Anarkisme Melanda Pesantren?

1,223 kali dibaca

Baru-baru ini viral di media sosial aksi beberapa guru di sebuah pesantren yang membakar handphone (HP) yang didapat dari razia. Video yang diunggah kembali oleh akun instagram @suara__bergema, tampak puluhan santri yang sedang berbaris menyaksikan gadget mereka dimusnakan dengan perasaan cemas dan histeris.

Perlakuan terhadap santri yang melanggar terkait dengan HP bukan hanya kali ini saja. Beberapa waktu yang lalu juga terjadi perlakuan keras(?) terhadap santri yang kedapatan menggunakan HP di sebuah pondok pesantren. Meskipun tidak dengan cara dibakar, namun dilakukan dengan cara tegas (keras?) lainnya, yaitu dengan cara dipalu hingga hancur berantakan dan berkeping-keping. Melihat realitas demikian, terjadi diskusi yang cukup kontras di antara para netizen.

Advertisements

Pada setiap lembaga (baca: pendidikan) memiliki konsep tersendiri untuk menciptakan suasana pendidikan yang dianggap kondusif dan paling berdampak positif. Antara satu pesantren dengan pesantren lainnya tidak harus sama dalam menerapkan sebuah kebijakan (sanksi?).

Karena pada setiap kelompok masyarakat, termasuk situasi pesantren mempunyai kekhasan tersendiri sehingga penanganannya pun diselaraskan dengan keadaan. Hal ini tentu akan berbeda antara satu pimpinan (pesantren) dengan pimpinan lainnya.

Pro-kontra Netizen

Menanggapi persoalan di atas (sanksi yang terkesan sadis), para netizen memiliki pandangan yang berbeda. Mereka yang tidak setuju dengan perlakuan itu karena dianggap mubazir dan menimbulkan persoalan dengan orang tua santri.

“Harusnya dikasih peringatan saja, kembalikan ke orang tuanya saja handphone dibandingkan dibakar seperti itu,” tulis @ana_ltfi.

Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa untuk mendapatkan barang tersebut tidak didapat dengan cara mudah. Mereka harus bekerja keras dan membanting tukang mengumpulkan uang demi membeli sebuah HP.

“Pembimbingnya sok-sok-an, kan masih bisa dengan cara bijak, gak tau apa cari uang sulit,” ujar warganet lainnya. Karena mereka tidak tahu kondisi yang sebenarnya di pondok. Mereka hanya melihat dari akhir sebuah perlakuan terhadap santri yang melanggar. Sebuah kewajaran dan tidak perlu ditanggapi secara berlebihan. Seharusnya kita melihat secara kasat mata terhadap persoalan pondok yang sebenarnya. Sehingga dalam menanggapinya pun lebih objektif dan tidak sekadar menyalahkan salah satu pihak.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan