Ustadz di Antara Nisma dan Najwa

1,196 kali dibaca

Adzan subuh telah berkumandang, menyeru seluruh umat Islam untuk mendirikan salat. Suasana di salah satu pesantren di Jombang masih sangat tenang, belum banyak santri yang terbangun.

“Mbak-mbak, ayo bangun sudah subuh. Mari jamaah sama Umi!”

Advertisements

Seruan itu seakan menyentak hati Niswa, salah satu santri putri di Pesantren Ar-Rahman Jombang. Niswa langsung bangun dan merapikan peralatan tidurnya, kemudian dia pergi ke belakang untuk mengambil air wudhlu lalu salat berjamaah.

Selesai salat jamaah dan membaca surat Yaasin, Niswa dan santri lainnya bersiap untuk pergi ke kampus. Niswa mengambil jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di sana. Dia merupakan siswi yang berprestasi, pendiam, dan ramah, serta tidak sombong. Niswa adalah santri yang baik dan patuh serta cerdas. Dia selalu mengikuti kegiatan di kampus maupun di pesantren dengan tertib dan baik.

Suatu hari saat mengaji Diniyah, ada seorang ustadz baru yang mengajar Nahwu. Dia menggantikan posisi Ustadz Alim untuk sementara waktu karena Ustadz Alim masih ada acara KKN sebulan ini. Ustadz baru itu bernama Amar. Dia pendiam dan baik serta ramah, dan ternyata masih satu kampus dengan Niswa. Dia adalah kakak kelasnya.

Banyak santri putri yang langsung jatuh hati ketika melihatnya. Ya, dia memang ganteng dan keren, tinggi dan saleh.

“Hari ini semuanya nggak konsen waktu ngaji, soalnya ada ustadz ganteng itu, Nis!” ucap Najwa, salah satu teman Niswa saat mereka sampai di dalam kamar.

“Ah nggak semuanya kok, aku aja konsen sampai akhir tadi!” jawab Niswa santai.

“Iya, kamu konsen mandangin wajah gantengnya itu! Nggak merhatiin pelajarannya,” jawab Najwa dengan sinis.

“Yeee, emangnya kamu. Haram kali mandangin wajahnya terus. Lagian Ustadz Amar itu masih senior kita di kampus,” sahut Niswa seakan menceramahi Najwa.

“Makanya itu Nis, aku langsung jatuh hati sama Ustadz Amar. Kamu nggak sadar ya kalau pesonanya itu udah menghipnotis semua santri di sini. Kalau dia yang ngajar sih, aku mau masuk terus pas waktu Diniyah,” timpal Najwa sambil tersenyum.

Niswa menggelengkan kepalanya sambil memandang Najwa yang sedari tadi menceritakan kebaikan Ustadz Amar. Niswa menepuk pundak Najwa dan berkata, “Najwa, nggak boleh kayak gitu. Kalau ngaji niat kamu cuma mau ketemu sama Ustadz Amar, itu nggak akan barokah ilmunya, dan lagi kamu nggak akan dapat pahala.”

“Nis, coba deh kamu amati wajahnya Ustadz Amar, pasti hati kamu langsung sejuk deh, tenang. Pokoknya tentram deh! coba aja,” jawab Najwa.

“Males ah, dosa lagi!” sahut Niswa santai.

“Ya udah kalau nggak mau. Biar aku sendiri aja!”

“Dibilangin malah ngeyel. Udahlah, ayo tidur, ngantuk aku!” kata Niswa sambil bersiap untuk tidur.

***

Keesokan harinya Niswa datang di kampusnya. Tak sengaja, ia menabrak seseorang karena orang itu terburu-buru.

“Maaf mbak. Saya gak sengaja!” ucap orang misterius itu sambil membantu merapikan buku Niswa yang jatuh berantakan.

“Iya, gak papa kak santai aja. Makasih ya udah bantuin,” sahut Niswa sambil melihat orang itu. Dan betapa terkejutnya Niswa ketika tahu siapa orang yang menabraknya tadi.

“Ustadz Amar?!” seru Niswa kaget dan heran.

“Lho, kamu! kamu yang…”

“Iya Ustadz, saya santri Ar-Rahman, murid dalam pelajaran Nahwu,” sahut Niswa sebelum Ustadz Amar menyelesaikan perkataannya.

“Oh iya-iya, saya ingat. Siapa nama kamu?” tanya Ustadz Amar sambil tersenyum heran namun menatap Niswa dengan tajam.

“Niswa, Ustadz!” jawab Niswa dengan senyum ramah.

Ustadz Amar tersenyum mendengar jawaban Niswa.

“Ada apa Ustadz?” tanya Niswa keheranan.

“Kamu itu dari tadi panggil saya ustadz. Padahal sekarang ini kita sedang ada di kampus.”

“Lalu?”

“Panggil kakak saja tidak apa. Kalau lagi ngajar, baru panggil ustadz,” jawab Ustadz Amar menjelaskan.

“Baiklah kalau begitu, saya permisi dulu kak! Assalamu’alaikum,” ucap Niswa sambil tersenyum dan berlalu pergi.

“Wa’alaikumussalam, Subhanallah.. ..”

***

“Nis, tadi kamu ngapain sama Ustadz Amar?” tanya Najwa yang ternyata melihat kejadian itu. Kemudian Niswa menceritakan apa yang terjadi antara Ustadz Amar dengannya.

“Ya Allah, Nis. Ustadz Amar tanya nama kamu? Aku jadi iri. Yang suka aku kok yang ditanya kamu!” kata Najwa sambil merengut.

“Sudahlah Najwa, jangan iri itu gitu. Emangnya kamu lupa kalau iri itu penyakit hati?”

“Jangan-jangan, Ustadz Amar suka sama kamu lagi!” kata Najwa.

“Ya, ya gak mungkinlah! Emang atas dasar apa Ustadz Amar suka sama aku?”

“Kamu kan cantik, saleha lagi! Lelaki mana yang tidak suka sama wanita kayak gitu?”

Niswa terdiam sesaat mendengar jawaban Najwa yang seakan menusuk hatinya.

“Tapi, kan, dia jauh lebih baik dari aku Naj”

Tanpa menjawab Niswa, Najwa bergegas pergi meninggalkan Niswa di dalam keheningannya.

“Najwa, mau ke mana kamu?” panggil Niswa. Namun Najwa sama sekali tak menghiraukan panggilan temannya itu.

***

Saat Madin dimulai, Niswa telah siap duduk di bangku paling depan. Dan hari ini adalah giliran ustadz Amar mengajar. Namun ada yang aneh dengan Najwa hari ini, dia tidak nampak semangat dan biasanya dia duduk di bangku yang paling depan, tepatnya di samping Niswa, namun tidak dengan hari ini. Dia tampak menjauhi Niswa dan kini Niswa duduk seorang diri.

“Niswa, kok kamu duduk sendirian?” tanya Ustadz Amar.

“Iya, Ustadz,” jawab Niswa sedikit terkejut dan tertunduk lesu.

“Lho, ke mana teman kamu yang biasanya duduk di samping kamu itu?” tanya Ustadz Amar kembali.

“Emang kenapa kalau Niswa sendirian? Ustadz mau temenin ?” sahut Najwa seakan menyindir Niswa. Ustadz Amar tak menjawab, namun ia hanya tersenyum tipis sembari memandang Niswa.

Selesai Madin, Niswa mencoba bicara kepada Najwa. Namun Najwa selalu menghindari Niswa, hingga akhirnya Niswa dapat menahan langkah Najwa.

“Naj, kamu kenapa sih? Kamu marah sama aku gara-gara Ustadz Amar. Iya?” tanya Niswa. Najwa tampak memalingkan wajahnya dari Niswa, dan tak menjawab pertanyaan Niswa. Dia hanya terdiam, bahkan memandang wajah Niswa pun seakan enggan.

“Naj, kamu lupa kalau kita itu sahabat? Dan cuma gara-gara seorang lelaki saja kita bisa terpecah belah kayak gini? Ingat janji kita dulu, akan selalu bersama dalam keadaan apa pun!’ Kalau kamu suka sama Ustadz Amar, ok dia buat kamu. Tapi, kenapa kamu harus marah? Kita kan bisa omongin ini baik-baik,” kata Niswa sesaat kemudian.

“Aku nggak permasalahin soal Ustadz Amar atau perasaan aku ke dia, Nis!” jawab Najwa dingin. “Masalahnya cintaku bertepuk sebelah tangan, Nis! Asal kamu tahu ya, Nis, Ustadz Amar itu suka sama kamu. Dan aku udah tahu sejak pertama kali kalian berkenalan,”  kata Najwa sambil terisak menangis.

Seketika itu Niswa terkejut mendengar penjelasan dari sahabatnya itu. “Darimana kamu tahu, Naj? Bagaimana bisa kamu bilang seperti itu?” tanya Niswa lirih.  Dan kini, air mata pun mulai membasahi kelopak mata Niswa.

“Aku aja tahu dari pandangan mata Ustadz Amar ke kamu Nis, dan cara dia perlakuin kamu juga beda dari muridnya yang lain,” sahut Najwa yang semakin membuat dada Niswa sesak mendengarnya.

Penjelasan tadi seakan menghentikan bibir Niswa untuk terus menjawab. Niswa hanya terdiam, dan hanya ada suara isak tangis di tengah keheningan antara Niswa dan Najwa.

“Aku udah ikhlasin Ustadz Amar buat kamu, Nis. Lagian dia juga lebih cocok sama kamu. Dan buat apa aku maksain kehendak? Kalau emang kenyataannya dia nggak suka sama aku, mau dipaksa kayak apa pun perasaannya akan tetap ke kamu, Nis!” ucap Najwa mencoba meyakinkan sahabatnya.

“Ngomong apa kamu, Najwa? Kamu harus perjuangin cinta kamu. Aku janji akan bantu kamu!” jawab Niswa mencoba meyakinkan Najwa.

“Aku sudah lelah, Nis. Ibaratnya aku ngejar layangan yang sudah putus. Walau kemana pun tak akan di dapat. Karena layangan itu mengikuti arus angin yang membawanya. Aku merestui kalian, karena dia adalah jodohmu,” jawab Najwa pasrah.

“Jodoh ada di tangan Allah, Najwa. Aku yang akan mengalah untukmu, lagian aku nggak suka sama Ustadz Amar!”

“Jangan munafik kamu, Nis. Aku tahu kalau sekarang kamu juga udah jatuh cinta sama Ustadz Amar!”

Niswa tertunduk lemah sambil menangis, kemudian Najwa memeluk Niswa sambil berkata, “Allah telah memilih kamu untuk Ustadz Amar, dan Allah pula yang menentukan takdir kalian berdua. Demi Allah, Nis, aku rela untuk sahabatku sendiri, dan aku akan bahagia jika kamu bahagia,” ucap Najwa yang semakin membuat Niswa terisak dan terharu.

“Maafkan aku, Naj. Jika aku sebagai sahabat belum bisa membuatmu bahagia,” ucap Niswa meminta maaf.

“Nggak ada yang perlu dimaafkan, Nis. Semuanya sudah selesai. Kamu adalah sahabatku, dan akan selalu begitu sampai kapan pun! Justru aku yang harus minta maaf padamu, karena aku sudah salah paham,” ucap Najwa menjelaskan.

***

Hubungan Niswa dan Najwa kini telah membaik, mereka telah kembali seperti semula. Dan pada suatu hari, Niswa dipanggil untuk menghadap kepada Ibu Nyai. Ada santri yang bilang kalau Niswa akan ditakzir  atau dihukum, padahal Niswa merasa tidak penah melakukan kesalahan atau melanggar peraturan apa pun.

Dengan perasaan yang bercampuraduk, Niswa menghadap kepada Ibu Nyai.

“Assalamu’alaikum, Umi,” sapa Niswa di hadapan Ibu Nyai.

“Wa’alaikumussalam, nduk!” jawab Ibu Nyai ramah namun terlihat cuek.

“Mohon maaf umi, apakah saya melakukan kesalahan sehingga njenengan memanggil saya ke mari?” tanya Niswa sopan.

“Tidak, nduk. Ibu hanya ingin bertanya, ada hubungan apa antara kamu dengan Ustadz Amar?” tanya Ibu Nyai yang membuat hati Niswa tersentak.

“Sebentar, sebelum kamu menjawabnya. Ibu akan menghadirkan seseorang di sini,” Ibu Nyai menahan jawaban Niswa keluar dari mulutnya. “Silakan masuk, nak…,” seru Ibu Nyai.

Dan betapa terkejutnya hati Niswa ketika ia tahu siapa yang masuk ke dalam. Ustadz Amar duduk di samping Niswa dan kini mereka berdua tengah menghadap Ibu Nyai. “Sekarang kamu jawab pertanyaan saya tadi Niswa!” perintah ibu Nyai.

“Kami tidak menjalin hubungan apa-apa, Umi. Hubungan kami tidak lebih dari sekadar ustadz dan muridnya,” Niswa menjelaskan.

“Kamu tidak bohong, kan?”  tanya Ibu Nyai seakan tak percaya akan penjelasan Niswa. “Tidak, Umi,” jawab Niswa sopan dan singkat.

“Lalu kenapa Ustadz Amar ingin melamar kamu, kalau tidak ada hubungan apa-apa?” Niswa langsung terkejut mendengar pertanyaan dari Ibu Nyai tersebut.

“Ustadz Amar tidak pernah bilang kepada saya tentang itu,” jawab Niswa sedikit keheranan.

“Sekarang dia akan bicara tentang itu sama kamu, Niswa. Dengan disaksikan kedua orang tua kalian,” Jawab Ibu Nyai mempersilakan. Tak lama kemudian kedua orang tua Niswa dan Ustadz Amar melangkah memasuki ruangan. Dan kini Ustadz Amar memulai untuk bicara kepada Niswa.

“Niswa, di sini dengan disaksikan kedua orang tua kita dan Ibu Nyai, aku meminta izin untuk meminangmu, menjadikanmu istriku dan ibu dari anak keturunanku nanti. Aku sudah memutuskan hal ini setelah lama hatiku tergoyah karena jatuh cinta kepadamu. Dan aku sudah meminta izin kepada kedua orang tuamu, dan mereka sudah merestui kita. Dan sekarang tinggal menunggu keputusanmu saja!” kata Ustadz Amar.

“Iya, nduk, Ustadz Amar bilang, dari pada dia terus-terusan begini tanpa ada ikatan sama kamu dan akhirnya membuat maksiat lalu menebar fitnah, dia memutuskan untuk mengikatmu dalam hubungan pernikahan. Sekarang bagaimana jawabanmu?” tanya ibunda Niswa kepada putri semata wayangnya.

“Apa pun keputusanmu akan kuterima Nis! Aku ikhlas,” sahut Ustadz Amar.

“Ustadz, dengarkan jawaban saya baik-baik. Dan mereka semua akan menjadi saksinya! Saya menerima pinangan ustadz dan saya mau menjadi istri ustadz Amar.”

Jawaban Niswa seakan melegakan hati semua orang yang hadir di sana.

“Alhamdulillah…,” ucap semua orang di sana.

Ibunda Niswa memeluk erat putrinya.

“Selamat ya, Nak,” ucap ibunda Ustadz Amar selanjutnya dengan bersalaman kepada Niswa yang kini akan menjadi menantunya.

“Kamu sudah dapatkan calon istri impianmu Amar, semoga abadi untuk selamanya.”

“Amiinn,” semuanya mengamini. Termasuk Ibu Nyai turut mendoakan mereka. Niswa bersalaman dengan kedua orang tua Ustadz Amar.

“Subhanallah, Nak. Tak salah kamu pilih Niswa sebagai calon istrimu,” ucap ibu Ustadz Amar yang melihat sopan santun Niswa.

“Terima kasih, Niswa, calon istriku. Semoga cinta kita abadi untuk selamanya,” kata Ustadz Amar kepada Niswa yang tersenyum bahagia sedari tadi.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan