Tujuh Kata “Sakti” di Piagam Jakarta

2,338 kali dibaca

Berharap menasbihkan kembali tujuh kata “sakti” di Piagam Jakarta terkait dengan Pancasila adalah sebuah mimpi. Berandai-andai menautkan kembali frase tersebut bagaikan menggulai lautan, tidak mungkin menjadi realita. Akan tetapi, berikhtiar dan mengupayakan munculnya kembali Piagam Jakarta yang disahkan pada tanggal 22 Juni 1945 itu adalah sebuah keniscayaan. Propaganda syari (adakah propaganda syari?) adalah sebuah jalan (thariqah) untuk menghunjukkan kembali sebuah sejarah yang telah dikebiri oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Piagam Jakarta berisi garis-garis perlawanan terhadap imperialisme-kapitalisme dan fasisme (semangat perjuangan bangsa Indonesia melawan imperialisme, kapitalisme, dan fasisme), serta memulai dasar pembentukan Negara Republik Indonesia. Piagam Jakarta yang lebih tua dari Piagam Perdamaian San Francisco (26 Juni 1945) dan Kapitulasi Tokyo (15 Agustus 1945) itu merupakan sumber berdaulat yang memancarkan Proklamasi Kemerdekaan dan Konstitusi Republik Indonesia.

Advertisements

“… dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya,” adalah kata “tujuh sakti” yang disetip, meminjam istilah Mukhlisin, dan menjadi sebuah diskusi yang menarik. Ketertarikan dengan frase ini merupakan sebuah dialektika yang akan melahirkan konsep yang tidak mutlak, akan tetapi menjadi wahana dan khazanah pengetahuan dalam konsep berbangsa dan bernegara.

Jika Mukhlisin dalam sebuah artikel dengan judul “Bab Tujuh Kata Itu”, berandai-andai tidak dihapus (disetip) dari konsep Pancasila sebagaimana termaktub dalam Preambule UUD 1945, maka akan lahir “polisi syariat” yang akan menjadi bayang-bayang kehidupan beragama. Sebagaima dalam kehidupan masyarakat Aceh yang menganut konsep syariat, maka rakyat Indonesia, dalam agama tauhid ini, akan diawasi dan akan melahirkan sebuah adagium yang akan saling melaporkan. Dendam ini terhapus karena tujuh kata di dalam Piagam Jakarta tidak diakomadasi dan dihilangkan. Kita masuk pada fase damai? Belum tentu!

Bagi saya, juga dalam sebuah perandaian, jika tujuh kata tersebut tidak dihapus dari dasar dan ideologi negara, maka kehidupan beragama (khusus Islam) akan menjadi tugas dan kewajiban pemerintah. Jika hal ini terjadi, maka dapat dipastikan bahwa tindak kejahatan dan perundungan akan lebih dilimitasi. Berdasarkan pengalaman di Aceh, misalnya, atau di negara-negara yang menerapkan konsep syariat, rakyat di daerah tersebut menjalani kehidupan dengan lebih baik. Jika ada persoalan, itu bersifat parsial yang dapat terjadi oleh adanya koneksi sosial. Artinya selalu ada masalah apa pun konsep negara yang dijalankan.

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan