Umar bin Khattab dan Toleransi Beragama

976 kali dibaca

Umar bin Khattab dikenal sebagai pemimpin yang kreatif dan inovatif dalam mengeluarkan kebijakan atau fatwa. Beberapa kebijakannya dianggap revolusioner, dan membawa pengaruh besar untuk kemajuan Islam.

Beberapa kebijakan Umar bin Khattab tidak hanya menyasar umat Islam, non-Islam juga mendapat kemakmuran dari kebijakan-kebijakan yang dibuat. Seperti halnya keputusan Umar bin Khattab yang tidak membagikan tanah di Syiria dan Irak yang telah dibebaskan kepada para tentara. Umar bin Khattab lebih memilih membagikan tanah tersebut kepada para petani kecil, meskipun di antara petani tersebut ada yang non-Islam.

Advertisements

Poros toleransi Umar bin Khattab juga terekam dalam sebuah perjanjian yang dinamakan sebagai al-Uhda al-Umariyyah. Perjanjian ini memuat kesepakatan antara Umar bin Khattab dan umat Kristiani di Yerussalem. Dalam perjanjian tersebut, Umar bin Khattab menyepakati untuk menghormati pemeluk Yahudi maupun Kristiani yang ada di sana, tanpa adanya unsur paksaan maupun kekerasan sedikitpun. Umar bin Khattab juga tidak melakukan pemaksaan kepada mereka untuk memeluk agama Islam. Umar memberikan kebebasan untuk memilih keyakinan tanpa adanya intimidasi dari pihak manapun.

Natal dan Toleransi

Momentum perayaan Natal acapkali menjadi perbincangan hangat di media. Salah satu penyebab utamanya adalah toleransi semu (pseudo tolerance) yang masih mengakar di tengah-tengah masyarakat. Kekakuan masyarakat dalam menerima keyakinan yang berbeda melahirkan beberapa problema. Di antara problema yang paling kentara adalah minimnya partisipasi masyarakat untuk mengenal atau mendalami keyakinan dari kelompok lainnya. Sehingga model kerja sama ataupun kesetaraan antarkelompok sulit terbangun.

Martin C Wright mengkonfirmasi jika pseudo tolerance terjadi karena subjektivitas masyarakat dalam memahami sesuatu. Mereka menganggap satu hal sebagai kebenaran yang mutlak, lalu menihilkan hal lain di luarnya. Terjadilah chaos yang merembet pada rusaknya kerukunan sosial. Superioritas membawa masyarakat pada sifat egoisitas yang lebih tinggi. Muncul keinginan untuk membuktikan bahwa ajaran atau kelompok yang dianut sebagai yang paling benar, dengan mencercar dan mencaci keyakinan lain.

Oleh kelompok radikal, perayaan Natal sering dianggap sebagai ancaman, karena menyebarkan sesuatu di luar keyakinan yang mereka anut. Pengeboman Malam Natal tahun 2000 merupakan satu contoh bagaimana superioritas tersebut mampu membunuh ribuan nyawa yang tidak berdosa. Perayaan Natal yang seharusnya disambut gembira oleh umat Kristiani, malah berbuah luka dan menghilangkan ribuan nyawa. Jelas sikap tersebut telah menghilangkan pokok-pokok kebangsaan, yang menjamin seseorang untuk memeluk agama sesuai keyakinannya.

Inilah landasan pemikiran yang harus diperangi untuk menegakkan tinggi-tinggi bendera toleransi di negeri ini. Pemikiran merasa yang paling benar atau menganggap keyakinan lain sebagai ancaman adalah modal dasar untuk menghancurkan negeri ini dari dalam. Revolusi pemikiran perlu dilakukan, untuk mengurangi segenap upaya ataupun perbuatan yang mengancam umat lain untuk melakukan peribadatan.

Toleransi Umar

Kitab Tarikh karya Ibnu Khaldun menceritakan secara detail bagaimana teladan toleransi yang dibangun oleh Umar bin Khattab kepada umat Kristiani. Dikisahkan bahwa saat Umar bin Khattab memasuki Baitul Maqdis, beliau menemui pemuka agama Kristen Patriarch Sophronious di Gereja Qiyamah. Umar bin Khattab ingin melakukan perjanjian damai dan menyerahkan kunci Yerussalem kepada Patriarch Sophronious.

Saat waktu salat tiba, Umar bin Khattab bertanya kepada Patriarch Sophronious terkait tempat yang dapat dipakainya untuk melaksanakan salat. Pemuka agama Kristen itu menyarankan untuk melakukan salat di dalam Gereja. Akan tetapi, Umar bin Khattab bersikap moderat dengan menghargai saran lawan bicaranya dan mencegah kesalahpahaman. Pada akhirnya Umar bin Khattab melakukan salat di luar gereja, atau lebih tepatnya di depan anak tangga pintu masuk gereja.

Alasan Umar bin Khattab melaksanakan salat di luar gereja bukan karena menganggap gereja sebagai sesuatu yang hina, melainkan khawatir terjadi salah paham bahwa umat Islam boleh menaklukan Gereja Qiyamah dan mengubahnya menjadi masjid. Umar bin Khattab lebih memilih salat di luar untuk menghindari hal semacam itu.

Sebagai khalifah kedua, Umar bin Khattab telah memberikan teladan kepada umat Islam akan pentingnya toleransi kepada umat Kristiani. Dalam kasus tersebut, Umar bin Khattab melindungi kepercayaan umat yang berbeda dengan kekuasaannya. Beliau menjunjung tinggi kepercayaan yang dianut oleh umat Kristiani. Lebih jauh, Umar bin Khattab mencegah terjadinya penghancuran rumah ibadah milik non-muslim.

Dapat diambil teladan bahwa perayaan Natal adalah ajang untuk menyemai benih toleransi. Seperti Umar bin Khattab yang menjaga hubungan baik dengan umat Kristiani, maka kita juga harus menjaga hubungan baik dengan non-muslim, termasuk menghargai segala bentuk keyakinan dan peribadatan mereka. Jangan sampai konsensus kenegaraan yang telah disusun oleh pendahulu, yang memuat unsur kerukunan dan persatuan, dirusak oleh sikap superioritas dan merasa yang paling benar. Oleh karena itu, penting kiranya untuk menjadikan Natal sebagai lumbung toleransi untuk menyemai benih kebaikan dan kerukunan.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan