Transformasi “Ngaji Pasanan”

3,455 kali dibaca

Salah satu tradisi komunitas santri saat bulan Ramadhan adalah melakukan ngaji pasanan, yaitu ngaji kitab yang diselenggarakan khusus pada bulan Ramadhan. Ngaji pasanan ini dilakukan di berbagai pesantren, mulai pesantren kecil sampai besar. Bahkan, kiai-kiai kampung yang jadi pemangku mushalla atau masjid biasanya juga menyelenggarakan ngaji pasanan ini di rumah atau masjid/mushalla untuk masyarakat sekitar. Kitab yang dikaji juga beragam baik jenjang maupun jenisnya; mulai jenjang yang paling rendah sampai paling tingg. Mulai kitab fikih, aqidah/akhlak, tarikh, sampai kitab tasawuf yang menjadi rujukan utama pesantren (kitab mu’tabar)

Ngaji pasanan ini biasanya dilakukan secara bandongan, yaitu kiai membaca kitab kata per kata sambil menjelaskan dan memberi keterangan terhadap arti dan pengertian dari kalimat atau kata yang dibaca. Para santri menyimak sambil memberikan makna tertulis yang disisipkan di antara baris-baris tulisan yang ada di kitab (Zamakhsari Dhafir; 1994). Dalam tradisi pesantren ini disebuk maknani atau ngesahi.

Advertisements

Selain gaya bandongan, dalam tradsi pesantren juga dikenal ngaji gaya sorogan. Dalam gaya ini, santri maju satu per satu di hadapan kiai, kemudian santri membaca kitab dan disimak oleh kiai atau pembimbingnya. Jika ada kesalahan santri dalam membaca maupun memaknai kitab, kiai membetulkan kesalahan santri. Bisa juga sebaliknya, santri menyimak bacaan dan penjelasan dari kiai atas kitab yang dibawa sang santri. Gaya sorogan ini memungkinkan para santri berhadapan secara langsung dengan kiai atau santri senior yang menjadi pembimbingnya.

Ngaji pasanan ini dilakukan pada waktu-waktu tertentu, biasanya dilaksanakan setelah shalat subuh, siang setelah shalat dzuhur, dan sore menjelang buka puasa. Tapi ada juga yang setelah tarawih, sehabis tadarrus al-Quran. Para peserta ngaji pasanan biasanya datang dari berbagai daerah atau santri pesantren lain. Misalnya, santri pesantren A mendatangi pesantren B untuk ngaji pasanan dan mengambil berkah (tabarrukan) kepada kiai pengasuh pesantren tersebut. Demikian sebaliknya. Melalui ngaji pasanan ini terjadi interaksi saling silang antar-santri antar-pesantren.

Menjelang akhir Ramadhan, biasanya di atas tanggal 20 Ramadhan, antara tanggal 21 sampai 25 Ramadhan yang disebut dengan maleman, diselenggarakan acara khataman, yaitu suatu upacara penutup ngaji pasanan. Pada saat ini para santri tidak hanya menerima wejangan, tetapi juga doa dan ijazah (doa dan ritual khusus), dari kiai.

Pola ngaji pasanan ini kemudian diadopsi oleh sekolah, majlis taklim, masjid, dan lembaga yang menyelenggarakan pendidikan agama nonpesantren menjadi pesantren kilat. Mereka menyelenggarkan suatu pendidikan agama secara kilat kepada anak-anak maupun orang dewasa selama Ramadhan atau pada saat libur panjang. Hanya, materi yang diajarkan dan cara mengajarnya sama sekali berbeda dengan ngaji pasanan. Di pesantren kilat ini para “santri” tidak diajari kitab, karena rata-rata para peserta yang jadi santri adalah anak-anak sekolah umum atau orang-rang yang baru belajar agama. Mereka hanya diberi pendidikan agama dasar dengan buku-buku agama, bukan kitab standar pesantren. Cara menyampaikan juga bukan gaya sorogan atau bandongan, tetapi dengan cara klasikal.

Fenomena pesantren kilat ini mulai marak pada akhir dekade 1980-an. Pada saat Ramadhan atau libur panjang, masjid-masjid, sekolah, dan yayasan keagamaan yang ada di kota menyelenggarakan pesantren kilat. Kegiatan ini cukup menarik perhatian orang tua di perkoataan (daerah urban) karena bisa menjadi sarana menambah ilmu agama bagi anak-anak mereka yang rata-rata belajar di sekolah umum. Pada dekade 1990-an, fenomena pesantren kilat tidak hanya terjadi di perkotaan, tapi juga masuk ke wilayah perdesaan (rural).

Bandongan Model Baru

Meski ada model pesantren kilat yang diadopsi dari tradisi ngaji pasanan yang dilakukan oleh komunitas pesantren, namun tradisi ngaji pasanan di pondok-pondok pesantren tetap berjalan. Tradisi ini tidak surut apalagi hilang oleh munculnya fenomena pesantren kilat yang dilakukan oleh kalangan nonpesantren. Ngaji pasanan yang diasuh oleh kiai kampung di masjid dan mushalla serta di pesantren-pesantren tetap berjalan meski pesertanya sedikit berkurang.

Di era digital sekarang, di mana HP dengan berbagai program aplikasinya bisa menembus jarak dan waktu, fenomena ngaji pasanan mengalami pergesan format. Kalau pada era pesantren kilat terjadi perbedaan pada materi dan netode pengajaran, pada era digital justru kembali pada pola lama dengan gaya yang berbeda. Maksudnya, yang dikaji adalah kitab-kitab klasik pesantren sebagaimana yang dibaca pada ngaji pasanan pesantren. Gaya ngajinya juga menggunakan gaya bandongan. Hanya, sarana dan suasana yang berbeda. Dulu ngaji pasanan sarananya hanya mikropon dan dilaksanakan di suatu ruangan, sekarang sarananya HP dan bisa dilaksanakan di mana saja. Dulu suasananya dekat tanpa jarak antara santri dengan kiai, sekarang secara fisik dipisahkan oleh jarak. Inilah gaya ngaji bandongan model baru.

Suasana Ramadhan kali ini bisa dikatakan sebagai momentum revitalisasi ngaji pasanan. Jika kita amati dunia medsos, akan terlihat para kiai muda sampai tua, yang ada di pesantren kota sampai pelosok desa, menyelenggarakan ngaji pasanan secara online. Mereka membaca kitab yang beragam, mulai yang ringan seperti hadits Arbain, Sulam Safinah, Ta’lim Muta’allim, Uqudullujain, dan sebagainya sampai kitab yang berat, seperi Shoheh Bukhari, Ihya’ulumuddin, Ashbah Wanadhair, AL-Hikam, Tafsir AL-Wasith, dan sejenisnya.

Tampaknya, tradisi ngaji pasanan sebagai suatu bentuk transmisi keilmuan gaya pesantren mulai menggeliat dan berkontestasi dengan kelompok lainnya yang selama ini mendominasi dunia maya. Bisa dikatakan, sudah ada transformasi kesadaran di kalangan pesantren untuk memanfaatkan tehnologi informasi dan ruang mendia sosial sebagai sarana untuk menyebarkan (mendeseminasi) gagasan di ruang publik. Mulai ada kesadaran bahwa ngaji pasanan tidak hanya boleh diakses oleh kalangan santri pesantren yang datang ke pesantren, tetapi oleh siapa saja yang memiliki akses media online.

Selain itu, maraknya pengajian online selama Ramadhan kali ini juga mencerminkan terjadinya peningkatan skill para santri terhadap teknologi informasi. Selama ini, ruang dunia maya dan medsos hanya dikuasai oleh mereka yang bisa menggunakan teknologi IT. Kini, ketika para santri sudah mulai memiliki kemampuan menggunaan teknologi IT. Maka, pemikiran dan tradisi pesantren ikut memenuhi dan meramaikan kontestasi di ruang publik dunia maya.

Apa yang terjadi menunjukkan bahwa kemajuan teknologi informasi telah membuat ngaji pasanan mengalami transformasi. Ngaji pasanan tidak lagi dilaksanakn di pesantren, surau, atau masjid kampung dan hanya diakses oleh mereka yang datang ke pengajian. Kini, ngaji pasanan bisa diselenggarakan di mana saja, bisa diikuti oleh siapa saja dan di mana saja. Salah satu hikmah Corona, ngaji pasanan mengalami transformasi sehingga memenuhi dunia maya. Semoga berkah ngajinya dan Corona segera sirna, sehingga para santri bisa kembali ngaji di dunia nyata, tanpa harus mengurangi keramaian dunia maya.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan