Tradisi Sastra dan Pesantren Annuqayah Guluk-guluk

2,144 kali dibaca

Islam yang dibawa Nabi Muhammad, datang di saat kebudayaan Arab mencapai tingkat kematangannya, yaitu ketika bangsa Arab sendiri memiliki kecerdasan dalam empat hal yaitu: bahasa (lughah), puisi (syi’ir), pepatah (amtsal), dan cerita (hikayat). Turunnya al-Quran, yang mengandung nilai sastra adiluhung, meruntuhkan kesakralan karya-karya sastra Al-Muallaqat di Mekkah, yang kemudian menjadi akar tradisi sastra Islam itu sendiri dalam pelbagai dinamika kebudayaan selanjutnya.

Kedatangan Islam memberikan dua pengaruh besar terhadap kecerdasan bangsa Arab. Pertama, pengaruh langsung berupa ajaran Islam itu sendiri yang beda dengan keyakinan bangsa Arab pada saat itu. Kedua, pengaruh tidak langsung berupa Islam memungkinkan bangsa Arab dapat menguasai Persia dan Romawi Timur yang telah lama sebelumnya mencapai kebudayaan tinggi.

Advertisements

Sejak abad ke-13 M sampai awal abad ke-20, orang-orang Nusantara yang pergi ke tanah suci tak hanya bertujuan naik haji, tetapi juga mencari ilmu dan bertukar pendapat dengan bangsa-bangsa lain tentang politik di daerah masing-masing. Dalam perkembangannya, banyak sekolah didirikan di Hijaz dengan pengajar dan murid dari Nusantara. Kemudian, kontak karya-karya Kurdistan yang sampai sekarang menjadi bacaan umat Islam Indonesia.

Selanjutnya, kesinambungan tradisi keilmuan lewat kitab kuning serta tradisi membaca dan menulis menjadi penting dalam pendidikan Islam yang disebut pesantren. Kitab kuning adalah rumah teks, yang di dalamnya sastra menjadi tradisi bagi masyarakat santri, secara khusus sabagai metode keilmuan di pendidikan sekaligus sebagai ekspresi kebudayaan. Awal reformasi tahun 2000-an, gerakan Gus Dur membuka ruang bagi pondok pesantren untuk melebur dengan kebudayaan yang lebih luas dan menikmati demokrasi tanpa sekat.

Di Pulau Madura, pada 1887 Pondok Pesantren Annuqayah didirikan oleh KH Muhammad Syarqowi dan Ibu Nyai Khadijah, tepatnya di Guluk-guluk, Sumenep. Annuqayah diambil dari judul sebuah kitab kuning kumpulan puisi Arab karya Imam Jalaluddin As-Suyyuti, ulama terkemuka dari Kairo, Mesir pada abad ke-15. Judul lengkapnya adalah Itmanuddirayah Lilqurra’ Annuqayah, berisi 14 disiplin keilmuan: dari ilmu agama sampai dengan eksakta, ilmu ushuluddin (teologi), tafsir al-Quran, ilmu hadis, ilmu ushul fiqh, ilmu faraidl (distribusi harta warisan), ilmu nahwu (tata bahasa), ilmu sharraf (konjungsi), ilmu khath (kaligrafi), ilmu ma’ani dan ilmu bayan (keduanya adalah ilmu retorika), ilmu badi’ (teori metafor), ilmu tasyrih (anatomi), ilmu thibb (kedokteran), dan ilmu tasawuf (kerohanian).

Dari kurun 1887 hingga sekarang, para kiai dan ustadz dengan segenap jiwa raga, dalam ikhlas dan sabar, berusaha menghubungkan kaitan tak berjarak yang transenden dengan yang imanen, Sang Pencipta dengan makhluknya, Tuhan dengan santri melalui media perantara ilmu pengetahuan agama Islam. Ternyata, untuk memahami dalil-dalil agama ini diperlukan penguasaan ilmu pengetahuan bahasa dan sastra.

Kitab dan buku pun ditulis oleh para kiai pengasuh Annuqayah, di antaranyaKH Mohammad Ilyas Syarqowi: “Mandzumatu al-Risalah” (1360); KH Mahfoudh Husaini: “Mandhumah al-Nuqayah”; KH Ishomuddin AS: “Al-Muhadharah fi al-Hadits al-Nubuwiyah”; KH. Abdul Basith AS: “Idlahu al-Afadlil”; KH Sa’di Amir: “Orientalisme: Pertumbuhan dan Perkembangannya” (1988); KH Abd A’la: “Melampaui Dialog Agama” (2002); KH A Afif Hasan: “Mazhab Pelangi: Menggagas Pluralitas Fiqh” (2008); K M Faizi: Antologi Puisi Bersama “Risalah Badai” (1995); K M Zamiel El-Muttaqien: Antologi Puisi “Isyarat Gelombang” (1996).

Keberlangsungan tradisi literasi di pesantren dan juga praktik menulis yang dilakukan oleh para kiai pengasuh Pondok Pesantren Annuqayah menjadi sebuah tradisi lintas generasi. Karya-karya tersebut merupakan pusat atas gagasan dan visi-misi pesantren itu sendiri.

Daviatul Umam, santri Annuqayah, menggambarkan pondok pesantrennya dalam sebentuk puisi:

Annuqayah

Annuqayah tegap berkibar, Tetaplah sinar menebar

            ….

Namamu adalah azimat, Genggam erat agar selamat

Dalil-dalil agama yang biasanya diambil dari kitab suci al-Quran, hadits, dan kitab-kitab kuning, diuraikan oleh para kiai dan ustadz dengan menganalogikan metode-metode peninggalan ilmu-ilmu klasik karya ulama zaman salafussalah ke dalam konteks persoalan-persoalan kontemporer. Dalil-dalil analogis membuat para kiai dan ustadz luwes dalam menghadapi pelbagai masalah dengan cara-cara dinamis, sehingga disiplin keilmuan agama Islam selalu memiliki relevansi dalam setiap situasi dan kondisi. Shalih fi kulli zamanin wa makanin. Dalil-dalil analogis itu bagian dari bahasa, dari sastra. Khotbah melalui dongeng-dongeng hikayat sarat inspirasi atau mengandung hikmah, mengajak penyimaknya merenung dalam sunyinya penghayatan. Khotbah kemudian menyentuh lubuk dan menjadi ruang peresapan manusia atas kata-kata untuk menjalani hidup

Karya-karya sastra berlafalkan huruf-huruf hijaiyah itu dilantunkan ke dalam pelbagai kesempatan upacara adat keagamaan dan kerohanian: istighotsah, tahlilan, salawatan, zikir riyadah, tadabur dalam rangka peribadatan, melebur ke dalam sisi kehidupan beribadah umat Islam, khususnya masyarakat santri. Di Pondok Pesantren Annuqayah, malam Selasa dan malam Jumat, para santri dan kiai membaca kitab Maulid Diba’, Al-Barzanji, dan Qasidah Burdah.

Ketika santri-santri berjalan kaki membawa buku atau kitab, maka buku atau kitab itu akan didekap di bagian dadanya. Begitu dekatnya wadah ilmu dengan letak hati dan jantungnya, keduanya mungkin saling bercakap lewat kesunyian tinta dan kertas kepada degub-degub di dada. Seumpama saling menuntun untuk berzikir dan mendoakan kebaikan kepada seorang santri yang takzim membawa bahan bacaan.

Seorang santri laki-laki yang baru saja mengikuti pembacaan salawat nabi di sebuah musala, menggeleng-gelengkan kepalanya tanda menjawab “tidak”, saat ditanyakan kepadanya “apakah kamu baru saja melakukan pertunjukan sastra?”

Membaca dan menghafalkan sejumlah kitab nazaman dan syi’ir-syi’ir bisa dilakukan setiap hari, siang dan malam. Selain itu para santri juga menghafalkan natsar-natsar berbahasa Arab. Dengan seringnya membaca dan menghafal puisi-puisi Arab yang terkandung dalam kitab-kitab Alfiyah karya Ibnu Malik, Imriti dan Maqsud, santri menjadi mudah mengetahui dan memahami pelajaran bahasa dan sastra Arab serta mengerti kandungan isinya. Dari pengalaman demikian, keakraban santri dengan sastra tanpa sekat dan batas. Ketika ber-nazaman, para santri tanpa sadar sedang mempertunjukkan suatu performa yang bernilaikan estetika. Kebersahajaan tradisi yang membangun karakter mereka meresapi hidup, menghayati makna seorang hamba Allah yang terus menjaga nilai-nilai Ilahi di dalam jiwanya.

Kemudian sang santri bertanya kepada seorang ahli seni atau gurunya: “Seperti apakah seni yang bagus?”

Buku, kitab, kiai, nyai, dan ustadz dianggap sebagai sumber barokah, yaitu ilmu yang diberikan oleh Allah. Barokah bertambahnya kebaikan terhadap ilmu dan adab seseorang. Atau sebagai perwujudan lain sebuah karma. Peribahasa santri Madura: “Mun e ponduk ngecok jarum, maka e roma ngecok jaran”. Para santri menyikapi puisi-puisi, syi’ir, dan nazaman sebagai kitab suci yang adiluhung, yang bernilai agama bahkan dipandang magis, yang mana bila menyepelekannya akan mendapatkan dosa, azab, dan dianggap bagian dari perbuatan maksiat dan kemungkaran.

Bagi mereka tidak penting lakunya itu dianggap sebagai perilaku berpuisi atau tidak. Santri-santri itu berharap rahmat Allah, semakin dekat, semakin dekat kepada-Nya. Bakda azan lima waktu dan setelah Salat Jumat, santri-santri membaca puisi Arab “Iktiraf”, karangan penyair dan tokoh humor legendaris Abu Nawas, penyair kebangsaan Baghdad pada masa kejayaan Dinasti Abbasiyah.

Selain itu, masyarakat santri menjadikan pembacaan dan penghayatan puisi-puisi sebagai aktivitas yang bernilai maknanya untuk mendapatkan ketenangan jiwa, solusi hidup, atau jalan keluar dari suatu kondisi permasalahan realitas hidup yang mungkin larat dan rumit. Bahkan, di saat tak ada lagi logika dan daya upaya, puisi-puisi Arab itu akan menjadi ajian-ajian yang dianggap mengundang keramat dengan cara supranatural. Puisi-puisi Arab telah bermultifungsi dalam kebudayaan Islam menjadi sangat banyak dan terus berkembang sampai saat ini.

Dengan cara-cara tersebut, jalan tempuh untuk mencapai puncak-puncak kerohanian penganut agama sebenarnya melalui sastra, sebagaimana wahana para waliullah mencapai gunung-gunung makrifat, sebuah puncak ilmu kebatinan seorang hamba Allah.

Di SMA 3 Annuqayah, salah satu sekolah khusus santri perempuan, pengurus sekolah mewajibkan para peserta didik membaca buku sebelum pelajaran dimulai. Buku-buku perpustakaan itu diantarkan oleh kepala sekolah dan guru-gurunya ke tiap-tiap kelas.

Di Madrasah Aliyah Keagamaan Annuqayah, Bapak Hasbi memberikan honor bagi santri yang tulisannya dimuat di majalah dinding, sehingga siswa-siswa satu kelas menjadi bersaing. Tidak hanya itu, madding antarkelas juga berkompetisi.

Memory book Santri Angkatan 2007 diberi judul Rosail El Asywaq (Pesan-pesan Kerinduan) berisikan biodata-biodata guru dan siswa, suplemen berisikan profil lembaga, puisi-puisi perpisahan dan catatan sejumlah penghargaan yang diraih oleh siswa-siswa angkatan tersebut, di antaranya: Juara I Lomba Sinopsis Buku (Perbankan dalam Islam) se-Kabupaten Sumenep dalam rangka memperingati Hari Baca Nasional 2014. Nasional di Jakarta 2006.

Saat waktu senggang, santri-santri bersyair dan berpuisi, ada juga yang main sepak bola. Jatuh cinta adalah persoalan serius dalam proses kreativitas tulis-menulis yang dialami sastrawan-sastrawan muda yang berproses di pondok pesantren. Pagar tembok antara asrama laki-laki dan asrama perempuan tak bisa menghalangi surat-surat cinta dengan bahasa-bahasa puitis dilayangkan lewat agen-agen rahasia yang diusahakan tidak diketahui oleh pihak pengurus pesantren atau keluarga pengasuh.

Faqih Usman Dedja berpuisi:

MAJNUN

Aku bukan Qais yang majnun, Tapi aku Faqih yang akan mengangkatmu, Sebagai Laila

Didin, sembari memegang sebuah buku puisi berjudul “Sembahyang Rerumputan” karya Ahmadun Yosi Herfanda, mengatakan: “Satu hal yang membuat saya suka menulis puisi, karena para kiai juga menulis puisi. Saya ingin meniti barokah kepada para ulama dan kiai baik yang sudah wafat pun yang masih hidup. Al-Ghazali mengatakan, jika kamu bukan putra raja atau putra seorang ulama besar, maka jadilah penulis.”

Pengakuan Fandrik: satu pengalaman yang saya banggakan lebih dari sebuah tropi dan honor tulisan, adalah ketika saya bisa berbagi kepedulian dengan orang lain melalui tulisan. Bagi saya, momen seperti itu merupakan juara sepanjang masa.

Sanggar Safa, organisasi yang membidangi sastra, dirintis pada tahun 1988 di Annuqayah. Meski harus tutup buku di usianya yang seumur bawang, cukup dijadikan sebagai gong besar momen dan bekal mereka atas diizinkannya para santri berkarya sastra dan bergiat di dunia kesenian di bawah restu para kiai. Ibarat hujan, Sanggar Safa adalah air yang menyirami ladang seni dan sastra Annuqayah. Aryadi Mellas, sang nabi sastra Annuqayah, mencangkul dan memberi pupuk serta menaburinya dengan benih-benih kreativitas kesenian dan kesusastraan.

Tak berapa lama, sanggar-sanggar kesenian, bengkel-bengkel puisi atau rumah-rumah teater tumbuh subur bak cendawan di musim hujan. Majalah dinding sekolah, madrasah dan asrama santri tak pernah sepi dari karya-karya puisi dan cerpen atau yang ditulis santri-santri. Puncaknya adalah pembacaan puisi karya Aryadi Mellas, pada malam penobatan santri dan santriwati teladan.

….

Malam ini, Selaksa nikmat tertancap di dadamu, Detik dadamu, Sejuta rasa bak muara mengalir di sukmamu, Buah usaha, dzikir dan do’a, Malam kau telah nikmati

….

Bila sastra Indonesia merujuk kepada silsilah sastra Melayu, kesusastraan Indonesia harus berterima kasih kepada pondok pesantren karena telah melahirkan sastra Indonesia dari seorang santri, dari seorang ulama bernama Hamzah Fansuri. Selanjutnya di tanah air, sastra modern dipelopori oleh Abdullah Abdul Karim Al Munsyi, seorang ulama pesantren tarekat.

Dengan pesonanya, media sastra menyentuhkan roh agama dengan roh penganutnya tanpa jarak. Islam disampaikan dengan sentuhan-sentuhan seni bahasa yang mempesona. Al-Quran layaknya suara indah yang merangkum semua suara roh dan energi puisi, nikmat dibaca dan sejuk didengarkan. Lewat keindahan rangkaian estetika  atas kata demi kata, anyaman kalimat demi kalimat, dari kejadian ke kejadian dalam hikayat; para penganut agama Islam memaknai ajaran Islam dalam hidupnya melalui tafsir-tafsir, demikian pula sabda-sabda hadis dan kitab-kitab kuning.

Pesona sastra dipandang sebagai satu-satunya pengejewantahan relung jiwa manusia sastrawan santri dalam suatu medan kesenian dan kesusatraan. Sastrawan santri berkarya sekaligus mengejewantahkan makna karya ke dalam kehidupan nyata.

Bergenerasi-generasi, kurun waktu 1887 sampai sekarang, jejak-jejak perjuangan KH Muhammad Syarqowi, KH Abdullah Sajjad, KH Ahmad Basyir AS, KH Abdul Basith AS, KH Abd A’la, Kiai M Zamiel El-Muttaqien, Kiai M  Faizi, Kiai M Mushthafa, serta segenap pengasuh Annuqayah, menghadapi dan melawan penjajahan dan penindasan terhadap manusia terlihat jelas dalam maknanya yang tersurat dan tersirat.

Dengan demikian Pondok Pesantren Annuqayah merupakan kawah candradimuka, tempat para kiai memanusiakan santri-santri mencapai maqom mulia Insan Kamil, bila ia luput dari derajat kewalian atau kenabian. Sungguh sastrawan santri merupakan manifestasi-Nya yang luhur sekaligus indah. Pada tingkatan ini, sastrawan santri benar-benar memikat dan mempesona.

Begitulah yang tergambar dari buku Sastrawan dan Santri karya Badrus Shaleh ini.

Wallahualam bishawab.

Rumah Merah Kukusan, 19 04 2020.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan