Ambigu Relasi Agama-Negara dan Implikasinya

1,054 kali dibaca

Saya adalah produk suatu zaman di mana ilmu telah terpolarisasi sedemikian hitam putih: ilmu agama, ilmu umum; sekolah agama, sekolah umum.

Maka, seperti tak ada pilihan lain, oleh orangtua, saya dikirim dari madrasah ke madrasah, dari pesantren ke pesantren —meskipun dijeda oleh pemberontakan kecil. “Belajar ilmu agama itu kuncinya surga,” begitu kira-kira orangtua saya bernasihat. Orangtua menginginkan keturunannya menjadi anak saleh, dan kalau “di-profiling” akan serupa dengan orang yang pinter ngaji, bekerja sebagai guru agama atau kiai atau pendakwah atau ulama. Maka, ketika kelak saya justru menjadi wartawan, yang tersisa hanya gelengan kepala.

Advertisements

Tentu saja banyak keluarga muslim yang berpikiran seperti itu: melahirkan keturunan sebagai anak-anak saleh, pinter ngaji, dan mengabdikan hidup dalam lingkup keagamaan dengan menjadi guru ngaji, menjadi guru agama, menjadi dai, menjadi ulama. Karena itu, anak-anak dikirim ke madrasah-madrasah atau pesantren-pesantren untuk menuntut ilmu agama —tidak ilmu yang lain.

Orangtua saya, mungkin juga dirasakan keluarga-keluarga muslim lain, tak pernah membayangkan untuk mengirimkan anak-anaknya ke sekolah non-agama, sekolah-sekolah umum dan perguruan tinggi umum dengan berbagai ragam disiplin dan spesialisasi bidang keilmuan. Setidaknya hal itu tidak menjadi opsi pertama. Itu jauh dari urusan agama. Jauh dari urusan surga. Biarlah orang lain yang mengisi dan menguasai sekolah-sekolah umum itu, perguruan-perguruan tinggi umum itu.

Maka apa yang terjadi? Yang banyak menjadi dokter orang lain, yang banyak menjadi akuntan orang lain, yang banyak menjadi bankir orang lain, yang banyak menggeluti dunia teknologi informasi orang lain, yang membuat produk-produk teknologi canggih orang lain, yang bisa membuktikan kekuasaan dan keagungan Tuhan secara empiris orang lain. Pendek kata, yang menguasai dunia biarlah orang lain. Tugas kita adalah “menguasai akhirat”.

Begitulah ketika ilmu telah terpolarisasi sedemikian hitam putih: ilmu agama, ilmu umum; sekolah agama, sekolah umum. Kita didorong untuk tenggelam lebih dalam di ilmu agama, dan menafikan apa yang disebut ilmu umum.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan