngapain lagi, kalau bukan ngelamar kamu?” jawab Akbar kembali bertanya. Senyuman di bibir Zana cukup mewakili perasaannya saat itu. Perlahan titik-titik air mata mulai meleleh dari dalam kelopak matanya. Akbar ikut tersenyum bahagia melihat kebahagiaan Zana.

“Ini hanya secuil kebahagiaan dariku Za. Aku janji akan kasih kebahagiaan yang lebih besar lagi buat kamu,” ucap Akbar yang kembali membuat bibir Zana mengembangkan senyum manisnya.

“Aku akan menunggu ucapan kamu menjadi nyata, Bar,” Jawab Zana singkat.

Itu adalah secuil rencana untuk masa depan mereka. Namun kehendak Tuhan, siapa yang tahu?

***

Akhirnya mereka pun berpisah dan hanya bisa berkomunikasi jarak jauh, tanpa pernah bertemu. Bertahun-tahun sudah, mereka melewati hidup dengan tegar dan sabar. Mereka akhirnya selesai kuliah, dan diwisuda dengan IPK yang memuaskan dan membuat kedua orangtua mereka bangga. Kedua orangtua mereka pun dengan senang hati dan diliputi rasa bahagia menghadiri acara wisuda keduanya di tempat masing-masing.

“Selamat ya, Bar. Bunda bangga sama kamu,” ucap ibunda Akbar sembari memeluk Akbar.

“Makasih, Bun,” jawab Akbar dengan senyum bahagia. “Emm, Akbar! Ayah sama bunda mau bicara sama kamu,” ucap ayah Akbar dalam perjalanan menuju hotel yang ditempati kedua orangtuanya.

“Silakan Ayah, Bunda!” sahut Akbar pada keduanya.

“Bar, kamu kan sudah lulus S1 sekarang. Itu artinya kamu sudah besar dan beranjak dewasa. Ayah sama bunda sudah mencarikan seorang gadis untuk kamu. Dan kedua belah pihak sepakat untuk menjodohkan kalian,” ucap ayah Akbar yang membuat hatinya tersentak seketika.

“Iya Bar, kamu jangan khawatir. Anaknya cantik dan baik. Sopan lagi,” tambah bunda Akbar yang membuat hatinya semakin hancur. Seketika itu lamunannya langsung menuju kepada Zana yang selama ini telah ia perjuangkan hati, cinta, dan nafsunya hanya untuk Zana.

“Tapi… tapi, Yah, Bun! Aku udah ada calon sendiri!” ucap Akbar mencoba membantah.

“Nggak bisa Bar, kita udah sepakat sama pihak calon kamu. Dan kita nggak bisa membatalkan perjodohan begitu saja,” timpal Bunda Akbar.

“Tapi, Bun…!” bantah Akbar.

“Nggak ada tapi-tapian, nanti saat kita sudah kembali ke Indonesia Bunda akan mempertemukan kalian!” tegas bunda Akbar yang membuatnya terdiam membisu. Dia sudah tidak berani membantah kedua orangtuanya lagi, karena Akbar sangat menghormati keduanya. Sedari kecil, Akbar selalu menuruti perintah dan keinginan kedua orangtuanya. Dan kali ini, mau tidak mau dia harus menuruti permintaan mereka meskipun harus mengorbankan perasaannya. Dan Akbar pun hanya bisa pasrah dalam dilema ini.

***

“Assalamu’alaikum, Zana,” seru Akbar ketika mereka tengah bertemu di taman tempat mereka mengikrar janji empat tahun yang lalu. Zana membalikkan badannya dan menjawab “Wa’alaikumussalam.”

Akbar tersenyum ketika melihat wajah cantik Zana yang dari dulu tidak berubah. Hanya wajah cantiknya kini tertutup oleh cadar dan dia tampak mengenakan sarung tangan yang membuatnya semakin terlihat tertutup.

“Subhanallah…! Bagaimana bisa mata ini memalingkan pandangan dari makhluk seindah dirimu, Zana?” ucap Akbar seakan lega hatinya ketika melihat bidadarinya tetap seindah yang dahulu, bahkan bertambah keindahannya.

“Tapi kenapa mata kamu terlihat lebam?” tanya Akbar yang melihat mata Zana tampak merah dan bengkak.

“Akbar! Maafkan aku, tapi aku harus mengatakan ini,” jawab Zana lirih dan suaranya tampak bergetar.

“Katakanlah, Zana!” pinta Akbar seakan segera ingin mendengar ucapan apa yang keluar dari mulut Zana.

“Abi dan Umi sudah mencarikan jodoh untukku, dan aku tidak bisa berbuat apa-apa selain menurutinya. Karena aku tidak mau jadi anak durhaka, Bar!” jelas Zana dengan air mata yang terus mengalir dari kelopak matanya.

“Allahu Akbar…!! Kenapa nasib kita sama, Za? Namun Allah tidak menakdirkan kita untuk bersama,” jawab Akbar dengan hati yang begitu hancur berkeping-keping.

“Maksud kamu apa, Bar?” tanya Zana dengan suara bergetar.

“Ayah dan Bunda juga sudah mencarikan jodoh untukku, Zana!” jawab Akbar menjelaskan.

“Lalu apa yang harus kita lakukan, Bar? Aku nggak mau durhaka!”

“Sempat terlintas di benakku untuk melawan takdir, tapi untuk apa kalau memang akhirnya kita dipisahkan?” jawab Akbar.

“Mungkin kita memang nggak jodoh, Bar. Karena itu Allah memisahkan kita sampai di sini,” jawab Zana mencoba menguatkan hatinya.

“Jadi, istiqomah kita selama ini sia-sia, Za?” tanya Akbar dengan nada agak tinggi.

“Bukan sia-sia, Bar. Tapi mungkin inilah jalan Allah untuk kita,” jawab Zana dengan air mata yang masih terus mengalir dan sesekali terisak.

“Tapi aku nggak mau pisah sama kamu, Za. Sudah cukup aku menahan rindu karena pisah sama kamu selama empat tahun dengan harapan setelah masa sulit itu kita akan kembali bersama untuk selamanya. Namun setelah kembali apa yang aku dapat? Aku harus merelakan kamu hidup sama orang lain dan itu untuk selamanya!” ucap Akbar panjang lebar dengan titik-titik air yang mulai membanjiri matanya.

Zana hanya terdiam dengan tangisannya yang semakin menjadi. Dia tak menjawab sepatah kata pun. Baginya ucapan Akbar tadi sudah cukup dalam menyakiti hatinya.

“Baiklah. Berarti, kita harus berpisah sampai di sini. Dan setelah itu kita harus menemui calon kita masing-masing. Itu kan mau kamu, Za?” tanya Akbar yang membuat hati Zana semakin sesak mendengarnya.

“Bukan begitu, Bar. Maksud aku…” jawaban Zana terhenti dengan ucapan Akbar… “Sudah, sekarang aku harus pulang dan bersiap untuk menemui calonku. Kamu juga harus pulang, kan? Menanti kedatangan jodohmu!” kemudian Akbar beranjak pergi meninggalkan Zana tanpa pamit dan tanpa sepatah kata pun.

“Akbar!” teriak Zana ingin menghentikan langkah Akbar. Namun Akbar tidak menghiraukannya. Zana hanya diam memandang langkah kaki Akbar yang semakin lama semakin menjauh darinya.

***

Suara lembut kicauan burung bersama mengembangnya senyuman cerah sang mentari menyambut alam semesta pagi ini. Langit tampak cerah berwarna biru, namun tidak dengan Akbar. Hatinya terselimuti oleh kabut kesedihan dan kehancuran yang mendalam.

Dan hari ini dia akan berangkat untuk menemui jodohnya. Hatinya masih terasa berkecamuk, namun dia harus tetap berangkat. Akbar mencoba menata hatinya kembali, mencoba melupakan Zana dan menatap masa depannya dengan gadis yang tentu menjadi jodohnya itu. Namun, sepanjang perjalanan hanya bayang-bayang wajah Zana yang menghiasi pikirannya.

***

Zana menuju ruang tamu dan mendapati tiga orang yang tidak dia kenal. Zana tidak ingin melihat sang calon suami. Begitupun dengan jodohnya, dia tak sedikit pun memandang Zana, bahkan melirik pun tidak. Zana hanya tertunduk dan diam membisu.

“Zana, dialah calon suamimu! Namanya Farel,” ucap ayah Zana membuka percakapan. Kemudian Zana mulai memandang sang jodoh yang bernama Farel. Begitu juga dengan Farel, dan kini mereka saling berpandangan.

“Astaghfirullah…! kenapa Akbar ada di sini?” tanya Zana dalam hatinya. Begitupun dengan Farel, dia bertanya-tanya siapakah wanita yang ada di balik cadar itu? “Siapa sih tuh cewek, kayak kenal sama matanya. Mata yang di dalamnya ada kedamaian di masa depanku. Mata yang hanya dengan memandangnya saja akan meruntuhkan hati yang kokoh ini!” ucap Farel dalam hati.

“Sekarang, dengan disaksikan oleh kedua belah pihak. Maka, Muhammad Farrel Akbar dan Zaizatus Zana Nur Hafiza telah resmi dijodohkan. Maka kamu, Farel, berhak untuk melihat raut wajah putriku ini,” ucapan ayah Zana kepada Farrel seakan menyentak hati mereka, nama lengkap yang disebutkannya membuat hati Akbar deg-degan seketika itu.

“Anakku, sekarang bukalah cadarmu supaya calon suamimu dapat melihat raut wajahmu!” perintah ayah Zana kepada putrinya.

Kemudian, perlahan Zana membuka cadarnya. Dan sungguh, senyum manisnya menyambut Akbar hari itu. Seakan disambar beribu kilat, hatinya mendadak membeku ketika melihat raut wajah yang amat ia kenali dan ia harap akan menjadi pendampingnya kelak. Dan kini, dia sedang berada di depannya.

“Zana?” seru Akbar tertegun.

“Iya Bar, ternyata kamu yang selama ini aku nanti, yang aku tangisi, yang aku sesali karena kamu telah merenggut Akbarku. Dan ternyata kamu juga Farrel!” jawab Zana.

“Kalian sudah saling mengenal?” tanya Bunda Akbar yang ternyata bernama Farrel di mata ayah Zana.

“Iya, Bun. Yang Akbar maksud calon itu Zana. Sebenarnya kita sudah berhubungan sejak SMA. Dan kita sama-sama kecewa ketika mendengar kalian telah mencarikan jodoh untuk kita. Tapi ternyata Allah punya jalan lain untuk menyatukan kita lagi. Dan jalan itu lebih indah dari jalan yang kita rencanakan, Zana,” jelas Akbar panjang lebar sambil memandang Zana yang juga sedang tersenyum bahagia.

“Jadi, istiqomah kita nggak sia-sia, Bar. Allah memang Maha Adil,” jawab Zana.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan