Wajah-wajah di Persimpangan Jalan

1,054 kali dibaca

Lelaki itu terus saja meliuk-liukkan badannya yang ramping pada setiap mobil yang berhenti. Suara sound portabel yang dibawanya cukup membuat gemuruh pada sore yang dipenuhi rintik hujan. Terdengar lagu-lagu anak yang mudah sekali dihafal dan diikuti. Ia berkostum badut, berperut datar, tidak gendut layaknya badut ulang tahun. Di belakangnya beberapa penjual kerupuk, minuman, dan makanan ringan turut memeriahkan jalanan.

Sering kali ia menepuk tangan, sesekali pula menengadahkan tangan. Ia terus saja berjalan menghampiri kendaraan demi kendaraan. Beberapa pengendara di depan melambaikan tangan sebagai pertanda belum bisa memberikan bantuan.

Advertisements

Mobil yang kukendarai sudah hampir sampai di hadapannya. Lampu perempatan pun sudah berganti merah. Saatnya melepas gas dan kopling; menarik rem tangan; dan meluruskan kaki sejenak sembari menunggu lampu hijau.

“Ayah, itu badut Ayah,” suara anak semata wayangku yang tampak terhibur menyaksikannya.

“Nayla suka melihatnya?” tanyaku padanya yang duduk di kursi depan.

“Lucu Ayah,” Nayla yang kini beranjak kelas 3 SD mulai memvideo tingkah polah badut itu melalui ponselnya.

“Kamu kasih uang ya, Nak?” instruksi istriku yang duduk di belakang ternyata sudah mengamati gelagat Nayla.

“Kenapa, Ma?” tanya Nayla.

“Tanda terima kasih telah membuat kita tertawa.”

Lampu sudah hijau. Kali ini jalanan kota lumayan padat di sore hari. Rintik hujan membuat suasana semakin syahdu. Tampak beberapa kendaraan dari luar daerah bahkan luar provinsi turut membanjiri jalanan ini. Ya, hari Sabtu ini memang harinya melepaskan segala kepenatan. Termasuk Nayla, yang hari ini memaksa ayah mamanya menuruti kemauannya: makan di restoran cepat saji dan bermain di pusat perbelanjaan.

Laju kendaraan baru 1 kilometer. Di depan sudah terlihat perhentian dan penumpukan kendaraan. Perempatan kedua. Ada pemandangan yang hampir sama dari perempatan pertama. Dua anak kecil, yang laki-laki sekira usia Nayla dan satunya perempuan yang lebih muda lagi usianya. Dengan menepukkan tangan dan bernyanyi sebisanya menghampiri satu persatu kendaraan. Keduanya bertelanjang kaki menyusuri aspal yang beberapa bagiannya berlubang.

“Nayla tidak memvideo?” tanyaku pada Nayla.

“Tidak Ayah. Nayla kasihan.”

“Kamu kasih uang ya, Nak?” istriku menyodorkan selembar uang bergambar KH Idham Chalid kepada Nayla.

“Kenapa, Ma? Kan Nayla tidak tertawa melihatnya?” tanya anakku lagi.

“Tanda terima kasih telah membuat kita bersyukur.”

“Ini adikmu?” kubuka saja kaca jendelaku sembari menyodorkan uang padanya.

“Iya, Pak. Terima kasih.”

“Kenapa kamu seperti ini di jalanan?” aku melanjutkan penyelidikan.

“Untuk bantu ibu di rumah. Untuk jajan adik-adik juga.”

Lampu hijau sudah menyala. Tak lagi kulanjutkan untuk berdialog dengan dua anak itu. Ia pun segera berlari begitu saja. Tampak menepi di sisi kiri jalanan. Mobil berjalan tak terlalu cepat, sekitar 25 km/jam saja. Menuju pusat kota, jalanan semakin padat. Benar saja, mobil baru melaju beberapa menit saja, lampu perempatan jalan sudah menunjukkan isyarat harus berhenti.

Tampak dari kejauhan, seorang perempuan tua berjalan dari arah kanan kendaraan. Hampir seusia ibu yang sudah memiliki tiga cucu dan dua menantu. Mengenakan kebaya usang, sandal jepit, dan tubuh yang pucat nan kurus. Dengan pelan dan hati-hati, ia langkahkan kaki.

“Shodaqoh ee Mas!” suara perempuan tua itu tepat berada di sisi kanan kaca kendaraanku. Tak begitu jelas terdengar, tetapi kalimat itu terus diulang-ulang.

“Ini, Mbah!” tiba-tiba istriku membukakan kacanya dari arah belakang dan memberikan selembar uang padanya.

“Kenapa Mama memberinya uang?” tanya Nayla.

“Tanda bakti kita untuk orang yang sudah lanjut usia.”

“Mama juga sering memberi nenek uang?’

“Semenjak kakek meninggal, ayah dan mama punya kewajiban mencukupi kebutuhan nenekmu.”

“Tapi nenek tidak pernah meminta-minta kan?”

Istriku mulai bercerita panjang tentang nenek. Ya, semenjak bapak meninggal, ibu tinggal sebatang kara di rumah. Aku memilih membangun rumah tak jauh dari tempat kerja hingga satu dua bulan bisa berkunjung ke rumah ibu. Demikian pula adikku yang memilih menjadi karyawan pabrik di ibukota yang dalam hitungan tahun akan pulang. Ibu sendiri tak ingin beranjak pergi dari desa dimana lahir, dibesarkan, bertemu bapak, dan membesarkan anak-anaknya.

Berbekal peninggalan sawah sekitar setengah bahu, ibu tak pernah berniat menyewakan atau menjualnya kepada orang lain. Sawah itu selalu digarapnya sendiri. Tentu saja jika membutuhkan bantuan saja, ibu tinggal memanggil beberapa orang untuk bekerja harian.

Selebihnya, ibu sudah hafal waktu untuk bertanam padi, memupuk, mengairi, menyiangi, memanen, hingga menjemur. Ibu juga sudah tahu waktu musim palawija. Ibu bahkan lebih tahu tentang tengkulak mana yang bersedia membeli dengan harga dan takaran yang bagus. Atau kemana harus membeli pupuk, obat hama, dan perlengkapan bertani lainnya.

Saat aku pulang, ibu selalu memberikan hasil panennya kepada anak-anaknya. Belum lagi hasil berkebun seperti pisang, mangga, dan ketela yang selalu silih berganti menghasilkan. Itulah yang diceritakan istriku kepada Nayla dalam perjalanan kali ini.

“Alhamdulillah, Nayla punya ayah mama dan nenek yang baik dan sayang sama Nayla,” kata Nayla begitu mengkahiri cerita istriku.

Mobil harus berhenti lagi. Kali ini sudah hampir sampai di pusat kota, tepatnya pusat perbelanjaan. Kali ini kepadatan kendaraan lebih panjang meski hujan sudah terhenti. Semua sisi perempatan tampak penuh kendaraan. Nayla tampak sumringah. Memasukkan ponsel yang sedari tadi dimainkan ke dalam tas kecilnya.

Tiga orang remaja tampak membawa gitar, kecrek, dan satu lagi bernyayi. Suaranya nyaring sekali. Menyanyikan lagu-lagu Jawa terkini. Menghampiri satu persatu kendaraan yang berhenti. Semua kendaraan membuka kacanya dan memberikan lembaran uang. Aku pun menirukan lagunya yang entah keberapa. Lagu Pingal yang sedang mereka nyanyikan.

“Aneh ya, Yah. Di perempatan tadi ada yang memberi uang ada yang tidak.”

“Maksud Nayla?”

“Semua memberikan uang untuk anak-anak seperti itu.”

“Mungkin yang dilakukannya menghibur sekali.”

“Jangan beri uang Ayah. Bilang saja tidak punya uang kecil lagi,” suara istriku sedikit parau.

“Kenapa Ma pengamen itu tidak diberi uang?” tanya Nayla.

“Lihat saja! Usianya masih remaja. Badannya besar dan sehat semua. Harusnya mencari pekerjaan lainnya. Tidak di perempatan seperti itu.”

“Dia menghibur, Ma. Lihatlah Ayah sedari tadi menirukan lagu yang mereka nyanyikan. Mereka juga tidak memaksa,” Nayla terus menyela.

“Itu akan menjadi kebiasaan dan malas mencari pekerjaan. Lihat saja uangnya pasti untuk hal-hal yang tidak berguna.”

“Mama jangan berprasangka begitu. Mereka tidak memaksa. Kalau tidak kasih uang, juga tidak masalah,” aku pun tak sabar ingin mengeluarkan pendapat.

Para pengamen itu sudah berada di samping kanan kemudiku. Ia berhenti sambil terus menyanyi. Kali ini lagu Wong Sepele dengan penuh penghayatan. Aku ambilkan koin bergambar bunga melati dari sisi celah pintu. Kuberikan pada mereka yang langsung berlalu begitu saja.

“Ayah selalu tidak mengikuti pendapat Mama,” dari arah belakang istriku berkata dengan nada ketusnya.

“Kasihan, Ma. Toh hanya 500 perak.”

“Sama saja menjadikannya mereka malas bekerja.”

“Mereka bekerja, Ma! Dan tidak memaksa. Apa bedanya dengan yang tadi sebelumnya?”

Akhirnya mobil sampai di parkir pusat perbelanjaan. Berderet dan sulit mencari tempat parkir yang kosong. Semua terisi penuh. Padahal di depan tidak ada plang tanda parkir penuh.

Aku pun memutar keluar. Mencari-cari tempat di luar untuk memarkirkan kendaraan meski terkadang lebih mahal. Aku amati jengkal demi jengkal. Nayla tampak membuka sedikit kacanya agar bisa melihat lebih jelas.

“Kita pulang saja, Yah!”

“Nayla tidak jadi makan dan bermain?”

“Tidak jadi, Yah. Maafkan Nayla yang selalu meminta berlebihan.”

“Nayla ingin makan apa?”

“Kita pulang saja, Ma. Nanti bikinkan Nayla nasi goreng dan telur ceplok saja.”

Mobil kembali melaju pulang ke rumah. Melewati persimpangan yang sama dengan saat berangkat. Akan ada banyak titik perhentian. Hujan pun turun dengan lebatnya.

“Yah, itu pengamen yang tadi.”

Nayla menunjukkan pandang pada ketiga pengamen tersebut. Duduk di sebuah kedai pinggir jalan. Menyeruput kopi. Sesekali menghisap vapour-nya. Kedua tangan mereka terus-menerus menekan tombol-tombol ponselnya.

“Cuma itu pekerjaannya. Nongkrong, ngopi, game,” istriku terus menceramahiku dari arah belakang kemudi.

Aku berusaha tak memedulikan. Nayla pun memilih diam, berpura tidur dalam sandaran. Rinai hujan menjadi hal yang menyelamatkanku karena suara yang begitu kerasnya. Aku terus saja melajukan kendaraan.

Lampu merah. Jelas tak nampak pengamen tadi di jalanan. Crooot. Suara cairan shampoo disiramkan tepat di depan kaca tanpa permisi. Beberapa anak melakukan hal yang sama. Menumpahkan cairan itu lalu menggosok-gosokkan kaca. Aku tak berinisiatif memberikan uang. Trauma kejadian tadi akan terulang.

Anak itu tampak mengetuk kaca. Tapi aku tak memedulikannya. Berkali-kali sembari tangannya terus mengelap kaca. Aku tak menoleh sedikit pun padanya. Terlihat istriku terdiam saja. Seolah mendukung diamku pada kejadian sekitarnya. Aku melajukan kendaraan lagi saat lampu sudah hijau. Kudengar lamat-lamat anak itu memaki. Aku pun tak peduli. Karena, sebentar lagi, Ramadan sudah menanti.

ilustrasi: quora.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan