Bila Tukang Kayu Menjadi Kiai

1,547 kali dibaca

Prihatin merupakan salah satu kunci sebuah kesuksesan. Lihat saja Imam al-Ghazali dengan segudang ilmu yang dimilikinya. Sudah pasti merupakan berkat keprihatinan dan kesabarannya. Masa kecil Imam al-Ghazali diawali dengan kefakiran.

Ayahnya adalah seorang pemintal benang, namun sangat cinta dengan ulama. Karena kecintaannya kepada ulama itu, sering kali dia berdoa supaya kedua anaknya nanti kelak menjadi ulama besar seperti ulama yang dia cintai.

Advertisements

Setelah orang tuanya, Imam Ghazali dititipkan kepada teman ayahnya, dengan harta tinggalan ayahnya yang sedikit. Tidak lama kemudian, karena teman ayahnya juga merupakan orang yang fakir dan tidak mampu memberikan nafkah kepada Imam Ghazali dan adiknya, maka dititipkanlah mereka berdua ke Madrasah Nidzomiyyah.

Dengan begitu, mereka bisa tinggal dan belajar di sana. Mereka bisa mendapatkan makanan dan pakaian dari pemerintah pada saat itu. Karena itu, Imam Ghazali pernah berkata, “Dulu aku mencari ilmu bukan karena Allah, tapi nyatanya ilmu enggan kalau tidak karena Allah.”

Dari pernyataan itu bisa disimpulkan bahwa awal perjalanan ilmu Imam Ghazali tidak semudah yang kita bayangkan. Untuk makan dan pakaian pun harus mencari beasiswa dari pemerintah. Tapi karena ilmu yang dipelajari adalah ilmu Allah, dan ilmu Allah enggan untuk berpaling selain Allah, Imam Ghazali pun akhirnya menjadi orang yang dekat dengan Allah, dengan keilmuan yang mendalam, seperti yang dapat kita lihat dalam salah satu kitabnya yaitu Ihya Ulumiddin.

Sedikit cuplikan kisah kehidupan Imam Ghazali itu bisa diambil sebagai teladan bagi santri dalam menempuh kehidupan di pesantren. Mungkin kita tidak bisa meniru seluruhnya, akan tetapi bisa mencontoh sebagiannya. Sehingga, kita menjadi seperti Imam Ghazali sesuai kemampuan masing-masing.

Di pondok pesantren memang tidak sedikit santri merupakan anak orang kaya, dan sebelumnya mereka di rumah hidup penuh kecukupan, serba terpenuhi, dengan fasilitas yang memadai. Agaknya dengan jalan prihatin, hidup sederhana, makan apa adanya, akan melatih mereka menjadi santri yang tangguh dalam menghadapi hidup. Ibarat menjadi orang kaya, menjadi orang kaya yang bersahaja, apalagi dalam kondisi sederhana, tentu sudah terlatih dengan kehidupan di pesantren.

Banyak sekali santri yang hidup prihatin di pesantren, sekarang sudah menjadi kiai di desanya. Ada satu kisah yang sangat menginspirasi penulis. Namanya Kiai Musthofa. Dia dilahirkan dari keluarga yang penuh dengan kekurangan. Akan tetapi niat juangnua mencari ilmu sangat besar dan mengobar.

Cukup dengan doa dan rida dari orang tua, dia pun berangkat ke pondok, hanya dengan bekal niat dan tekad. Di pesantren dia kerja seadanya untuk biaya hidup. Juga, di pesantren dia bukanlah santri yang menonjol atau yang masyhur dengan keilmuan seperti teman-temannya yang lain. Bahkan dia sering menjadi bulan-bulanan ledekan atau perundungan dari teman-temannya, bukan karena kepintaranya akan tetapi karena kebodohnnya.

Namun dia tetap bersabar sambil berdoa dalam hati, “Semoga besok ilmuku bermanfaat untuk masyarakat.” Dia hanya mengugemi (patuh) apa yang didawuhkan (dikatakan) gurunya, dan selalu tekun belajar dan mengaji. Padahal, saat itu dia kesulitan membaca dan memahami kitab yang dipelajari.

Singkat cerita, dia menjalani kehidupan sebagai santri di pondok penuh dengan keprihatinan. Dia ikhlas terhadap makanan yang dimakan, pakaian yang dipakai. Sikap qanaah selama di pondok itu pun tetap dibawa ketika sudah pulang dari pesantren. Sikap itu juga dia tularkan kepada anak keturunannya.

Setelah pulang dari pesantren, dia bekerja menjadi tukang kayu, sampai pada suatu hari kiai masjid di desanya meninggal dunia. Masyarakat di desa tersebut bermusyawarah untuk mencari pengganti dari kiai yang meninggal itu. Dan, diputuskan Musthofa si tukang kayu tersebut yang menjadi penggantinya.

Sontak dia kaget mendengar keputusan sesepuh di desanya. Setelah ditunjuk menjadi kiai masjid di desanya, dia juga diminta untuk mengisi acara di masjid tersebut. Hanya kebingungan yang dirasanya, karena sebelumnya dia hanya tukang kayu dan santri yang terkenal bodoh.

Akan tetapi Allah memberikan petunjuk kepadanya. Dia mengawali tugasnya dengan berkata kepada hadirin. “Saya di sini bukan mau mengisi pengajian, akan tetapi menyetorkan apa yang saya tahu kepada para sesepuh dan hadirin sekalian.”

Anehnya ilmu yang dia pelajari selama di pesantren yang dulu belum dipahaminya, seketika difutuh oleh Allah, dan lisannya dimudahkan untuk mengucapkannya dan diperdengarkannya kepada semua yang hadir.

Kemudian, setiba di rumah, dia mencoba membuka kitab dan catatan ilmu-ilmu yang dipelajarinya dulu di pesantren, setelah bertahun-tahun ditinggalkan dan tidak dibaca. Anehnya, dia sekarang paham semua yang dulu dijelaskan oleh gurunya. Padahal dulu sama sekali belum paham. Mungkin ini yang dinamakan terbukanya hati berkat keprihatinan dan rida gurunya.

Agaknya keprihatinan yang dia alami saat di pesantren sudah digantikan dengan apa yang diperoleh saat ini. Seperti yang dijelaskan dalam sebuah syair:

بِقَدْرِ الْكَدِّ تُكْتَسَبُ الْمَعَالِي * فَمَنْ طَلَبَ العُلَى سَهْرَ اللَّيَالِي

Artinya: “Usaha seseorang menggapai kemuliaan tergantung kesusahan yang dihadapinya, maka  barang siapa mencari kemuliaan ilmu, maka dia harus berjaga di malam harinya untuk belajar.”

Multi-Page

Tinggalkan Balasan