Cahaya di Mata Si Buta

2,688 kali dibaca

Husen adalah anak semata wayang Ustadz Sulaiman, seorang qori asal desa Mentaraman. Suara emas ustadz itu diwariskan sepenuhnya pada Husen, bahkan orang bilang bakatnya melebihi ayahnya itu. Sejak usia sepuluh tahun dia sudah mendapat undangan mengisi qiroah pada pengajian-pengajian di desanya. Dan semakin hari namanya semakin kondang.

Husen juga punya kecerdasan yang luar biasa. Daya ingatnya sangat kuat. Di usianya yang belum genap dua puluh tahun, tiga puluh juz al-Quran telah dihafalkannya di luar kepala. Selepas lulus SMP, setiap hari Husen diantar ayahnya setoran hafalan Quran pada Kiai Jufri. Kiai sepuh tetangga desa itu pun kemudian punya kedekatan khusus dengan Husen.

Advertisements

Di balik kelebihan-kelebihan itu, Husen tetaplah Husen, seorang manusia biasa yang dilengkapi Tuhan dengan kelebihan dan kekurangan. Putra semata wayang Ustadz Sulaiman itu memiliki sebuah kekurangan yang membuat aktivitasnya akan sulit tanpa bantuan orang lain. Di kedua matanya terdapat kelainan sejak lahir, sehingga membuatnya tidak mampu melihat gemerlapnya dunia.

Baginya tak ada beda antara buruk rupa atau yang rupawan. Senyum atau muka masam juga tak ada artinya bagi dia yang tak mampu melihat. Bagi Husen, di dunia ini hanya ada gelap.
Dan kemudian dunia semakin terasa gulita bagi Husen. Sekitar satu tahun yang lalu, Ustadz Sulaiman meninggalkan dirinya untuk selamanya setelah menderita serangan jantung selama beberapa hari. Husen merasa seakan pegangan hidupnya telah menghilang. Selama ini ayahnya-lah yang mengenalkannya pada dunia serta hakikat kehidupan di dalamnya. Dia kenalkan anaknya itu pada keagungan Tuhan. Pada Nabi Muhammad, kekasih-Nya. Serta jalan untuk menuju cahaya-Nya. Dan tiba-tiba sosok hebat itu telah tiada, ketika hatinya baru mulai mendapatkan sinar-Nya.

Kini ia tinggal hanya bersama dengan ibunya di rumah sederhana pinggir desa. Melewati hari demi hari dalam kegelapan, tanpa adanya cahaya, dan harapan untuk bisa melihatnya dengan kedua belah mata. Lelaki buta itu merasa hidupnya berada dalam kebingungan. Sepeninggal ayahnya, hidup terasa karut marut dan semrawut. Namun dia sadar, terlalu larut dalam kekalutan hanya akan membuat hidupnya semakin redup.

Lalu ia teringat pada nasihat ayahnya serta ucapan-ucapan sejuk Kiai Jufri. Husen juga sering sowan kepada kiai sepuh itu. Perlahan-lahan nasihat yang berasal dari hati itu masuk ke dalam hati, membuat dadanya terasa lapang kembali. Bahwa apa yang diharapkan dalam dunia tak lebih dari sekadar kesenangan semu belaka. Hakikat dari semua kesenangan adalah di akhirat. Maka Husen kian menundukkan kepala ke haribaan Tuhan, berusaha merengkuh cahaya melalui mata batinnya.

“Tadi Cak Jaka mencarimu,” ibunya memberitahu. Wanita paro baya itu meletakkan tas belanjaannya di atas meja lantas duduk di kursi rotan.

“Ada apa Bu?” sahut Husen. Tasbih di tangannya ia lepaskan.

“Ada undangan. Kamu diminta jadi qori di acara pernikahan Mas Samsul juragan petai. Bisa kan?” tanya ibunya.

“Insyaallah Bu,” Husen menjawab sambil merebahkan badan di atas sajadah sebelah ranjang, tempat favoritnya. Pintu kamarnya terbuka, membuat ibunya mampu melihat semua aktivitasnya dalam ruangan itu.

Dan benar, beberapa hari kemudian Husen datang ke pengajian bersama Cak Jaka. Nama Husen begitu menyita perhatian. Pemuda tuna netra itu dikenal banyak orang karena hafalan Quran serta suara merdunya. Tak berapa lama setelah datang, gilirannya untuk membaca Quran pun tiba. Suara mendayu-dayunya segera menghipnotis para jemaah. Husen pun sangat meresapi bacaannya.

“Sen,” tegur Cak Jaka seusai Husen turun dari panggung.

Husen menoleh. Tangannya dituntun lelaki itu. Berjalan tertatih-tatih menuruni tangga panggung.

“Ada cewek tertarik padamu,” bisik Cak Jaka. Dia lihat Husen menyunggingkan senyum, tapi tak menyahut apa pun.

“Dia santrinya Kiai Jufri, bagaimana? Apa kamu juga tertarik?” Cak Jaka membisikkan tanya.

Kini mereka duduk di kursi khusus. Acara di panggung itu pun dilanjutkan dengan pengajian.

“Sen? Kamu sudah berusia dua lima kan sekarang? Kalau kamu nikah tahun ini, berarti kamu niru Nabi, tidak bidah. Kamu umat yang menghidupkan sunahnya, nikah di usia dua lima,” Cak Jaka terus bermanuver.

“Apa yang bisa membuatku tertarik padanya Cak?” Husen menyahut.

Cak Jaka mengambilkan botol minuman sembari mencari jawab.

“Dia itu cantik. Bukankah kamu suka gadis cantik?”

Husen tertawa, membuat Cak Jaka bingung.

“Cantik itu seperti apa Cak? Ada-ada saja. Mana tahu aku seperti apa kecantikan itu.”

“Mancung hidungnya, bercahaya kulitnya, memesona senyumnya, indah dan rapi giginya. Atau kamu punya kriteria sendiri mungkin. Yang gemuk?”

“Semuanya sama bagiku Cak. Aku hanya mampu merasakan kelembutan sikap dan halusnya tutur kata. Selain itu bagiku semua sama,” tangkis Husen.

“Hmmm. Iya, kamu benar. Akan tetapi, wanita cantik dan tidak itu ada bedanya ketika diraba. Bukankah kamu sudah terlatih membaca huruf braile? Nah, dalam hubungan rumah tangga, yang penting itu bisa diraba,” ucap Cak Jaka sambil terkekeh-kekeh.

Lelaki itu kembali melihat ada sesungging senyum malu-malu di sudut bibir Husen.

“Nanti kusampaikan salammu pada gadis itu. Namanya Sahira. Sekarang dia jadi guru ngaji di TPQ dekat rumahku.”

Begitulah, Jaka terus berbicara, merayu Husen untuk segera menikah. Sementara itu acara pengajian terus berjalan.

Tiga hari berikutnya Cak Jaka mengajak Husen ke rumah Sahira. Semacam taarufan. Setelah waktu terlewatkan lama dalam diam, Jaka merasa bosan melihat kedua orang sejoli itu terus menelan senyap.

“Hira, inilah pemuda yang tempo hari kau tanyakan itu. Alim orangnya. Merdu suaranya. Tampan pula wajahnya. Dan kau juga sudah tahu sisi kurangnya. Silakan kamu ajak bicara dia, karena dia tak melihat rupamu. Namun dia mendengar tegur sapa dan suaramu,” Cak Jaka mulai bermanuver lagi dengan kata-katanya.

“Iya. Maaf saya nggak menyuguhi apa-apa. Dan juga tidak mengajak bicara. Saya masih nggak nyangka Ustadz Husen akan datang kemari,” tukas gadis berkerudung ungu bernama Sahira itu.
Suara gadis itu terdengar lembut menyapa sanubarinya. Husen merasakan ada debar-debar dalam dadanya.

“Maaf kalau mengganggu, Mbak,” ucap Husen singkat.

“Oh, tidak. Tidak mengganggu sama sekali. Justru saya sangat bangga kedatangan tamu seorang qori seperti Ustadz Husen ini,” Sahira menjawab segera. Dan Husen tersenyum. Memang dia tak melihat kecantikan Sahira. Tersenyum atau muka ditekuk pun dia juga tak tahu. Tapi, indra pendengarannya menangkap suara itu demikian merdu. Menelusup ke dalam urat nadi, jantung hati dan lantas memilin-milin perasaannya.

“Mbak Sahira terlalu membesar-besarkan. Saya ini tuna netra yang berjalan pun butuh dituntun,” tukas Husen jujur.

“Saya tahu itu, Ustadz. Barangkali kelak saya bisa menuntun langkah Ustadz. Dan Ustadz bisa menuntun hati saya ini untuk menapaki jalan kebenaran,” tukas Sahira. Wajahnya tersipu. Demikian pula dengan Husen. Pemuda itu menunduk dengan muka yang menebal menahan malu.

“Wah. Kalau begini saya jadi ingin muda lagi,” seloroh Cak Jaka.

Ruangan itu kemudian riuh oleh tawa. Maka sukseslah Jaka menjadi makcomblang. Hati Husen terasa meluap-luap oleh bahagia. Ternyata Tuhan teramat pandai mengukir bahagia, sekalipun itu pada seorang manusia yang tak mampu melihat seperti dirinya. Bertasbihlah hatinya. Helaan napasnya juga diiringi hamdalah yang tak sudah-sudah. Nama Sahira pun kini muncul dalam untaian munajatnya.

Namun, suatu siang yang terik Cak Jaka datang ke rumah Husen dengan langkah tergesa. Dia menghampiri Husen yang tengah murojaah sembari berangin di teras rumahnya.

“Napasmu ngos-ngosan Cak. Dikejar anjing apa barusan mengejar Janda?” Husen berseloroh.

“Kamu ini lucu. Pas suasana ceria kamu murung. Pas suasana murung kamu malah mengajak tertawa,” sahut Cak Jaka.

“Memangnya kamu mau mengajakku murung?”

“Iya. Tadi malam kulihat Gus Mustofa datang ke rumah Sahira. Usut punya usut, ternyata putra Kiai Jufri itu mau melamarnya. Dan itu berarti posisimu bakal sulit. Sainganmu ketat!” tukas Cak Jaka berapi-api.

Husen membeku dalam diamnya. Dan Jaka melihat keganjilan itu. Husen malah tersenyum.
“Sen? Kamu tersenyum? Bahagia kamu? Tak cinta rupanya kau pada gadis manis itu?” Jaka mencerca tanya.

“Aku bahagia,” dan jawaban pendek pemuda tuna netra itu mengusik Jaka.

“Gila kamu!”

“Aku bahagia pernah dicintai orang yang dicintai oleh putra seorang kiai. Dan aku juga bahagia jika dia memilih pilihan yang tepat. Tentunya Gus Mustofa lebih tepat bagi dirinya.”

Mulut Cak Jaka terbungkam seketika.

Waktu pun berlalu. Begitu pula cerita antara Husen dan Sahira itu. Dan kini Husen semakin sering mendapat undangan qiroah. Cak Jaka memang lincah. Video qiroah Husen ia unggah di youtube serta akun instagramnya. Bahkan akun yang ia namai Qori Tuna Netra itu telah memiliki ribuan subscriber dan follower di medsosnya. Pundi-pundi uang pun terus mengalir ke kantungnya. Semakin hari Jaka semakin gemilang menjadi manajer Qori Tuna Netra.

“Minumlah kopinya, Sen,” pinta Ibu Husen pagi-pagi.

Dua orang ibu-anak itu tengah menikmati udara pagi di teras rumah.

“Terima kasih Bu,” Husen menjawab sembari mengangkat gelas berisi kopi yang masih mengepulkan uap panas itu.

“Sen. Di pasar ibumu ini mendengar banyak orang yang bilang tentang dirimu,” ucap ibunya.

“Mereka bilang apa Bu?”

“Orang-orang itu kasihan pada kamu.”

“Ha-ha-ha….”

Perempuan itu mengernyitkan dahi melihat tawa anaknya mendengar berita yang menurutnya tak menyenangkan itu.

“Kok malah tertawa. Kamu itu diperalat Jaka. Dia mengenalkanmu pada Sahira hanya kedok agar dia bisa dekat padamu. Mengambil hatimu.”

“Maksud Ibu?”

“Setelah kini dekat denganmu, suaramu ditaruhnya di internet. Dia ambil uang dari situ. Belum lagi jika ada amplop untukmu. Dia sering mengambil isinya terlebih dahulu. Ini rahasia umum, Nak,” ucap ibu yang kini menjanda itu.

“Biarkan saja Bu. Dia juga butuh makan. Dia juga punya anak dan istri.”

“Iya. Aku cuma tak ingin anakku ini terus-terusan dibohongi. Dia tak izin padamu kan ambil keuntungan itu?”

“Biarkan saja Bu. Diniati sodaqoh saja. Hidup kita sudah berkecukupan kan?”

“Kamu ini, dijahati orang diam saja. Orang lain akan mudah mempermainkanmu. Mengotorimu. Meremehkanmu.”

“Dunia ini gelap sekali Bu. Hitam dan pekat. Namun Ibu tak perlu khawatir, tak akan ada orang yang mampu menjebakku dalam kegelapan itu, karena aku sendiri memang berada di situ. Dalam kegelapan itu. Tak ada juga orang yang mampu mengotoriku, karena aku sendiri adalah kotoran itu.”

Husen berbicara kalem. Ibunya tertegun mendengarkan.

“Sering-seringlah Ibu memejamkan mata. Maka kotornya dunia akan lenyap. Sering-seringlah Ibu mengacuhkan dunia, akan lenyap gemerlapnya yang menyilaukan itu. Dan cahaya di akhirat yang bahagia di sana adalah hakikat akan semakin nyata,” Husen berbisik di sisi ibunya. Dan terlihatlah ada cahaya yang berkelindan di ujung penglihatan mata batinnya.

Ucapan lembut Husen itu menyentuh hati ibunya. Perempuan itu pun menangis dan memeluk putranya yang tak pernah melihat gemerlapnya dunia. Ia kecupi kening putra semata wayangnya itu.

RS. Panti Nirmala. Rabu-8 Juli 2020.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan