Ambigu Relasi Agama-Negara dan Implikasinya

1,069 kali dibaca

Saya adalah produk suatu zaman di mana ilmu telah terpolarisasi sedemikian hitam putih: ilmu agama, ilmu umum; sekolah agama, sekolah umum.

Maka, seperti tak ada pilihan lain, oleh orangtua, saya dikirim dari madrasah ke madrasah, dari pesantren ke pesantren —meskipun dijeda oleh pemberontakan kecil. “Belajar ilmu agama itu kuncinya surga,” begitu kira-kira orangtua saya bernasihat. Orangtua menginginkan keturunannya menjadi anak saleh, dan kalau “di-profiling” akan serupa dengan orang yang pinter ngaji, bekerja sebagai guru agama atau kiai atau pendakwah atau ulama. Maka, ketika kelak saya justru menjadi wartawan, yang tersisa hanya gelengan kepala.

Advertisements

Tentu saja banyak keluarga muslim yang berpikiran seperti itu: melahirkan keturunan sebagai anak-anak saleh, pinter ngaji, dan mengabdikan hidup dalam lingkup keagamaan dengan menjadi guru ngaji, menjadi guru agama, menjadi dai, menjadi ulama. Karena itu, anak-anak dikirim ke madrasah-madrasah atau pesantren-pesantren untuk menuntut ilmu agama —tidak ilmu yang lain.

Orangtua saya, mungkin juga dirasakan keluarga-keluarga muslim lain, tak pernah membayangkan untuk mengirimkan anak-anaknya ke sekolah non-agama, sekolah-sekolah umum dan perguruan tinggi umum dengan berbagai ragam disiplin dan spesialisasi bidang keilmuan. Setidaknya hal itu tidak menjadi opsi pertama. Itu jauh dari urusan agama. Jauh dari urusan surga. Biarlah orang lain yang mengisi dan menguasai sekolah-sekolah umum itu, perguruan-perguruan tinggi umum itu.

Maka apa yang terjadi? Yang banyak menjadi dokter orang lain, yang banyak menjadi akuntan orang lain, yang banyak menjadi bankir orang lain, yang banyak menggeluti dunia teknologi informasi orang lain, yang membuat produk-produk teknologi canggih orang lain, yang bisa membuktikan kekuasaan dan keagungan Tuhan secara empiris orang lain. Pendek kata, yang menguasai dunia biarlah orang lain. Tugas kita adalah “menguasai akhirat”.

Begitulah ketika ilmu telah terpolarisasi sedemikian hitam putih: ilmu agama, ilmu umum; sekolah agama, sekolah umum. Kita didorong untuk tenggelam lebih dalam di ilmu agama, dan menafikan apa yang disebut ilmu umum.

Inilah yang pernah dikeluhkan Mahathir Mohamad ketika masih menjadi Perdana Menteri Malaysia. Siswa sekolah-sekolah negeri di negeri jiran tersebut dianggap tidak kompetitif di kancah global lantaran terlalu dibebani dengan mata pelajaran agama. Ia menginginkan volume pelajaran agama di sekolah-sekolah negeri dikurangi agar lahir generasi profesional yang mampu bersaing di tingkat global.

Bahkan yang terjadi di India lebih jauh lagi. Pada awal 2021, India telah mengesahkan undang-undang yang akan menghapus madrasah-madrasah atau sekolah-sekolah agama Islam yang didanai oleh negara. Madrasah-madrasah negeri yang ada di wilayah mayoritas muslim tersebut akan diubah menjadi sekolah umum. Alasannya, ke depan, India akan membutuhkan lebih banyak dokter, akuntan, birokrat, polisi, atau profesi-profesi modern lainnya dari komunitas muslim ketimbang pengurus masjid atau guru ngaji.

Tentu saja ada kelompok yang mencurigai kebijakan India tersebut sebagai strategi untuk meminggirkan bahkan menghapuskan masyarakat muslim di masa depan dengan mengubah madarasah negeri menjadi sekolah umum. Tapi begitulah ketika ilmu telah terpolarisasi sedemikian hitam putih: ilmu agama, ilmu umum; sekolah agama, sekolah umum. Terbangun suatu praanggapan bahwa dengan sekolah umum berarti meninggalkan dan menanggalkan agama.

Benarkah?

Relasi Agama-Negara di 49 Negara Muslim

Islam sebagai Agama Resmi NegaraEksplisit/Implisit sebagai Negara SekulerSyariah sebagai Salah Satu/Satu-satunya Sumber Konstitusi
1. Aljazair

2. Bangladesh

3. Djibouti

4. Komoro

5. Malaysia

6. Maroko

7. Tunisia

8. Yordania

1. Azerbaijan

2. Burkina Faso

3. Chad

4. Gambia

5. Guinea

6. Guinea-Bissau

7. Kazakhstan

8. Kosovo

9. Kyrgyz

10. Mali

11. Senegal

12. Tajikistan

13. Turki

14. Turkmenistan

15. Albania

16. Eritera

17. Indonesia

18. Lebanon

19. Niger

20. Nigeria

21. Sierra Leone

22. Uzbekistan

1. Afghanistan

2. Arab Saudi

3. Bahrain

4. Brunei

5. Irak

6. Iran

7. Kuwait

8. Libya

9. Maladewa

10. Mauritania

11. Mesir

12. Oman

13. Pakistan

14. Qatar

15. Somalia

16. Suriah

Teori Kuru

Saya hendak melihat fenomena ini, termasuk yang terjadi di Indonesia, dari sudut pandang teori yang dibangun Ahmet T Kuru. Belum lama ini, saya menulis tentang buku Kuru yang berjudul Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan. Diberi anak judul “Perbandingan Lintas Zaman dan Kawasan di Dunia Muslim”, buku dengan judul asli Islam, Authoritarianism, and Underdevelopment: A Global and Historical Comparison ini memang menelisik sebab-sebab kemunduran dan ketertinggalan peradaban dunia muslim di bidang ilmu pengetahuan, ekonomi, dan politik di era modern ini.

Kuru memberi batasan bahwa yang dimaksud dengan dunia muslim adalah wilayah atau negara-negara yang mayoritas populasi penduduknya adalah pemeluk Islam. Saat ini, terdapat 49 negara yang masuk kategori negara yang mayoritas penduduknya adalah muslim, lalu memperoleh sebutan sebagai negara-negara Islam dan itulah kemudian yang dirujuk sebagai dunia muslim.

Dalam studi komparasi historisnya, Ahmet T Kuru melakukan perbandingan antar-negara Islam dan dunia muslim dengan Barat, dalam hal ini Eropa Barat (Kristen), dalam setiap babakan sejarahnya.

Secara umum, ada tiga babakan sejarah yang bisa dijadikan tumpuan dalam analisis Kuru. Pertama adalah kemajuan peradaban dunia muslim yang terjadi sekitar abad ke-8 hingga abad ke-11. Saat itu, Barat masih terbelakang dan tertinggal. Kedua adalah masa kesetaraan kemajuan dunia muslim dan Barat yang terjadi sekitar abad ke-11 hingga abad ke-16. Ketiga adalah kemajuan Barat dan kemunduran serta ketertinggalan dunia muslim, yang terjadi mulai abad ke-16 hingga sekarang.

Pada babakan pertama, awal sejarah dunia muslim, tak ada pemisahan atau polarisasi antara ilmu agama dengan ilmu umum, antara sekolah agama dengan sekolah umum. Sarjana-sarjana Islam di dunia muslim dengan tekun dan gairah tinggi mendalami semua disiplin keilmuan, mulai dari filsafat, teologi, kedokteran, teknik, fikih, sastra, linguistik, dan lain sebagainya. Saat itu, di Barat, yang datang bukan dari al-Kitab masih dianggap bidah dan sesat.

Pada babakan kedua, ketika mulai terjadi persaingan pengaruh politik di internal dunia muslim, gerak bebas para sarjana muslim mulai dikendalikan oleh para penguasa. Para penguasa kemudian bersekutu dengan para tokoh agama (Islamis). Tujuannya adalah agar para ulama memberikan legitimasi kuasa politik para penguasa. Puncaknya terjadi di zaman Kesultanan Seljuk, sekitar abad ke-11. Saat itulah mulai marak didirikan madrasah-madrasah yang dimotori oleh Nizam al Mulk yang dikenal dengan Madrasah Nizamiyah. Saat itu, dimulailah era di mana masyarakat muslim digiring untuk hanya mempelajari ilmu yang kelak disebut sebagai ilmu agama —yang kemudian tereduksi hanya menyangkut persoalan fikih syariah.

Akibatnya, meskipun hingga abad ke-16 masih lahir beberapa sarjana muslim terkemuka, namun sejak abad ke-11 itu telah terjadi penurunan gairah intelektual di dunia muslim. Sebaliknya, di saat yang sama, Barat mulai bisa menerima apa yang datang bukan dari al-Kitab, dan belajar dari kemajuan dunia muslim. Babak akhirnya sudah ditebak, Barat semakin maju, dan dunia muslim mengalami kemunduran dan tertinggal hingga kini. Barat maju justru karena mengambil apa yang telah ditinggalkan dunia muslim.

Agama Versus Negara

Persilangan relasi antara agama dengan negara, ilmu/sekolah agama dengan ilmu/sekolah umum terbawa-bawa hingga kini di dunia muslim atau negara-negara Islam, termasuk di Indonesia. Seperti terlihat dalam tabel, saat ini ada 49 negara Islam di dunia. Dari jumlah tersebut, ada 8 negara yang secara resmi menyatakan diri sebagai negara Islam, 16 negara yang menjadikan syariah (al-Quran dan Hadits) sebagai salah satu atau satu-satunya sumber konstitusi atau perundang-undangan, dan 22 negara baik secara eksplisit maupun implisit tercatat sebagai negara sekuler atau bukan negara-agama.

Tentu saja, dengan berbagai tingkatan yang berbeda, derajat polarisasi ilmu/sekolah agama dan ilmu/sekolah umum akan cenderung mengikuti dasar dan bentuk relasi agama-negara di negara-negara muslim tersebut. Semakin kuat persekutuan relasi agama-negara, berdasarkan tesis Kuru, tentu polarisasi ilmu agama-ilmu umum semakin tajam — dan ilmu/sekolah agama diposisikan pada derajat yang lebih tinggi.

Tren ini juga terasa di Indonesia, seperti yang saya gambarkan dalam awal tulisan ini. Memang masih perlu dilakukan riset mendalam, namun terasa bahwa di banyak daerah, pertumbuhan sekolah agama atau sekolah-sekolah berbasis agama jauh lebih tinggi dibandingkan dengan sekolah-sekolah umum. Formalisme agama tumbuh di mana-mana.

Jika struktur relasi ini tidak diubah, berdasarkan studi komparasi historisnya, Kuru yakin dunia muslim tidak akan mampu bangkit untuk mengejar ketertinggalannya. Implisit ia merekomendasikan, gairah intelektual dalam berbagai disiplin keilmuan di dunia muslim harus dibangkitkan lagi sehingg akan lahir generasi muslim yang kompetitif seperti pada masa awal perkembangan Islam.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan