Anarkisme Melanda Pesantren?

1,238 kali dibaca

Baru-baru ini viral di media sosial aksi beberapa guru di sebuah pesantren yang membakar handphone (HP) yang didapat dari razia. Video yang diunggah kembali oleh akun instagram @suara__bergema, tampak puluhan santri yang sedang berbaris menyaksikan gadget mereka dimusnakan dengan perasaan cemas dan histeris.

Perlakuan terhadap santri yang melanggar terkait dengan HP bukan hanya kali ini saja. Beberapa waktu yang lalu juga terjadi perlakuan keras(?) terhadap santri yang kedapatan menggunakan HP di sebuah pondok pesantren. Meskipun tidak dengan cara dibakar, namun dilakukan dengan cara tegas (keras?) lainnya, yaitu dengan cara dipalu hingga hancur berantakan dan berkeping-keping. Melihat realitas demikian, terjadi diskusi yang cukup kontras di antara para netizen.

Advertisements

Pada setiap lembaga (baca: pendidikan) memiliki konsep tersendiri untuk menciptakan suasana pendidikan yang dianggap kondusif dan paling berdampak positif. Antara satu pesantren dengan pesantren lainnya tidak harus sama dalam menerapkan sebuah kebijakan (sanksi?).

Karena pada setiap kelompok masyarakat, termasuk situasi pesantren mempunyai kekhasan tersendiri sehingga penanganannya pun diselaraskan dengan keadaan. Hal ini tentu akan berbeda antara satu pimpinan (pesantren) dengan pimpinan lainnya.

Pro-kontra Netizen

Menanggapi persoalan di atas (sanksi yang terkesan sadis), para netizen memiliki pandangan yang berbeda. Mereka yang tidak setuju dengan perlakuan itu karena dianggap mubazir dan menimbulkan persoalan dengan orang tua santri.

“Harusnya dikasih peringatan saja, kembalikan ke orang tuanya saja handphone dibandingkan dibakar seperti itu,” tulis @ana_ltfi.

Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa untuk mendapatkan barang tersebut tidak didapat dengan cara mudah. Mereka harus bekerja keras dan membanting tukang mengumpulkan uang demi membeli sebuah HP.

“Pembimbingnya sok-sok-an, kan masih bisa dengan cara bijak, gak tau apa cari uang sulit,” ujar warganet lainnya. Karena mereka tidak tahu kondisi yang sebenarnya di pondok. Mereka hanya melihat dari akhir sebuah perlakuan terhadap santri yang melanggar. Sebuah kewajaran dan tidak perlu ditanggapi secara berlebihan. Seharusnya kita melihat secara kasat mata terhadap persoalan pondok yang sebenarnya. Sehingga dalam menanggapinya pun lebih objektif dan tidak sekadar menyalahkan salah satu pihak.

Sementara warganet lainnya menyampaikan bahwa hal tersebut sudah diberitahukan dari sejak awal santri memasuki pondok. Sehingga konsekuensi yang harus diterima adalah berupa sanksi, bahkan yang terberat sekalipun.

“Biasanya kalau masuk pondok sudah dikasih tahu aturannya, dan dikasih tahu juga konsekuensinya kalau melanggar. Jangan selalu salahkan pondoknya, pasti pondok juga menyediakan fasilitas telepon untuk menghubungi orang tua mereka,” tulis akun @ariefsudewa, sebagimana dilansir dari sripoku.com.

Pro dan kontra terhadap sebuah permasalahan merupakan hal yang biasa. Tetapi yang paling penting adalah bagaimana kita menempatkan sebuah persoalan pada wadah yang sebenarnya. Dalam bahasa agama, “Wad’u syai’in fi mahallihi, meletakkan sesuatu di tempatnya.” Ketika sebuah sebab dilakukan dengan konsekuensi tertentu dan sejak awal dimengerti, maka puncak dari sebuah pelanggaran adalah sanksi itu sendiri. Apapun bentuknya harus diterima dengan lapang dada.

Jalan Terakhir

Hemat penulis, pembakaran atau perusakan HP yang terjadi di sebuah pesantren merupakan jalan terkahir. Artinya, mereka sebelumnya telah diberi peringatan (ta’zir) agar tidak melanggar kembali terhadap sebuah pelanggaran. Akan tetapi, karena sesuatu dan lain hal, termasuk karena memang cengkal, maka jalan pamungkas adalah yang terekstrim: dimusnahkan.

Tetapi pada hakikatnya tidak sedramatis yang kita saksikan di video. Dan apalagi setelah didiskusikan dengan sedemikian heboh. Karena pesantren sendiri memiliki konsep kaidah ushul fiqih, “La dharara wala dhirar, tidak ada sesuatu yang sulit dan pula tidak disulitkan.” Artinya, semua persoalan dimulai dari sebuah akibat yang menyebabkan terjadinya suatu tindakan.

Di dalam sebuah pesantren, ada aturan tersendiri terkait dengan gadget. HP adalah sebuah persoalan di dalam lembaga pendidikan pesantren, sehingga pihak pesantren (pengasuh dan pengurus) memberikan rambu-rambu sebelum seseorang memutuskan menetap dan belajar di sebuah pondok. Komunikasi imaginer ini bisa sangat mungkin terjadi ketika seorang anak memutuskan untuk tinggal di sebuah pesantren, disaksikan oleh orang tua atau wali.

“Benar mau belajar di pesantren ini?” Kata pengurus pondok.

“Ya, benar, Ustaz,” jawab calon santri di hadapan pengurus dan orang tua.

“Belajar di pesantren ini tidak boleh membawa dan menggunakan HP. Jika melanggar ada sanksinya,” sambil memberikan penjelasan terkait dengan sanksi dari pelanggaran tersebut.

“Saya siap, Ustaz.”

“Kalau begitu, silakan tanda tangan.”

Calon santri itu pun membubuhkan tanda tangan termasuk juga tanda tangan orang tua sebagai komitmen terhadap aturan pesantren. Jika hitam di atas putih itu sudah menjadi penanda (amanah), maka apapun bentuk sanksinya adalah sebuah kewajaran. Tidak ada lagi alasan untuk menisbikan sebuah tindakan yang telah menjadi kesepakatan bersama.

Hakikat dari sebuah hukuman adalah adanya pelanggaran. Tidak akan ada hukuman (sanksi) kalau tidak ada pelanggaran yang dilakukan. Begitu juga dengan pelanggaran membawa HP, menggunakannya, merupakan sebuah pelanggaran. Jika kemudian pesantren memberikan teguran yang keras (baca: tegas), maka itu adalah akibat dari perbuatannya sendiri.

Inikah Anarkisme Pesantren?

Umumnya, perlakuan sanksi tegas dilaksanakan ketika sudah pada tahap akhir. Sebelum memasuki tindakan yang lebih “sadis”, membakar atau menghancurkannya, dilakukan dulu pembinaan-pembinaan. Nah, pada saat pembinaan itu sudah tidak mempan, maka langkah terkahir adalah sanksi tegas dan terkesan sadis.

Apakah itu artinya pesantren terkontaminasi anarkisme, radikalisme, premanisme, dan kriminalisme? Sekali-kali tidak! Tindakan yang semacam itu bukan sebuah anarkisme. Tetapi itu adalah bentuk hukuman demi sebuah nilai etika (akhlak) di masa yang akan datang.

Mungkin kita berpikir bahwa itu adalah bentuk-bentuk premanisme. Padahal, harga HP tidak dapat ditukar dengan harga diri, etika, dan akhlaqul karimah. HP masih bisa dibeli dengan harga yang terjangkau. Apalagi bagi mereka yang tergolong aghniya’, orang-orang berharta. Bahkan orang yang biasa-biasa saja sekarang ini mampu membeli android. Jadi, harga gadget jangan ditukar dengan harga kerusakan akhlak.

Belum lagi jika di dalam HP tersebut memuat konten-konten yang tidak benar. Video-video yang tidak senonoh saat ini dapat diakses dalam hitungan detik. Maka jika ini yang terjadi, membakar dan merusak android bukan persoalan sadis dan anarkis. Akan tetapi mencoba menjaga etika anak bangsa agar tidak terjerumus ke dalam jurang kesesatan.

Akhirnya, mari kita hormati pihak pesantren yang mencoba menegakkan peraturan secara tegas dan benar. Pun demikian, bukan sesuatu yang dibenarkan ketika pihak pesantren menerapkan sanksi tegas tanpa adanya pembinaan lebih awal. Artinya kita harus sama-sama memahami bahwa tujuan dari pendidikan itu adalah untuk menjaga nilai-nilai akhlak dan akidah. Agar para santri tetap dalam tujuan utama, mendapatkan pendidikan demi kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Wallahu A’lam! 

Multi-Page

Tinggalkan Balasan