Wabah itu Bernama Kebencian

834 kali dibaca

Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan.”― Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia.

Saya tidak tahu sejak kapan fenomena ini terjadi. Yang saya rasakan, sejak beberapa tahun belakangan, ruang publik kita sebagai bangsa begitu disesaki, hingga terasa sumpek, oleh segala bentuk ujaran kebencian yang saling bertindihan. Saling menindih.

Advertisements

Dan kebencian itu, disadari atau tidak, seperti virus yang terus menyebar dan menular sampai ke tempat-tempat yang jauh, sampai ke ruang-ruang pribadi. Virus itu terus mewabah. Sampai pada satu titik, kita terkaget-kaget menghadapi wabah baru: bukan Covid-19, melainkan wabah kebencian.

Saya akan berangkat dari peristiwa yang paling hangat saat tulisan ini dibuat. Saat menyampaikan pidato kenegaraan pada 16 Agustus 2021, Presiden Joko Widodo menyedot perhatian publik lantaran mengenakan busana tradisional masyarakat suku Baduy. Komentar dan reaksi pasti beragam. Salah satunya adalah komentar yang diduga memenuhi unsur pelecehan dan kebencian terutama terhadap suku Baduy.

Dari pemberitaan media kita tahu, komentar itu diunggah oleh Mohammad Bernie Kurniawan melalui akun Twitter @pawletariat. Rupanya, Mohammad Bernie adalah seorang jurnalis. Menyadari kekhilafannya, sehari setelah cuitannya memantik kemarahan, Mohammad Bernie mengundurkan diri dari media tempatnya bekerja, tirto.id.

Mohammad Bernie adalah salah satu contoh paling hangat dan kuat sebagai fenomena puncak gunung es wabah kebencian di ruang publik kita. Disadari atau tidak, salah satu tugas etik bagi seorang jurnalis adalah menjaga ruang publik tetap suci. Ia harus steril dari prasangka. Jika seorang jurnalis saja tak bisa menjaga kesucian ruang publik, bagaimana dengan masyarakat pada umumnya. Itulah bagian dari fenomena gunung es itu.

Kenapa fenomena ini harus kita anggap sebagai ikhwal yang penting, sangat penting bahkan? Sebab, sejarah telah mengajarkan bahwa banyak bangsa-bangsa, negara-negara, hancur tersebab merebaknya wabah kebencian. Siapa bisa menjamin kelanggengan bangsa Indonesia ini jika di antara warganya saling menyuburkan benih-benih kebencian?

Kenapa wabah kebencian bisa menghancurkan sebuah bangsa, sebuah negara, suatu tatanan masyarakat? Jika kita merujuk pada Al-Quran surat Al-Ma’idah ayat 8, maka tergambar jelas bahwa kebencian bisa menjadi pintu masuk ketidakadilan. Jika sudah begitu membenci seseorang, bisakah kita berlaku adil terhadapnya? Jika kita mengandaikan sebuah bangsa, negara, atau masyarakat adalah rumah, maka keadilan adalah tiangnya, dan kebencian adalah rayapnya. Jika rayap-rayap terus menerus menggerogoti tiang-tiangnya, maka suatu saat akan ambruk juga rumah kita.

Ada tiga kata kunci dalam kandungan surat Al-Ma’idah ayat 8 tersebut: kebencian, ketidakadilan, dan ketakwaan/kebenaran. Artinya, kebencian akan mendorong seseorang bersikap tidak adil. Dan ketidakadilan akan menjauhkan seseorang dari ketakwaan atau kebenaran. Dari sini kita bisa melakukan pembacaan terbalik seperti ini: bagaimana bisa seseorang mendaku sebagai orang takwa, atau sebagai yang benar, jika ia tak berlaku adil tersebab oleh kebenciannya terjadap orang atau kelompok lain.

Tapi masalahnya adalah tak semua orang sadar bahwa dirinya sedang dikuasai oleh kebencian itu sendiri. Sebab, kebencian itu mematikan nalar, membunuh akal sehat, dan menutup mata hati. Orang yang dimabuk kebencian dengan sendirinya nalarnya mati, akal sehatnya mati, mata hatinya buta. Karena itu, orang yang dirasuki rasa benci nyaris tak pernah sadar bahwa dirinya sedang membenci liyan. Tak sadar bahwa dirinya adalah rayap yang sedang menggerototi tiang-tiang yang menyangga rumahnya.

Rasa benci itu bisa muncul oleh sebab apa saja —bahkan oleh tanpa sebab; asal bukan dari golongan kita, maka kita membencinya, dan kita menjadikanya sebagai wabah.

Bagaimana wabah kebencian itu bekerja di ruang-ruang publik kita? Maka “jalan rayanya” adalah fitnah, hoax. Difasilitasi oleh jejaring media sosial di Internet, para pembenci akan dengan tekun menyebarkan fitnah, hoax, hingga semakin banyak orang turut membenci orang yang kita benci. Fakta itulah yang menyesaki ruang-ruang publik kita hari-hari ini.

Jika fitnah atau hoax dianggap terlalu berisiko karena ada jerat hukum yang mengadang, maka penyebar kebencian akan mengambil jalan lain: olok-olok. Difasilitasi oleh jejaring media sosial di Internet pula, para pembenci akan dengan tekun membuat dan menyebarkan olok-olok dalam beragam bentuk, termasuk dengan medium seni. Olok-olok kemudian menjadi sebentuk persuasi yang menggiring orang atau kelompok untuk saling membenci. Maka, yang kita lihat hari-hari ini masyarakat bangsa kita memiliki hobi baru: saling berolok-olok.

Itulah kenapa Al-Quran mengisyaratkan akan bahayanya fitnah dan olok-olok. Itulah kenapa banyak negara demokrasi yang menyiapkan perangkat hukum untuk memidanakan orang yang memfitnah orang lain, kelompok yang melecehkan kelompok lain. Sebab, fitnah dan olok-olok itu akan menyuburkan benih-benih kebencian. Dan ketika kebencian telah mewabah, orang tak bisa lagi saling berlaku adil terhadap sesamanya. Itulah saatnya kehancuran tiba.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan