Tradisi Bakar Kemenyan dan Pandemi

3,081 kali dibaca

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang lekat dengan tradisi. Bahkan tidak hanya lekat, melainkan tradisi sudah menjadi salah satu napas hidup masyarakat Indonesia yang nota bene mayoritas umat muslim. Islam pun dibawa masuk ke Indonesia (Nusantara) melalui ragam pendekatan tradisi dan budaya (kultural). Dan hal ini menjadikan sedikit banyak umat muslim di Indonesia memiliki tolok ukur maupun khazanah tradisi dalam setiap tindak-tanduk maupun dalam merespons fenomena kehidupan.

Pandemi Covid-19 yang juga bisa disebut pagebluk atau wabah turut menyisakan ragam fenomena maupun respons dari umat muslim. Yang mana kaitannya dalam hal ini berkutat pada ikhtiar tolak pagebluk atau wabah. Bentuk ikhiar yang dilakukan oleh umat muslim berdasar pada tradisi daerah masing-masing. Umat muslim kita meyakini bahwa ikhtiar-ikhtiar tersebut dapat membentengi diri, keluarga, rumah dari segala keburukan yang akan mendekat, salah satunya adalah penyakit atau virus.

Advertisements

Tradisi yang dilakukan umat muslim sebagai ikhtiar membentengi diri dari wabah sangat beragam. Hal ini pun sudah menjadi pemberitaan di media-media. Setiap daerah memiliki bentuk yang berbeda-beda.

Misalnya, masyarakat di Sumberejo, Kota Batu, Jawa Timur membakar garam di depan rumah masing-masing ketika menjelang tengah malam. Hal serupa juga dilakukan oleh masyarakat di Kabupaten Bondowoso. Kemudian di pojok atau titik desa (baca: yang di-sakral/keramat-kan) dibakarkan sebuh kemenyan, dengan dilandasi doa kepada Allah dan leluhur desa, agar diberikan keselamatan.

Di Bawean, Kabupaten Gresik, masyarakatnya membakar kemenyan di rumah masing-masing dengan diikuti prosesi zikir dan selawat bersama sebagai ikhtiar memagari desa dari masuknya wabah. Dan masih banyak lagi di lain tempat, hal serupa dengan ragam bentuknya.

Dan terlepas dari ikhtiar-ikhtiar yang lekat dengan tradisi, sebagian masyarakat masih mempertanyakan atau bingung dengan hal tersebut. Apakah penggunaan bakaran kemenyan memiliki manfaat, khususnya dalam menangkal penyakit atau virus? erlebih, masih mengakar pada sebagian masyarakat, bahwa kemenyan lekat dengan hal-hal mistis, perdukuan, dan hal ghaib. Padahal tak jarang juga di majelis-majelis selawat, maulid, atau manqib yang menggunakan bakaran kemenyan sebagai wewangian.

Kemenyan adalah wewangian berbentuk zat padat (resin) yang dihasilkan dari olahan getah tanaman tertentu dan biasanya juga dijadikan sebagai bahan campuran pembuatan dupa. Melansir dari kanal web NU Online, setidaknya ada dua varian kemenyan yang populer di pasaran dan banyak diminati.

Yang pertama adalah kemenyan Jawa yang dihasilkan dari olahan getah tanaman styrax benzoides. Kedua adalah kemenyan Arab yang dihasilkan dari olahan getan tanaman bswelia cerata. Kedua jenis kemenyan ini masing-masing memiliki perbedaan khas. Kemenyan Arab memiliki aroma manis jika dibakar.

Kemenyan sendiri pada dasarnya tidak melulu dijadikan pelengkap sarana ibadah atau tradisi. Kemenyan juga banyak digunakan untuk bahan campuran rokok, parfum, sabun, detergen, dan semacamnya. Produksinya pun layaknya home industry hingga pabrik besar pada umumnya. Dan tentunya dalam proses pembuatanya tidak ada orientasi pada apa yang disangkakan masyarakat kebanyakan.

Kemenyan dan Obat

Jalaludin as-Suyuthi dalam kitab Ma Rawahu al-Wa’un fi Akhbar ath-Tha’un, mengisahkan soal wabah thoun pada masa hidup Ibnu al-Mawardi, tepatnya pada tahun 749 H. Saat itu umat muslim ketakutan karena merebaknya wabah thoun. Salah satu yang menjadi perhatian dan fokus umat muslim waktu itu adalah mencari cara agar kesehatan juga imunitas tubuh terjaga. Dan salah satu ikhtiar yang dilakukan adalah mengasapi rumah dengan dupa, su’d, dan cendana wangi (kemenyan Arab).

Mengenai bahasan khusus penggunaan kemenyan Arab dapat ditilik pada catatan adz-Dzahabi dalam Thib an-Nawawi. Di sana dijelaskan bahwa uap kemenyan Arab memiliki faedah atau manfaat ketika terjadi wabah, karena kemenyan Arab memaniskan udara (menyegarkan) dan memperkuat imunitas tubuh. Karena itu, tujuan dari penggunaan kemenyan Arab waktu itu memang untuk memberikan dampak atau efek fresh pada tubuh dan pikiran. Sehingga dari sini imunitas dapat terjaga manakala wabah thoun merebak. Karena memang pada dasarnya pandemi membawa huru-hara yang luar biasa. Bisa saja seseorang sakit atau celaka bukan karena penyakit pandeminya, melainkan karena tingkat stres dan kepanikan yang berlebihan.

Dalam tinjauan sosiologi, umat muslim di Timur Tengah sampai hari ini masih mempertahankan tradisi membakar kemenyan Arab. Hal ini sudah tidak bisa dipisahkan dari kehidupan umat muslim di Timur Tengah. Biasanya mereka membakar kemenyan ketika menjelang istirahat atau setelah salat isya, di mana waktu-waktu tersebut digunakan untuk istirahat.

Dalam konteks ini, kemenyan berfungsi sebagai aromaterapi guna menenangkan pikiran, menciptakan mood, juga relaksasi. Termasuk, sebagai pelengkap wajib di acara-acara sosial seperti hajatan pernikahan atau hari perayaan hari besar Islam.

Lantas bagaimana tradisi kemenyan di Indonesia? Umat muslim di Indonesia lebih akrab dan sering menggunakan kemenyan Jawa. Karena kemenyan Jawa sendiri mudah didapat daripada kemenyan Arab. Di pasa-pasar dan toko-toko parfum sangat mudah didapat. Oleh karenanya, kemenyan Jawa masif dijumpai dalam beragam momen.

Antara kedua jenis kemenyan tersebut pada dasarnya tidak ada perbedaan esensi. Penggunaan kemenyan dalam berbagai acara Islami adalah semata-mata sebagai wewangian. Hal ini diperkuat oleh warisan tradisi Nusantara, juga disunahkan dan tidak dilarang dari oleh syariat. Sehingga, yang perlu digarisbawahi adalah: penggunaan wewangian (salah satunya adalah kemenyan) tidak membawa ke ranah bidah maupun musyrik. Karena, pada beberapa riwayat Thabrabi dan Ibnu Hibban, Nabi disebutkan menyukai dan menganjurkan penggunaan wewangian baik bagi yang hidup maupaun yang wafat (mayit).

Dalam tinjauan medis, penggunaan asap atau aroma kemenyan sebagai ikhtiar preventif di masa pandemi Covid-19 sudah banyak dibahas oleh para ahli kesehatan. Salah satunya artikel Nikhat dan Nazil berjudul “Sekilas tentang Covid-19; Pencegahan dan Pengelolaannya Menurut Ilmu Kedokteran Unani” yang diterbitan National Centre for Biotechnology Information Indonesia pada April 2020.

Artikel itu menjelaskan hasil penelitian berbagai bahan alami lokal yang bisa dijadikan langkah preventif dalam mencegah terjangkitnya penyakit atau virus di masa pandemi, dan di antaranya adalah bakaran kemenyan Jawa, kemenyan Arab, dan minuman jamu.

Kemudian ada Nafisah dkk yang menulis artikel berjudul “Kearifan Lokal Masyarakat Jawa dalam Menghadapi Pandemi.” Artikel ini dimuat Jurnal Suluk Universitas Islam Negeri Sunan Ampel edisi September 2020. Dalam artikel tersebut ditegaskan bahwa salah satu obat lokal yang dapat digunakan untuk mencegah terjangkit penyakit atau virus di masa pandemi salah satunya jeruk nipis atau belimbing wuluh yang bisa meningkatkan imunitas tubuh. Selain itu juga membakar kemenyan.

Kemudian, pada Januari 2021, Kholibrina dan Aswandi dalam artikel berjudul “Produk Inovasi Aromaterapi Berbasis Minyak Atsiri Kemenyan”, terbitan Jurnal Farmasi, Universitas Udayana, menjelaskan, bahwa komponen minyak atsiri pada kemenyan (khususnya kemenyan Arab) memiliki bukti ilmiah untuk menekan penyebaran virus influenza H1N1 bila digunakan untuk fumigasi (dibakar untuk menghasilkan asap, kemudian asap akan mematikan kuman atau virus).

Dan, di masa pandemi Covid-19, ragam ikhtiar sebagai langkah preventif pencegahan dari terjangkit penyakit atau virus masif di daerah-daerah. Salah satunya adalah penggunaan kemenyan seperti apa yang sudah dibahas. Namun, ikhtiar-ikhtiar berdasar tradisi tersebut juga penting untuk diimbangi dengan pemahaman medis atau ilmiah. Salah-salah, saking berlebihanya malah membawa celaka pada diri sendiri.

Sebagai catatan: penggunaan kemenyan juga memiliki risiko kesehatan, terutama pada orang-orang yang memiliki riwayat penyakit pernapasan seperti asma, bronkitis, dyspenea (sesak napas). Penggunaan atau pembakarannya pun harus dilakukan di tempat yang terbuka, dan tidak boleh sembarang tempat. Misalnya, di dalam masjid, di ruangan tertutup, atau di dekat semak-semak yang dapat memicu kebakaran.

Prinsipnya, penggunaan bakaran kemenyan bukanlah sebuah keharusan. Baik itu dalam mengiringi bacaan zikir atau selawat untuk menangkal penyakit atau virus. Karena, bakaran kemenyan pada dasarnya hanya salah satu tradisi yang kebetulan bisa dijadikan alternatif sebagai tindakan preventif. Dan bagaimana pun bentuknya, esensi bakaran kemenyan hanyalah pelengkap ikhtiar dalam berdoa memohon perlindungan pada Allah. Sehingga, ketika ada umat muslim yang melakukan tradisi bakaran kemenyan semata-mata hanya sebagai teman wewangian, tidak boleh pada rana yang lain. Wallahu A’lam.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan