Bila Tukang Kayu Menjadi Kiai

1,518 kali dibaca

Prihatin merupakan salah satu kunci sebuah kesuksesan. Lihat saja Imam al-Ghazali dengan segudang ilmu yang dimilikinya. Sudah pasti merupakan berkat keprihatinan dan kesabarannya. Masa kecil Imam al-Ghazali diawali dengan kefakiran.

Ayahnya adalah seorang pemintal benang, namun sangat cinta dengan ulama. Karena kecintaannya kepada ulama itu, sering kali dia berdoa supaya kedua anaknya nanti kelak menjadi ulama besar seperti ulama yang dia cintai.

Advertisements

Setelah orang tuanya, Imam Ghazali dititipkan kepada teman ayahnya, dengan harta tinggalan ayahnya yang sedikit. Tidak lama kemudian, karena teman ayahnya juga merupakan orang yang fakir dan tidak mampu memberikan nafkah kepada Imam Ghazali dan adiknya, maka dititipkanlah mereka berdua ke Madrasah Nidzomiyyah.

Dengan begitu, mereka bisa tinggal dan belajar di sana. Mereka bisa mendapatkan makanan dan pakaian dari pemerintah pada saat itu. Karena itu, Imam Ghazali pernah berkata, “Dulu aku mencari ilmu bukan karena Allah, tapi nyatanya ilmu enggan kalau tidak karena Allah.”

Dari pernyataan itu bisa disimpulkan bahwa awal perjalanan ilmu Imam Ghazali tidak semudah yang kita bayangkan. Untuk makan dan pakaian pun harus mencari beasiswa dari pemerintah. Tapi karena ilmu yang dipelajari adalah ilmu Allah, dan ilmu Allah enggan untuk berpaling selain Allah, Imam Ghazali pun akhirnya menjadi orang yang dekat dengan Allah, dengan keilmuan yang mendalam, seperti yang dapat kita lihat dalam salah satu kitabnya yaitu Ihya Ulumiddin.

Sedikit cuplikan kisah kehidupan Imam Ghazali itu bisa diambil sebagai teladan bagi santri dalam menempuh kehidupan di pesantren. Mungkin kita tidak bisa meniru seluruhnya, akan tetapi bisa mencontoh sebagiannya. Sehingga, kita menjadi seperti Imam Ghazali sesuai kemampuan masing-masing.

Di pondok pesantren memang tidak sedikit santri merupakan anak orang kaya, dan sebelumnya mereka di rumah hidup penuh kecukupan, serba terpenuhi, dengan fasilitas yang memadai. Agaknya dengan jalan prihatin, hidup sederhana, makan apa adanya, akan melatih mereka menjadi santri yang tangguh dalam menghadapi hidup. Ibarat menjadi orang kaya, menjadi orang kaya yang bersahaja, apalagi dalam kondisi sederhana, tentu sudah terlatih dengan kehidupan di pesantren.

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan