Tolstoy dan Kisah Orang-orang Suci

1,383 kali dibaca

Leo Tolstoy adalah begawan sastra Rusia. Karya-karyanya melegenda dan mendunia. Dua novelnya yang kesohor, dan kemudian difilmkan, adalah War and Peace dan Anna Karenina. Selain dalam bentuk novel, Tolstoy juga banyak menulis cerita pendek (cerpen). Di antara kumpulan cerpennya adalah God Sees the Truth, But Wait, terbitan Oregan Publishing pada 1906.

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dan diberi judul Tuhan Tahu, Tapi Menunggu, kumpulan cerpen Tolstoy ini diterbitkan oleh Penerbit BasaBasi pada Februari 2020. Yang menarik, kumpulan cerpen Tolstoy ini banyak mengisahkan kehidupan orang-orang suci, yang kesucian mereka bukan terbangun karena kemegahan dalam menyembah Tuhan, namun justru oleh kesabaran, kelembutan, dan keikhlasan tokoh-tokohnya dalam merawat kehidupan orang-orang di sekeliling mereka.

Advertisements

Ada 13 cerpen dalam buku Tolstoy ini. Yang paling dramatis adalah kisah Stepan Kasatsky dalam judul cerita “Bapa Sergius”. Pada mulanya ia adalah seorang perwira militer pengawal kekaisaran yang dipastikan akan memiliki karier cemerlang. Namun, ia menjadi putus asa lantaran kekasihnya menjadi gundik Kaisar Nicholas I —yang berarti tak ada harapan untuk bisa menikahinya.

Dalam keputusasaan, Kasatsky kemudian melepas seluruh kehidupan duniawinya. Ia meninggalkan dinas kemiliterannya, meninggalkan seluruh kekayaannya, kemudian memasuki biara untuk menjadi biarawan. Hidupnya akan diabdikan untuk Tuhan, sampai ia ditahbiskan menjadi imam dengan nama Bapa Sergius.

Kehidupan di biara ternyata tak membuatnya bebas dari godaan dan menyatu dengan Tuhan. Ia justru merasa terus-menerus harus berjibaku untuk berperang melawan godaan. Ia akhirnya memutuskan untuk meninggalkan biara, dan menjalani hidup di pertapaan. Di pertapaan, sebagai petapa, Bapa Sergius memperoleh kemasyhuran. Ia muncul sebagai penyembuh. Kata-kata, nasihat, dan doa-doanya selalu dinanti dan diamini oleh orang-orang yang datang berbagai pelosok negeri.

Saat berada dalam kemasyhuran sebagai petapa itulah, Bapa Sergius merasa ada yang ganjil. Sebagai pendoa, semua doanya untuk orang lain selalu dikabulkan. Tapi, doa untuk dirinya sendiri seakan tak pernah didengar oleh Tuhan. Nafsu duniawi dan berahi selalu merubung di dalam dirinya. Ia pernah memotong jarinya sendiri agar, dengan menahan rasa sakit, berahinya hilang ketika seorang pengunjung perempuan datang.

Tapi doanya agar selalu dijauhkan dari godaan sepertinya tak pernah didengar Tuhan. Iblis ternyata selalu datang, kali ini dalam wujud seorang gadis belia yang membutuhkan pengobatan. Bapa Sergius tak hanya mengobati, tapi juga menodai kegadisannya. Menyadari kesalahannya tak terampunkan, diam-diam Bapa Sergius kabur meninggalkan pertapaan. Petapa itu terus berjalan jauh seperti gelandangan, dan pada suatu waktu memutuskan untuk bunuh diri.

Saat tertidur dalam kelelahan, ia bermimpi dihampiri malaikat. Sang malaikat menyuruhnya menemui adiknya agar ia bisa belajar bagaimana seharusnya seseorang menjalani hidup. Adiknya, Pashenka, adalah perempuan malang. Ia hanyalah seorang janda tua, hidup kurus kering dalam kemiskinan. Ia nyaris tak pernah ke gereja atau beribadah, karena harus membanting tulang agar anak-anaknya tetap hidup. Bapa Sergius datang menemui adiknya, dan meminta Pashenka bercerita bagaimana ia menjalani hidup.

“Jadi itulah arti mimpiku! Aku harus menjadi sosok seperti Pashenka tapi aku gagal. Aku hidup untuk manusia dengan dalih hidup bagi Tuhan, sementara dia hidup bagi Tuhan dan menganggap hidup untuk manusia. Ya, satu perbuatan baik —segelas air yang diberikan tanpa memikirkan imbalan— lebih berharga dibandingkan manfaat apa pun yang kulimpahkan pada orang banyak… Sekarang aku akan mencari Dia.”

Itulah kata-kata Sergius setelah belajar dari adiknya. Dari seorang biarawan, lalu petapa, kini ia menjalani hidup sebagai pengelana, pengembara. Di jalanan yang dialuinya, ia tak pernah menolak pemberian orang. Tapi sesegera mungkin, pemberian-pemberian itu diberikannya kepada siapa pun yang ia temui di jalanan. Sampai kemudian ada razia, oleh tentara Kaisar ia dikirim ke Serbia, tempat pembuangan musuh-musuh negara, karena tidak memiliki parpor atau kartu identitas diri.

Dalam cerita lain, yang berjudul “Dengan Apa Manusia Hidup”, Tolstoy juga menyuguhkan cerita sewarna. Ini adalah cerita tentang Simon, lelaki malang tukang jahit sepatu. Nasib sial terus merundung keluarga Simon. Terancam dingin dan lapar, Simon berkeliling dari desa ke desa untuk menagih utang. Tak hanya berhasil, hanya sedikit uang yang bisa ditagih. Itu pun dibelikannya vodka untuk menghangat tubuhnya.

Di tengah jalan ia melihat seorang pemuda menggigil kedinginan, telanjang, di bawah hujan salju. Simon takut mendekatinya. Khawatir dijahati atau dirampok. Ia pun berlalu. Belum jauh melangkah Simon ragu. “Memangnya aku orang kaya yang takut dirampok?” kata Simon dalam hati. Simon kembali. Ia memberikan mantelnya kepada pemuda telanjang itu, dan mengajaknya pulang.

Pemuda itu akhirnya menjadi bagian dari keluarga Simon. Usaha Simon pun mengalami kemajuan pesat. Keluarga Simon tak lagi kurang suatu apa. Belakangan diketahui, pemuda itu ternyata malaikat yang sedang dihukum Tuhan. Ia dihukum lantaran menolak mencabut nyawa seorang janda yang baru melahirkan anak kembar. Ia akhirnya dihukum dengan menjadi manusia, agar sang malaikat tahu bagaimana manusia menjalani hidup, dengan apa manusia hidup.

Membaca kumpulan cerita dari sastrawan besar ini bisa mengingatkan kita pada cerita-cerita dalam tradisi sufi. Dalam tradisi sufi sering diceritakan, orang-orang yang secara kasat mata terlihat jauh dari Tuhan, atau dibilang tidak tekun beribadah, dan hanya sibuk mengurusi hal-hal yang dianggap duniawi, yang remeh-temeh, ternyata memperoleh kemuliaan di mata Tuhan. Bahkan, ada satu kisah dalam sebuah hadis, seorang pelacur memperoleh tempat di surga hanya karena memberi minum seekor anjing, tampa pamrih.

Dari cerita-cerita seperti ini kita tahu, ternyata banyak jalan menuju surga…

Multi-Page

Tinggalkan Balasan