Perempuan dan Kasih Sayangnya

826 kali dibaca

“Kau tahu mengapa perempuan memiliki rahim?”

Begitulah pertanyaan yang dilontarkan seorang kawan dalam suatu perbincangan di warung kopi. Saya terdiam sejenak untuk berpikir. Melihat saya terdiam, ia melanjutkan perkataannya, “Rahim adalah sifat Tuhan yang berarti penyayang. Karena kau memiliki rahim, maka di situlah kau dipercaya sebagai sumber cinta dan kasih sayang.”

Advertisements

Perbincangan kami itu mengingatkan saya pada pernyataan Presiden Joko Widodo saat peringatan Hari Perdamaian Dunia di Sumenep, Oktober 2017. Dalam pidatonya, Jokowi mengungkapkan potensi feminitas dalam diri perempuan mempunyai kesinambungan dalam membumikan nilai-nilai kasih sayang, kemanusiaan, dan perdamaian. Potensi tersebut harus kita gali dan kita kembangkan agar perempuan mampu berkontribusi aktif dalam menciptakan perdamaian. Rasanya tidak berlebihan jika saya menyebut bahwa perempuan adalah kunci dari perdamaian suatu bangsa.

Secara psikologis, perempuan sebagai Ibu memiliki jiwa pengasuh dan pencipta perdamaian alamiah sepanjang sejarah peradaban manusia. Peran ini secara tidak langsung memberi perempuan kepekaan untuk mengidentifikasi bentuk-bentuk kekerasan, sehingga mereka dapat menawarkan alternatif model perilaku yang tepat untuk menangkal berbagai bentuk kekerasan.

Selama ini, satu hal yang mungkin jarang dibicarakan dalam setiap proses pencapaian perdamaian adalah keberadaan dan peran perempuan dalam pemeliharaan perdamaian. Masalah perdamaian dan segala upaya untuk mewujudkannya dianggap bagian dari perkerjaan laki-laki. Sehingga, peran perempuan dalam hal ini dianggap menjadi kurang signifikan. Perempuan lebih sering diletakkan sebagai korban daripada sebagai pemberi solusi untuk menciptakan situasi damai.

Meski dalam sejumlah kasus mayoritas perempuan adalah korban, akan tetapi, kepekaan yang mereka miliki sebagai korban konflik ataupun kekerasan justru menyebabkan perempuan memiliki dorongan yang lebih kuat untuk menciptakan perdamaian (peace-making) dan membangun perdamaian (peace-building) yang transformatif. Perempuan lebih sensitif dalam menilai potensi dominasi untuk “menyusupkan” misi-misi perdamaian.

Kapasitas perempuan dalam mendorong perdamaian setidaknya di tingkat akar rumput sudah terbukti di banyak kasus konflik. Gerakan perempuan berhasil membangun koalisi lintas kelompok sewaktu konflik berlangsung dan memberi kontribusi bagi mudahnya implementasi perdamaian saat kesepakatan dicapai para pihak.

Sebuah studi yang dilakukan oleh Peace Institute antara tahun 1989 hingga 2011 terhadap 182 persetujuan damai yang telah disepakati, menemukan bahwa apabila perempuan dilibatkan dalam proses perdamaian, maka peluang persetujuan damai untuk bertahan selama 15 tahun atau lebih meningkat sebesar 35 persen.

Bukan hanya itu, dalam buku Merayakan Ibu Bangsa terbitan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, saya menemukan kutipan yang menarik dari hasil wawancara penulis dengan Aleta Baun. Aleta Baun adalah pejuang perempuan untuk kedaulatan tanah air di Mollo. Ketika ditanya apa hal penting yang harus ditekankan dalam perjuangan generasi ke depan, Alleta menjawab ada dua hal yang harus ditekankan, yakni pengetahuan yang kembali ke alam dan pengetahuan perempuan.

Ia menyebutkan bahwa pengetahuan manusia semuanya berawal dari alam. Banyak pengetahuan yang kita lupakan berkaitan dengan alam. Orang sibuk berlomba mencari gelar, namun lupa dengan pengetahuan-pengetahuan di kampung tentang bagaimana hubungan manusia dan bumi.

Lantas apa hubungannya dengan perempuan? Menurut Alleta, perempuan sama dengan alam. Perempuan mengajarkan kembali bahwa bumi itu tidak mati, dia hidup. Kita harus mengajarkan kembali bahwa alam itu hidup dan bernyawa. Alleta meyakini bahwa perempuan sama dengan bumi, sumber kehidupan.

Dalam kesempatan yang berbeda sebagaimana dikutip dalam Jurnal Perempuan, Alleta mengatakan, “Pada waktu aksi-aksi demo, perempuan-perempuan di Molo mengeluarkan payudaranya untuk menunjukkan kalau tanah kami diambil sama dengan air susu ibu diambil, dan kami tidak akan bisa menyusui lagi.”

Dalam artikel tersebut, penulis mengatakan, “Sungguh tidak berlebihan perempuan diibaratkan seperti tanah. Kedua makhluk ini adalah “khalifah” Tuhan untuk melestarikan kehidupan. Dari keduanya pula segala keberlangsungan hidup berasal. Karena itu, perempuan dan tanah ditautkan oleh hubungan emosi yang sangat kuat. Apabila salah satu di antara mereka disakiti, yang lainnya tergerak untuk melakukan pembelaan.”

Hal itulah yang kemudian membuat para perempuan berdemosntrasi ketika kelestarian tanah terancam. Aleta adalah penggerak dari perempuan-perempuan tersebut. Aleta adalah salah satu bukti bahwa perempuan memiliki peran vital dalam segala lini kehidupan. Dengan kualitas yang dimiliki, sudah sepatutnya perempuan mendapat akses yang lebih besar untuk mengembangkan potensinya dan terlibat dalam pengambilan keputusan-keputusan.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan