Perempuan dan Kasih Sayangnya

835 kali dibaca

“Kau tahu mengapa perempuan memiliki rahim?”

Begitulah pertanyaan yang dilontarkan seorang kawan dalam suatu perbincangan di warung kopi. Saya terdiam sejenak untuk berpikir. Melihat saya terdiam, ia melanjutkan perkataannya, “Rahim adalah sifat Tuhan yang berarti penyayang. Karena kau memiliki rahim, maka di situlah kau dipercaya sebagai sumber cinta dan kasih sayang.”

Advertisements

Perbincangan kami itu mengingatkan saya pada pernyataan Presiden Joko Widodo saat peringatan Hari Perdamaian Dunia di Sumenep, Oktober 2017. Dalam pidatonya, Jokowi mengungkapkan potensi feminitas dalam diri perempuan mempunyai kesinambungan dalam membumikan nilai-nilai kasih sayang, kemanusiaan, dan perdamaian. Potensi tersebut harus kita gali dan kita kembangkan agar perempuan mampu berkontribusi aktif dalam menciptakan perdamaian. Rasanya tidak berlebihan jika saya menyebut bahwa perempuan adalah kunci dari perdamaian suatu bangsa.

Secara psikologis, perempuan sebagai Ibu memiliki jiwa pengasuh dan pencipta perdamaian alamiah sepanjang sejarah peradaban manusia. Peran ini secara tidak langsung memberi perempuan kepekaan untuk mengidentifikasi bentuk-bentuk kekerasan, sehingga mereka dapat menawarkan alternatif model perilaku yang tepat untuk menangkal berbagai bentuk kekerasan.

Selama ini, satu hal yang mungkin jarang dibicarakan dalam setiap proses pencapaian perdamaian adalah keberadaan dan peran perempuan dalam pemeliharaan perdamaian. Masalah perdamaian dan segala upaya untuk mewujudkannya dianggap bagian dari perkerjaan laki-laki. Sehingga, peran perempuan dalam hal ini dianggap menjadi kurang signifikan. Perempuan lebih sering diletakkan sebagai korban daripada sebagai pemberi solusi untuk menciptakan situasi damai.

Meski dalam sejumlah kasus mayoritas perempuan adalah korban, akan tetapi, kepekaan yang mereka miliki sebagai korban konflik ataupun kekerasan justru menyebabkan perempuan memiliki dorongan yang lebih kuat untuk menciptakan perdamaian (peace-making) dan membangun perdamaian (peace-building) yang transformatif. Perempuan lebih sensitif dalam menilai potensi dominasi untuk “menyusupkan” misi-misi perdamaian.

Kapasitas perempuan dalam mendorong perdamaian setidaknya di tingkat akar rumput sudah terbukti di banyak kasus konflik. Gerakan perempuan berhasil membangun koalisi lintas kelompok sewaktu konflik berlangsung dan memberi kontribusi bagi mudahnya implementasi perdamaian saat kesepakatan dicapai para pihak.

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan