Tujuh Kata “Sakti” di Piagam Jakarta

2,369 kali dibaca

Berharap menasbihkan kembali tujuh kata “sakti” di Piagam Jakarta terkait dengan Pancasila adalah sebuah mimpi. Berandai-andai menautkan kembali frase tersebut bagaikan menggulai lautan, tidak mungkin menjadi realita. Akan tetapi, berikhtiar dan mengupayakan munculnya kembali Piagam Jakarta yang disahkan pada tanggal 22 Juni 1945 itu adalah sebuah keniscayaan. Propaganda syari (adakah propaganda syari?) adalah sebuah jalan (thariqah) untuk menghunjukkan kembali sebuah sejarah yang telah dikebiri oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Piagam Jakarta berisi garis-garis perlawanan terhadap imperialisme-kapitalisme dan fasisme (semangat perjuangan bangsa Indonesia melawan imperialisme, kapitalisme, dan fasisme), serta memulai dasar pembentukan Negara Republik Indonesia. Piagam Jakarta yang lebih tua dari Piagam Perdamaian San Francisco (26 Juni 1945) dan Kapitulasi Tokyo (15 Agustus 1945) itu merupakan sumber berdaulat yang memancarkan Proklamasi Kemerdekaan dan Konstitusi Republik Indonesia.

Advertisements

“… dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya,” adalah kata “tujuh sakti” yang disetip, meminjam istilah Mukhlisin, dan menjadi sebuah diskusi yang menarik. Ketertarikan dengan frase ini merupakan sebuah dialektika yang akan melahirkan konsep yang tidak mutlak, akan tetapi menjadi wahana dan khazanah pengetahuan dalam konsep berbangsa dan bernegara.

Jika Mukhlisin dalam sebuah artikel dengan judul “Bab Tujuh Kata Itu”, berandai-andai tidak dihapus (disetip) dari konsep Pancasila sebagaimana termaktub dalam Preambule UUD 1945, maka akan lahir “polisi syariat” yang akan menjadi bayang-bayang kehidupan beragama. Sebagaima dalam kehidupan masyarakat Aceh yang menganut konsep syariat, maka rakyat Indonesia, dalam agama tauhid ini, akan diawasi dan akan melahirkan sebuah adagium yang akan saling melaporkan. Dendam ini terhapus karena tujuh kata di dalam Piagam Jakarta tidak diakomadasi dan dihilangkan. Kita masuk pada fase damai? Belum tentu!

Bagi saya, juga dalam sebuah perandaian, jika tujuh kata tersebut tidak dihapus dari dasar dan ideologi negara, maka kehidupan beragama (khusus Islam) akan menjadi tugas dan kewajiban pemerintah. Jika hal ini terjadi, maka dapat dipastikan bahwa tindak kejahatan dan perundungan akan lebih dilimitasi. Berdasarkan pengalaman di Aceh, misalnya, atau di negara-negara yang menerapkan konsep syariat, rakyat di daerah tersebut menjalani kehidupan dengan lebih baik. Jika ada persoalan, itu bersifat parsial yang dapat terjadi oleh adanya koneksi sosial. Artinya selalu ada masalah apa pun konsep negara yang dijalankan.

Artikel ini tidak bermaksud untuk mengembalikan tujuh “kata sakti” Piagam Jakarta. Akan tetapi sebuah bentuk pemikiran sekiranya tujuh kata tersebut tetap ada. Jika kemudian lahir sebuah propaganda (syari?) untuk mengembalikan “frase syari” itu, maka hal itu akan melalui proses alamiah, legalitas perjuangan, dan keabsahan nilai pengabdian. Tidak boleh terjadi gejolak yang akan merugikan rakyat, karena propaganda syari merupakan bentuk perjuangan yang harus mengedepankan kemaslahatan.

Kita masih ingat dalam titian sejarah terkait dengan Pancasila, bahwa saat penyusunan UUD pada Sidang Kedua BPUPKI, Piagam Jakarta dijadikan muqaddimah (preambule). Selanjutnya pada pengesahan UUD 45 18 Agustus 1945 oleh PPKI, istilah muqaddimah diubah menjadi Pembukaan UUD 45. Butir pertama yang berisi “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya,” diganti menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa oleh Drs M Hatta atas usul AA Maramis setelah berkonsultasi dengan Teuku Muhammad Hassan, Kasman Singodimedjo, dan Ki Bagus Hadikusumo. Selayaknya sebuah rumusan yang dibangun di atas fondasi pluralisme, maka segala sesuatu yang mengarah kepada kekhususan harus disingkirkan. Demikian mungkin para bapak-bapak bangsa berargumen.

Begitu, mungkin, para pejuang bangsa berpikir bahwa seharusnya kita tidak mencampuradukkan antara konsep negara dengan konsep agama. Sebab negara dibangun atas ragam kultur dan pluralitas golongan, sedangkan agama hak individu yang harus dihormati atas satu pilihan tertentu. Sehingga akan lahir sebuah negara yang menjamin hak-hak personal atas sebuah pilihan keyakinan dan kepercayaan, Indonesia.

Indonesia negara syari? Kenapa tidak? Seandainya konsep dasar negara dapat mengakomodasi keseluruhan perbedaan, maka bukan mustahil NKRI menjadi negara syariat. Realitasnya, Indonesia adalah negara demokrasi. Demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Demokrasi mengizinkan warga negara berpartisipasi—baik secara langsung atau melalui perwakilan—dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum. Maka ke depan, bukan mustahil, dengan segala perjuangan akan melahirkan negara syari, bahkan meskipun negara tidak berdasarkan syariat. Lho, kok bisa? Kita ubah mainset negara syari menjadi karakter individu syari. Begitulah!

Berbangga dan berbahagia dengan kondisi negara saat ini adalah sebuah pilihan yang tepat. Meskipun saya ingin (berandai-andai) tujuh kata di Piagam Jakarta masih tetap tertulis di UUD 1945, namun melihat realitanya negara kita demikian adanya. Maka sudah menjadi kewajiban kita sebagai warga negara yang cinta NKRI, untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Berdiri tegak untuk membela bangsa dan negara dari rongrongan imperialisme dan kolonialisme, serta fasisme.

Menegakkan syariat Islam tidak harus di negara yang barasaskan Islam. Itu saja! Wallahu A’lam!

Multi-Page

Tinggalkan Balasan